Tulisan ini adalah sebuah opini yang lahir dari pengamatan dan direfleksikan sebagai upaya edukasi publik atas degradasi moral yang tanpa sadar melekat dalam rutinitas kebangsaan kita. Gambar SD. YPPK ST. YOSEP 2 BIAK diangkat menjadi sebuah ilustrasi sekaligus mewakili keberadaan lembaga-lembaga serupa lainnya bahwa inilah fakta yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita.

Menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78, ada banyak even dan kegiatan yang dibuat oleh masing-masing daerah. Dalam rangka itu, berdasarkan surat edaran pemerintah setempat setiap lembaga pemerintahan dan non pemerintah (yayasan) juga diminta untuk terlibat menyemarakkan pelaksanaan HUT RI-78.

SD. YPPK ST. YOSEP 2 Biak dalam hal ini juga turut mengambil bagian dalam rangka HUT RI ke-78 dengan mengikuti sejumlah kegiatan: parade drumband, lomba gerak jalan, lomba pidato, lomba paduan suara, lomba olahraga serta berbagai festival budaya nusantara di Kabupaten Biak Numfor. Jadi selain SD. YPPK ST. YOSEP 2, sekolah-sekolah lain baik di tingkat TK, SD, SMP, SMA pun turut terlibat.

Bagi saya ini sebuah fenomena yang sudah dan akan terus terjadi di hampir setiap tahunnya. Di mana kemeriahan setiap even selalu diiringi dengan beragam perlombaan menjelang hari “H”. Tidak hanya secara nasional, tetapi secara lokal pun tak jarang perlombaan menjadi suatu kebiasaan untuk dilaksanakan menjelang acara puncak kegiatan tertentu. Jadi, seolah-olah lomba harus ada dalam setiap bentuk kegiatan hidup kita. Hampir setiap orang begitu senang dengan adanya lomba.

Tampak pada gambar di atas, siswa/i  sedang mempersiapkan berbagai perlombaan salah satunya adalah lomba parade drumband antar sekolah-sekolah sekabupaten Biak Numfor. Kelihatan anak-anak begitu antusias terlibat dalam pelbagai kegiatan tersebut. Bahkan hampir seluruhnya dari mereka ingin mengikuti lomba drumband karena didukung oleh orang tua yang juga dapat mengusahakan segala perlengkapan demi anak-anak. Dalam tahap latihan, mereka harus diseleksi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dalam kelompok drumband. Itulah sebabnya mereka saling berkompetisi menampilkan yang terbaik untuk bisa terpilih. Kenyataan demikian yang bagi saya perlu disadari sebab yang ditampilkan oleh anak-anak adalah kebiasaan untuk berkompetisi bukan berkolaborasi.

Apa yang dibutuhkan dunia sekarang ini, “Kompetisi atau Kolaborasi”?

Oleh sebagian orang katanya dengan lomba mereka bisa tahu siapa yang paling terbaik diantara mereka. Dengan lomba mereka bisa menjumpai orang-orang baru. Selain itu, dengan lomba mereka bisa saling belajar dari orang lain. Terlebih dengan menang lomba reputasi kita akan naik. Apakah benar begitu?

Saya yakin bahwa di balik suatu perlombaan, ada keinginan untuk berkuasa, ada keinginan untuk saling menghancurkan lawan. Jadi konsekuensinya relatif, dan bagi saya justru hal tersebut lebih besar dorongannya dalam diri setiap orang, ketimbang keinginan untuk belajar bersama atau belajar dari orang lain.

Apa yang kita butuhkan sekarang ini adalah kerja sama, atau kolaborasi. Bagi saya kita tidak perlu berkompetisi, karena dengan begitu setiap orang terdorong untuk saling memecah belah daripada menyatukan. Akibatnya banyak diantara kita yang berkompetisi dengan cara yang tidak sehat. Akhirnya kita seperti lebih sibuk menghabiskan energi untuk mencapai suatu kemenangan semu.

Di Indonesia banyak sekali kita temukan berbagai kegiatan yang diselingi dengan lomba-lomba. Entah di lembaga pendidikan (sekolah-sekolah, universitas), bahkan di lembaga-lembaga sosial-masyarakat atau pemerintahan yang tak jarang juga ikut mengadakan lomba. Ini menandakan bahwa orang begitu antusias dengan adanya lomba. Mereka lupa bahwa dengan berlomba, keinginan untuk saling mengalahkan jauh lebih besar ketimbang keinginan untuk bekerja sama. Akibatnya kita tidak lagi berpikir untuk kepentingan bersama, tetapi hanya untuk kemenangan suatu kelompok kecil.

Tak jarang di dalam lomba kita diajarkan untuk bersikap sportif. Namun nasehat itu sepertinya hilang lenyap, ketika kita sendiri hendak berlomba karena terdorong oleh keinginan untuk berkuasa. Akhirnya nilai belajar dan kerja sama hilang digilas oleh kehendak untuk membuktikan diri semata.

Kasihan para murid kita. Mereka diminta membuktikan diri dengan lomba. Padahal ketika berlomba mereka seperti dilempar ke dalam kandang untuk bertarung. Mereka tidak diajarkan untuk berkolaborasi dengan orang lain. Mereka justru diajarkan untuk lebih baik dari yang lain dengan mengalahkan mereka dalam lomba yang sifatnya semu semata.

Dengan berlomba setiap orang tidak diajak untuk bekerja sama, mereka terkurung dalam pandangannya masing-masing. Yang terjadi dalam lomba bukanlah suatu dialog, tetapi dua log (GM, 2009). Inilah pendapat Goenawan Mohamad di dalam salah satu artikelnya di Catatan Pinggir Tempo. Ibaratnya dua TV yang dihadapkan, orang saling berlomba, tanpa berusaha mencari titik temu untuk bekerja sama. Berlomba membunuh keterlibatan.

Saya kira Indonesia perlu belajar dari negara-negara Uni Eropa perihal kolaborasi. Mereka merasa tidak perlu berkompetisi satu dengan yang lain karena merasa lebih kuat bila berada bersama. Bangsa kita perlu belajar untuk berkolaborasi, bekerja sama bukan berlomba. Jadi, pesannya adalah kolaborasi jauh lebih bermakna daripada kompetisi. Kerja sama jauh lebih bermakna bagi kehidupan, daripada berlomba. Akhirnya situasi yang terjadi di Indonesia adalah kita seperti terbelah dalam lomba. Konsekuensinya orang merasa enggan untuk terlibat. Sebagai bangsa kita terpecah akibat terlalu banyak berlomba. Kita lupa akan visi dan misi pendidikan yang mesti kita bawa ke dunia, yang diwujudkan dalam tindakan keseharian. Sibuk berlomba membuat kita lupa. Sibuk berlomba membuat kita mengabaikan apa yang sungguh penting. Sibuk berlomba memecah perhatian kita untuk apa yang sungguh berharga. Namun karena sibuk berlomba kita lupa akan cita-cita bersama-sama.

Inti dari apa yang hendak dikatakan adalah dunia kita sekarang ini membutuhkan kerja sama atau kolaborasi. Karena itu perlu menumbuhkan kesadaran bahwa lawan bukanlah sesuatu yang perlu dikalahkan, melainkan diajak untuk terlibat guna mencapai nilai yang baik untuk kehidupan bersama. Lebih dari itu, paradigma berpikir kita juga harus diubah dari paradigma kompetisi menjadi paradigma kolaborasi atau kerjasama. Dunia masa depan adalah dunia kolaborasi.

 

Fenan Ngoranmele