Irdawati, S.Pd., M.A. Pengawas Sekolah Ahli Muda – Kemenag Kota Padang

 

Oleh: Irdawati – Pengawas Sekolah, Kemenag Kota Padang

Dalam beberapa tahun terakhir, wajah pelayanan publik di Indonesia tampak berbenah. Tampilan kantor pemerintahan dibuat lebih ramah, petugas mengenakan seragam penuh senyum, dan media sosial instansi dipenuhi slogan optimis seperti “Buat Kesan Manis” atau “Melayani Sepenuh Hati”. Namun di balik pencitraan tersebut, pertanyaannya tetap menggantung: apakah publik benar-benar merasakan manisnya pelayanan, atau justru sedang disuguhi ilusi?

Fakta di lapangan masih menunjukkan ironi. Di banyak tempat, pelayanan publik masih terasa lambat, prosedur berbelit-belit, dan informasi tidak mudah diakses. Penggunaan teknologi digital yang semestinya mempermudah, justru kadang menjadi penghalang baru bagi masyarakat yang tidak familiar dengan sistem daring. Transparansi masih minim, pengaduan jarang ditindaklanjuti, dan kesan “asal-asalan” dalam melayani publik masih kerap ditemui.

Ini bukan sekadar soal teknis. Ini tentang cara pandang dalam membangun relasi antara negara dan warga. Ketika pelayanan publik hanya difokuskan pada tampilan luar, tanpa menyentuh jantung persoalan—yakni efisiensi, keterbukaan, dan tanggung jawab—maka yang terjadi adalah manipulasi persepsi. Publik dibuat terpesona oleh permukaan, tapi dibiarkan kecewa oleh substansi.

Kita tentu tidak menolak upaya memperbaiki citra pelayanan publik. Branding yang baik bisa menjadi pemantik semangat perubahan. Namun, jika yang dibangun hanya wajah manis tanpa perbaikan sistemik, maka kita sedang menciptakan make-up birokrasi—tampak segar dari luar, rapuh di dalam. Apalagi jika jargon-jargon tersebut hanya dijadikan tameng untuk menutupi lemahnya kinerja atau menghindari kritik publik.

Pelayanan publik seharusnya tidak hanya menyenangkan secara estetika, tetapi juga memuaskan secara fungsional. Petugas yang ramah tidak akan berarti jika masyarakat harus antre berjam-jam untuk pengurusan dokumen sederhana. Aplikasi digital tidak akan berguna jika tidak disertai literasi dan kesiapan pelayanan manual. Slogan manis tidak akan dipercaya jika tidak dibarengi dengan keterbukaan data dan kecepatan respons.

Saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, menggeser orientasi pelayanan dari sekadar membentuk “kesan” menjadi membangun “kepercayaan”. Kepercayaan itu lahir dari integritas, bukan dari gimik. Dari keterbukaan, bukan dari rekayasa citra. Dari keberanian mengakui kekurangan dan memperbaikinya, bukan dari menutupi masalah dengan narasi-narasi optimistik.

Publik Indonesia sudah jauh lebih kritis. Mereka tidak lagi mudah terbuai oleh janji dan tampilan. Yang dibutuhkan kini adalah langkah konkret: sistem pelayanan yang mudah, adil, dan menjunjung hak warga. Pengawasan internal yang kuat. Mekanisme evaluasi publik yang partisipatif. Serta komitmen antikorupsi di semua lini pelayanan.

Masyarakat tidak butuh janji, mereka butuh bukti. Butuh layanan yang cepat, sederhana, dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika “kesan manis” yang dimaksud hanyalah pencitraan, maka kita sedang membangun istana dari gula: tampak indah, namun rapuh dan mudah larut.

Sudah saatnya kita berhenti terpukau oleh kemasan. Mari dorong pelayanan publik yang membumi, yang benar-benar memuliakan rakyat sebagai pemilik sah negara ini. Karena pelayanan yang sejati tidak menuntut pujian—ia bekerja dalam senyap, memberi manfaat dalam diam.