Gesekan antar elit politik baik dalam internal parpol maupun antar parpol peserta pemilu 2024 kian terasa. Pertarungan hingga upaya menyingkirkan teman dan lawan politik seakan menjadi budaya politik yang sudah lama bertengger di Indonesia. Hal itu berbanding terbalik dengan realitas masyarakat yang terus terpuruk dalam kubangan kemiskinan. Naturalisme politik amat mengakar di negeri ini.

Usai Partai Nasdem diguncang karena memilih Anies Baswedan sebagai capres 2024, kini Partai Golkar digoyang dari internal dan eksternal partai itu karena kecilnya elektabilitas Ketua Umum Airlangga Hartarto untuk dicapreskan partai berlambang beringin itu.

Pelbagai gesekan politik elit tingkat nasional dan lokal seperti ini selalu muncul mewarnai berita politik tanah air sehingga masyarakat beranganggapan bahwa jalannya sebuah pemerintahan negara sangat tergantung pada siapa elit yang memimpin dan berkuasa, atau partai politik mana yang jadi pemenang pemilu. Kritik dan oposisi perlu ditolak.

Pertanyaan kecil yang menantang untuk dijawab adalah apakah benar dan terbukti bahwa dengan terpilihnya sosok elit politik tertentu, yang didukung elektabilitas tinggi dan parpol besar maka keadilan dan pemerataan hasil pembangunan otomatis terwujud?

Membaca perjalanan politik Indonesia sejak Orde Baru hingga reformasi, kita akan menemukan naturalisme dalam politik Indonesia. Naturalisme adalah pandangan yang mengatakan perkembangan sejarah dan proses-proses sosial akan berjalan secara alamiah, dan bukan diatur oleh manusia. Keadilan sosial dan pemerataan hasil pembangunan akan terwujud dengan sendirinya, sehingga masyarakat tak perlu takut, tetapi perlu percaya saja kepada elit politik dan pemerintah. Rakyat dilarang kontrol, kritik, dan bersikap oposisi, semua akan “indah pada waktunya”.

Konsep pembangunan (developmentalisme) pada Orde Baru persis memperlihatkan dianutnya pemikiran naturalistis itu dalam politik Indonesia. Seakan dengan pembangunan yang menyeluruh, yang diikuti pertisipasi aktif masyarakat (termasuk masyarakat harus membiarkan tanah miliknya dijadikan jalan tol) maka keadilan sosial dan pemerataan hasil-hasil pembangunan akan terjadi secara alamiah dan masyarakat Indonesia jadi sejahtera. Atau, seakan-akan dengan mengikuti penataran P4 sekian jam maka masyarakat secara alamiah menjadi baik. Sebuah asumsi yang perlu diteliti.

Kita semua telah melihat hasilnya. Secara alamiah justru tidak terjadi pemerataan hasil pembangunan bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Sebaliknya, tingkat kemiskinan semakin tinggi. Keadilan sosial tak bisa dicecap tiap warga negara, sebaliknya masyarakat menjadi korban ketidakadilan negara dan penguasa, korupsi kian menggurita.

Pemikiran naturalisme dalam politik Indonesia berakar cukup dalam pada budaya politik Indonesia. Di bawah Orde Baru, para ekonom terbaik Indonesia dikirim ke Amerika untuk studi tentang pembangunan. Mereka pulang dengan membawas teori-teori pembangunan (developmentalism theory). Pemikiran Walt.W. Rostow (1916-2003) menjadi model pembangunan di Indonesia. Konsep-konsep seperti tinggal landas (take-off) atau pembangunan jangka panjang, menjadi titik berangkat tiap aksi pembangunan. Namun, kita tahu Orde Baru tak pernah membuat rakyat sejahtera.

Naturalisme politik Indonesia merupakan sebuah imajinasi keliru, yang sesungguhnya menipu kesadaran politik masyarakat. Naturalisme politik menampik dimensi tanggung jawab manusia, karena tanggung jawab oleh naturalisme dianggap sesuatu yang alamiah. Oleh karena itu, naturalisme menyangkal etika politik.

Analisis kritis dari para pemikir mazhab Frankfurt memperlihatkan kesadaran palsu (ideologis) dibangun secara ideologis membuat masyarakat melakukan penipuan diri terhadap dirinya sendiri. Apa yang dianggap sebagai kesadaran ternyata sebuah kepalsuan diri.

Bagaimana kesadaran palsu itu berkembang, Horkheimer dan Adorno, dua pemikir terkemuka Mazhab Frankfurt, ini mengatakan kekuatan politik yang ideologis telah menancapkan kukunya kedalam kesadaran tiap person. Di bawah tekanan lembaga politik dan ekonomi, lewat pelbagai bentuk sosialisasi dan cuci otak (brainstorming) secara intens dan masif, kesadaran palsu itu terbentuk. Masyrakat kemudian hidup dengan kesadaran palsu dan tidak menyadarinya lagi.

Reformasi politik 1998 yang menjatuhkan Soeharto juga terlihat mengidap politik naturalistik ini. Massa berkonsentrasi pada upaya menjatuhkan pemerintahan Soeharto, tanpa matang berpikir apa yang akan dilakukan setelah penumbangan itu. Terbukti, setelah reformasi penyakit akut korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap tumbuh subur dan berkembang biak ke daerah-daerah.

Desentralisme kekuasaan malah melahirkan raja-raja kecil di daerah yang jauh lebih kejam dan bengis. Dana yang digulirkan ke daerah justru tak diserap dengan baik, tetapi masuk ke kantong pribadi dan kelompok yang kemudian melahirkan kegaduhan politik lokal. Hebatnya, para elit koruptor itu dibela mati-matian oleh masyarakatnya. Untuk menangkap seorang elit di daerah yang terindikasi korupsi butuh pasukan besar. Kesadaran palsu yang dilahirkan oleh naturalisme politik benar-benar menjadi kenyataan. Sikap jujur dianggap sesuatu yang aneh. Muncul frasa “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”.

Yang sangat berbahaya ketika para elit politik, entah legislatif, eksekutif, dan yudikatif berpura-pura berdiam diri menyaksikan sekian persoalan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Keputusan politik dan kebijakan politik lebih mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang rakyat jelata.

Dalam watak sosialnya manusia cenderung membangun kebersamaan, namun dalam watak politiknya manusia cenderung mementingkan dirinya dan kelompoknya. Bagaimana harus dicari keseimbangannya, itulah pentingnya pemikiran kritis dalam budaya politik Indonesia yang belum menghasilkan keadilan sosial dan pemerataan hasil pembangunan. Perimbangan kekuasaan pada institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif mutlak diperlukan selain koordinasi dan integrasi ketiganya. *

 

Stef Tokan, anggota JPIC MSC Indonesia.