Oleh: Esthi Susanti Hudiono
–
Rupanya ada kesamaan posisi saya dengan Reza dalam hal berteori dan berpraksis. Saya juga belajar dari Jurgen Habermas dalam kembangkan teori praksis saya yakni terbuka pada teori lain. Jurgen Habermas fokus pada teori komunikasi yang mentransformasi. Reza konsentrasi pada teori kesadaran yang mentransformasi. Saya konsentrasi pada perdamaian dalam dialog intra-inter agama-spiritual yang mentransformasi. Jurgen Habermas dan Reza telah memproduksi banyak buku. Sedang saya baru memulai menuangkan ide dalam buku.
Ada beberapa buku yang siap saya tulis dan terbitkan. Yang sekarang dalam deadline adalah dialog Kristen Katolik dan Kristen Protestan dalam bentuk penulisan memoar. Yang masih dalam studi adalah Bahai, Brahma Kumaris, Soka Gakkai. Studi Bahai dan Brahma Kumaris gunakan metode literasi dan dialog partisipasi penuh.
Kemarin saya dengarkan youtube di mana Reza paparkan sejarah lahirnya teori kesadaran. Youtube ini membuat saya menjadi paham sekali apa yang dimaksud. Sekaligus membuat saya sadar bahwa jalan yang ditempuh sama hanya beda metode pencapaian (ada metode yang sama). Yang sama misalnya jalan mendamaikan pemikiran barat dan timur. Latar belakang hidup dan kerja kami yang membedakan. Reza bertitik tolak dari filsafat barat yang sibuk dengan dunia ide. Sedangkan saya bertitik tolak pada penelitian evidence based dari pengalaman banyak orang dan diri sendiri, yang kemudian masuk dunia ide dengan belajar filsafat barat dan timur, agama dan spiritualitas.
Status ini mengkomunikasikan tentang perjumpaan pemikiran dengan Reza dan Brahma Kumaris kemarin dengan sampaikan proses yang saya jalani sekarang. Hasil perjumpaan dengan Reza telah panjang lebar saya sebut di atas dan saya mendaftar menjadi anggota Rumah Filsafat pimpinan Reza kemarin.
Brahma Kumaris sebagai aliran Raja Yoga banyak memberi insight dan kesadaran penting. Satu area aktivitas yang berkarakter berbeda sama sekali dengan dunia aktivis yang saya familier. Dari Brahma Kumaris dan Bahai saya menemukan tentang doa dan pikiran sebagai area pengabdian/pelayanan yang mempunyai makna penting. Brahma Kumaris memberi pelayanan pikiran yang tertuju orang lain dan alam semesta.
Kemarin saya menemukan insight kuat tentang ajaran Brahma Kumaris tentang 3 konsep holy. Konsep pertama berarti tentang lupakan dan tak simpan ingatan masa lalu sebagai cara majukan spiritual, menyentak kesadaran saya. Secara intuitif saya melihat kebenaran yang ada di dalamnya. Ajaran itu bertentangan dengan teori psikologi terkait trauma. Atasi trauma yang pusatkan ingatan yang melekat kuat dan menjadi tenaga penggerak adalah dengan membicarakannya. Cara ini yang akan membersihkan ingatan tersebut. Lalu? Menurut saya keduanya tak salah. Yang jadi soal adalah batas selesai pada metode katarsis yang sebaiknya tidak menjadi kebiasaan.
Perjumpaan saya sebagai feminis yang masuk wilayah spiritual dan kesadaran, menempatkan pada ruang kontroversi. Kontroversi dari pemahaman dan makna atas pengalaman tubuh dengan menghilangkan ego tubuh. Konflik perspektif ini saya hadapi lama sekali. Untung saja bisa saya selesaikan dengan moment transendensi spiritual yang terjadi beberapa kali. Hasilnya adalah muncul konsep dari pengalaman ini yakni feminis spiritual. Hasil riset dengan menggunakan pengalaman pribadi dengan metode autoetnografi ini akan saya tulis setelah buku-buku yang sedang dalam proses selesai saya tulis.
Sebelum menulis buku tentang feminis spiritual, hasilnya mau saya presentasikan di konferensi feminis bulan Juni 2024. Ide ini saya batalkan karena topik konferensi adalah oligarki dan liberalisme global. Topik tersebut tak sesuai. Karena itu saya putuskan presentasi tentang pengalaman menulis dan menyebarkan puisi pemilu yang pada dasarnya berperspektif post kolonialis yang kritisi modernitas.