
Oleh: Paulus Laratmase
–
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), sebagai organisasi profesi guru tertua di Indonesia, kini berada di tengah tarik-menarik dua kutub ekstrem: satu sisi adalah para pengkritik tajam yang menyerukan pembubarannya, dan di sisi lain adalah para pendukung loyal yang membelanya sebagai “rumah besar para guru”. Narasi #Bubarkan PGRI menjadi viral di media sosial, sementara suara cinta seperti yang ditulis oleh Dr. Wijaya Kusumah (Omjay) terus menggema dalam berbagai forum pendidikan.
Keduanya tampak saling bertentangan, namun justru membuka ruang bagi kita untuk melakukan pembacaan ulang terhadap eksistensi dan relevansi PGRI hari ini. Saya baru saja dikirimkan dua tulisan terkait: #Bubarkan PGRI dan tulisan Dr. Wijaya Kusumah (Om Jay) oleh Ahmad Budhidharma, staf Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, serentak saya tertarik menuliskan tulisan ini dengan salah satu alasan, bahwa saya sebagai seorang guru yang sudah mengajar sejak tahun 1994 melihat PGRI sebagai sebuah organisasi besar di negeri ini, perlu direformasi.
PGRI Sudah Saatnya Dibubarkan
Kelompok kritis yang mendukung tagar #BubarkanPGRI menyuarakan keresahan yang konkret:
- Korupsi dan pungli di sekolah tidak direspons tegas oleh PGRI.
- Ketidaktransparanan dana hibah hingga ratusan miliar rupiah.
- Iuran wajib dari guru, termasuk yang bukan anggota, tanpa akuntabilitas yang jelas.
- Struktur organisasi yang elitis, meniru model partai politik daripada gerakan kolektif profesi.
- Minim pembelaan konkret terhadap nasib guru honorer dan guru swasta.
Kritik ini bukan tanpa dasar. Banyak guru di daerah yang tidak pernah merasakan kehadiran PGRI dalam perjuangan mereka. Lebih dari itu, PGRI disebut telah berubah dari organisasi perjuangan menjadi organisasi borjuis yang nyaman di ruang kekuasaan. Kritik tajam ini menantang: jika PGRI tidak bisa berubah, lebih baik bubar dan digantikan dengan wadah baru yang lebih egaliter dan relevan.
PGRI Adalah Rumah Perjuangan Guru
Di sisi lain, tokoh seperti Dr. Wijaya Kusumah (Omjay) menolak keras anggapan bahwa PGRI sudah tak relevan. Baginya, PGRI adalah wujud nyata dari solidaritas guru yang telah berakar sejak masa kemerdekaan. Ia menekankan: “Saya bergabung dengan PGRI bukan karena dipaksa, tapi karena cinta.”
Omjay menyebutkan bahwa PGRI hadir bagi semua guru tanpa membeda-bedakan, termasuk guru swasta dan honorer. Ia menyinggung peran PGRI dalam memperjuangkan tunjangan profesi guru (TPG), pengangkatan PPPK, dan perlindungan hukum guru. Di tengah cibiran, PGRI tetap menyelenggarakan konferensi, pelatihan, dan diskusi tentang arah pendidikan nasional. Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, bahkan menegaskan: “PGRI bukan organisasi eksklusif, tapi inklusif. Ia ada untuk memperjuangkan keadilan dalam kebijakan negara.” Namun Omjay juga mengakui pentingnya regenerasi dan keterlibatan guru muda. Ia tidak menutup mata terhadap kekakuan organisasi jika ditinggalkan oleh energi-energi pembaharu.
PGRI Harus Berubah untuk Tetap Bertahan
Kedua kutub ini antara cinta dan kritik, tidak harus saling meniadakan. Justru di titik inilah kita melihat peluang untuk transformasi. Gerakan pembubaran PGRI tidak harus dimaknai sebagai ajakan destruktif, tapi sebagai sinyal kuat akan kebutuhan perubahan mendasar dalam tubuh organisasi.
PGRI harus keluar dari menara gadingnya
PGRI harus hadir di ruang-ruang konkret guru, entah di pelosok, di madrasah swasta, di komunitas honorer, dan di ruang-ruang advokasi yang nyata. Jika memang ada elitisme, ketertutupan, atau penyalahgunaan dana, maka harus dibuka, diaudit, dan diperbaiki. Jika struktur terlalu birokratis, maka perlu disederhanakan agar lebih lincah dan partisipatif. Jika guru muda menjauh, maka harus ditarik masuk, didengarkan, dan diberi ruang aktualisasi.
Organisasi PGRI akan hidup jika ia membuka diri terhadap kritik. Sebaliknya, organisasi akan mati bukan karena dihantam dari luar, tetapi karena membatu dari dalam.
PGRI Tak Harus Bubar, Tapi Harus Berbenah
Membubarkan PGRI bukan solusi terbaik jika tidak ada alternatif yang lebih baik dan siap menggantikan. Tetapi membiarkan PGRI berjalan seperti sekarang tanpa koreksi juga akan melahirkan frustrasi kolektif di kalangan guru. Solusinya bukan pembubaran, melainkan reformasi menyeluruh. PGRI harus kembali ke khitahnya: menjadi organisasi perjuangan, tidak menjadi organisasi pelengkap kekuasaan dan harus menjadi jembatan, bukan tembok antara guru dan negara.
Untuk itu, suara guru muda harus masuk, bukan menjauh. Kritik harus menjadi cermin, bukan musuh. Dan PGRI harus siap melihat dirinya bukan dari dalam ruang sidang pengurus, tetapi dari mata para guru di ruang kelas yang sunyi, tempat perjuangan pendidikan benar-benar terjadi. PGRI akan tetap dicinta jika ia berani berubah.
Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa PGRI pernah menjadi besar, lalu dilupakan oleh generasinya sendiri.