Oleh: Stef Tokan, Pengamat masalah sosial
–
Masyarakat Italia dikenal dengan kebiasaan minum kopi atau “caffe cappucino”. Kafe selalu menjadi tempat yang paling sering didatangi orang. Anda silakan memilih jenis kopi yang disenangi: lungo, espresso, macchiato, atau cappucino.
Tapi bukan itu yang menarik. Di Italia ada tradisi meja bundar atau “tavola rotonda calda”. Sambil menyeruput kopi, orang-orang memiliki kesempatan ngobrol menyangkut pelbagai topik sosial yang diserap dari kehidupan harian mereka.
Kebiasaan ini kemudian berubah menjadi diskusi informal yang demokratis dalam batas-batas yang menghargai pendapat orang lain serta menjunjung kemerdekaan berekspresi.
Sementara itu, kecenderungan untuk memonopoli dan mendominasi diskusi dan pembicaraan akan segera ditolak teman sebelahnya.
Semangat diskusi dan ngobrol di sekitar kegiatan minum kopi ini berubah menjadi semacam ruang batin yang memampukan peserta mencerahkan hidupnya.
Membaca buku Dr Kees Bertens, “Filsafat Barat Abad XX Edisi Perancis”, segera kita akan mencium aroma tradisi diskusi ala “tavola ronda calda” itu.
Beberapa filosof besar justru merumuskan butir-butir pemikiran filosofisnya setelah mengalami pencerahan ide dari sebuah obrolan informal seperti itu. Filosof Albert Camus memiliki pengalaman ini. Dia rajin tongkrongan di kafe-kafe dan terlibat berdiskusi, lalu mendapatkan pencerahan dari sana.
Jauh hari sebelumnya, Socrates di Yunani memiliki kebiasaan “berdiskusi dengan publik” di pasar atau agora. Kata “agora” memang berarti pasar, namun tidak sekadar tempat berdagang barang komoditas (Kees Bertens: 1988).
Dalam masyarakat Yunani, agora terutama memegang fungsi sebagai tempat pertemuan, di mana segala peristiwa yang menyangkut kepentingan umum dibicarakan dan didiskusikan.
Dialog-dialog itu mencerahkan anggota masyarakat. Mereka memulainya dengan lontaran pertanyaan, lalu mendapatkan umpan balik, bahkan kritikan. Demokrasi pun lahir dari kegiatan olah pikir sederhana ini.
Tradisi obrolan di ruang publik semacam warung kopi, tumbuh subur di pelbagai daerah di Indonesia. Di Aceh misalnya, warung kopi menjadi tempat pertemuan anggota-anggota masyarakat. Bahkan sejak pagi hari. Sambil menyeruput kopi dan mengisap sebatang rokok, kaum pria Aceh melakukan pembicaraan-pembicaraan kecil yang bila ditelisik lebih lebih jauh maknanya amat mendalam. Walaupun tema pembicaraannya menyangkut hal remeh temeh dan tidak selamanya canggih, namun aksi komunikatif itu berlangsung intens dan menjadi kebiasaan yang mencerahkan orang di Aceh.
Kebiasaan ngobrol seperti itu ada juga di masyarakat Tanimbar, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku. Orang-orang tua itu sambil menenggak kopi atau sopi, mereka membicarakan banyak hal tentang kehidupan sosial dan budaya. Tak heran, cerita tentang sejarah leluhur dan adat Tanimbar diperdengarkan di situ. Anak-anak muda dapat menimba wawasan kultural dengan ikut nimbrung di situ. Setelah mereka bercerita, sering pula disusul dengan nyanyi bersama. lagulagu tradisional dengan pantun-pantun berisi nasihat meluncur bersama suara merdu mereka. Suasana gembira pun terlihat di situ.
Lain halnya di Solo dan Yogyakarta, yang kuat dengan tradisi lesehannya. Diiringi lagu “Kota Solo” kebiasaan lesehan di kota ini memang merupakan warisan kultur priyayi, yaitu kultur “ngelaras” sebuah kecenderungan untuk menikmati hidup, misalnya dengan gemar jajan. Orang suka memanjakan lidah (keplek ilat).
Walau semula lesehan berasal dari tradisi priyayi, namun kini ia menjadi semacam media sosialisasi dan sekaligus komunikasi bagi warga kota. Konsep lesehan menjadi menarik dan digemari dikarena ia merupakan wacana kerakyatan yang membebaskan. Menyantap makanan secara lesehan memberi kebebasan dan kemerdekaan.
Di situ, mungkin, tidak terlalu penting menu yang dipesan. Yang dibutuhkan adalah suasana dan komunikasi yang berlangsung: canda-tawa, gosip, atau mungkin juga suatu pembicaraan yang sangat ilmiah walau dalam koridor humanistik.
Sayang, tradisi obrolan ini mengalami proses sofistifikasi dan komodifikasi, ketika sebuah warung lesehan diboyong ke “pusat” kekuasaan ekonomi dan politik yang bernama “kafe”. Di kafe-kafe modern itu, komunikasi kita tidak informal dan humanistik lagi. Ia telah berubah menjadi obrolan politik, ekonomi, hukum dan segala narasi besar.
Politisi, pengusaha, atau ahli hukum berkumpul di satu meja, dengan membicarakan tema-tema yang sangat “mengerikan”: hari ini kita makan apa, besok kita makan di mana, dan lusa kita makan siapa. Tak dimungkiri, pembicaraan politik tingkat tinggi di Senayan diatur dari meja-meja kafe ini. Dan, kita tahu bahwa transaksi-transaksi finansial, politik uang, hingga kemesuman dimulai dari situ.
Pada “politik kafe” penguasa dan pengusaha saling dan merekayasa isu-isu yang bertujuan menaklukkan lawan politik mereka. Karena prosesnya sudak maksiat, maka hasilnya pun berwarna maksiat.
Kita kehilangan kultur yang menyejukkan hati dan budi ketika budaya kapitalisme mampu merambah dan mengubah kesadaran kita dengan sesuatu yang serba “wah”. Dialog-dialog kemanusiaan yang mencerahkan, memang, cenderung terpinggirkan ketika globalisasi makin lincah memelintir kesadaran kita. Tapi kita tetap ingat: globalisasi selalu bergandengan tangan dengan gombalisasinya sendiri. *