Pada 31 Desember 2023 grup band legendaris asal Papua, Black Sweet Club Band merayakan ulang tahun berdirinya ke-42 tahun. Sebuah usia yang panjang untuk ukuran sebuah grup band di Indonesia, di tengah fenomena gonta-ganti personil sebuah band dan konflik antaranggota yang berakhir dengan pembubaran.
Sejak era Reformasi dengan angin perubahan ekonomi dan iklim politik yang lebih bebas, banyak grup band yang lahir, lalu jadi terkenal dan disanjung penggemar, tapi dalam usia singkat pula mereka telah bubar.
Popularitas masih menjadi tujuan utama banyak musisi. Sayang, setiap popularitas tak selamanya bisa tegak. Ada angin perubahan yang mengubah selera pasar. Maka dibutuhkan konsistensi, juga dalam bermusik.
Tahun ini, grup band legendaris God Bless, salah satu grup musik rock terkenal Indonesia, juga baru saja merayakan usia 50 tahun. Penggemarnya membeludak. Publik memuji. Musik tak pernah mati.
Usia ke-42 Black Sweet, bagi drummer John Keff Kadtabal, merupakan sebuah perjalanan sejarah panjang, bak “the long and winding road”. John Keff melihat aspek konsistensi dalam bermusik sebagai sebuah keputusan diri, merupakan dasar dari eksistensi grup band Black Sweet.
Bersama Black Sweet, John Keff sudah berkeliling dari panggung ke panggung, dari daerah ke daerah. “Di Black Sweet, kami itu sudah seperti saudara. Suka dan duka ditanggung bersama. Ya, persaudaraan. Itulah kami,” cerita John pada suatu saat.
Di tahun 1982 Black Sweet merilis album perdana mereka bertitel “Rintihan Sebuah Hati”. Segera album itu memantik rasa kagum penggemar musik dan industri musik Indonesia. Di Medan, album itu habis di toko kaset. Warna musiknya berbeda. Ada tiga pemain brass section (alat tiup) yang cukup mewarnai musik grup ini.
Lagu “Rintihan Sebuah Hati” dibuka dengan intro permainan saxophone Amri M. Kahar, disusul suara duet trompet Iskandar Assor dan Karim Assr, gebukan drum John Keff, dentang keyboard Gerald Tethool, cabikan bass Harry Letsoin, dan petikan gitar Steven Letsoin: menciptakan harmonisasi yang indah dan mengagumkan. Suara alamiah dan unik Ian Ulukyanan langsung menyergap: “Di kesenyapan malam itu//terdengar simfoni yang mengalun jauh//rintihan sebuah hati yang mendambakan belaian kasih sayang…//
Selain “Rintihan Sebuah Hati” ciptaan Steven Letsoin, dalam album itu tersaji “Mutiara yang Kusayangi”, “Pusara Tak Bernama”, “Indonesia Jaya”, “Remaja”, “Bilakah Bersemi”, “Sahabatku Sayangku”, “Smile”, “Kadaria”, Kie Raha”, “Isalei Leia” dan “Mam Vavain”.
Pada lagu berbahasa Ternate “Kie Raha” ciptaan Amri M. Kahar, misalnya, suara trompet yang tajam dan saling bersahutan ditimpali drum dan bass, membuat lagu bernuansa rock and roll, terasa menggoyang badan dengan kepala tetap tegak.
Foto cover kaset album perdana itu segera menimbulkan rasa ingin tahu pencinta musik. Itu pilihan foto cover yang tidak biasa. Dalam foto terlihat delapan pria tampan dengan rambut kribo panjang, bertelanjang dada, mengenakan celana jeans dan aksesoris khas Papua melilit di tubuh mereka.
Mereka adalah Steven Letsoin (lead guitar), Harry Letsoin (bass), Amri M. Kahar (saxophone), Ian Ulukyanan (lead vocal), Gerald F. Tethool (keyboard), John Keff Kadtabal (drum), Iskandar Assor (trompet), Karim Assor (trompet, flute).
Foto cover kaset itu tampak berbeda dengan foto cover kaset musisi Indonesia lain masa itu. Identitas dan warna Papua langsung menyambar kesadaran kita. Pada saat itu, banyak penggemar musik mengatakan, pengganti Black Brothers telah muncul.
Black Brothers merupakan band pertama asal Papua, yang muncul pada 1976, dan mampu menggebrak panggung musik Jakarta, yang saat itu didominasi band-band besar asal Surabaya, Bandung, dan Jakarta: God Bless, SAS, AKA, Rollies, Giant Step, Freedom of Rhapsodia.
Pada 1979 Black Brothers hengkang ke luar negeri. Publik Indonesia pun kehilangan musik energik dari anak-anak Papua itu. Itulah mengapa kehadiran Black Sweet pada 1981 itu bak sebuah kehadiran yang telah lama ditunggu.
Album perdana BlackSweet segera disusul album-album berikutnya: “Lembaran Kisah Lalu”, “Christy”, “Untukmu Ayah Ibu” hingga “Boven Digoel Tercinta”. Dalam setahun, paling kurang Black Sweet merilis dua album baru, selain memproduksi album kompilasi atas permintaan pasar. Terlihat di situ mereka sangat produktif. Black Sweet juga mengeluarkan beberapa album pop daerah Papua, Maluku, Kei, Manado, Album perdana pop daerah Indonesia mereka rilis pada 1984 berisi lagu-lagu dari Batak, Ternate, Ambon, Kei, dan Papua.
Sementara itu permintaan pasar tetap tinggi pada kaset-kaset Black Sweet. Segera tampak aktivitas mereka masuk keluar studio rekaman, selain melayani permintaan show ke daerah-daerah. Warna musik mereka cukup diterima dan disukai masyarakat Indonesia.
Awal Tekad dan Optimisme
Di pengujung 1981, lima pemuda berambut kribo menatap tegak kota Jakarta dari atas geladak kapal KM Walisano yang baru saja merapat di dermaga Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 29 Desember 1981. Optimisme diri segera membuncah di dada dalam menggapai idealisme anak daerah.
Menuruni tangga kapal dengan menenteng tas dan sebuah gitar tua. Gitar akustik itu terlihat hampir ompong karena senar-senarnya sudah putus selama perjalanan Jayapura-Jakarta. Dua puluh hari (9-29 Desember 1981) perjalanan laut yang melelahkan. Kerinduan untuk merekam musik sendiri pada pita kaset membuat Steven cs mengabaikan kesulitan lain yang biasanya dialami para perantau.
Turun dari kapal dengan menenteng koper dan ransel masing-masing, kelima personil awal Black Sweet itu – Steven Letsoin, Gerald F. Tethool, Ian Ulukyanan, Harry Letsoin, dan John Keff Kadtabal – menuju Jl. Pejagalan 4, Jakarta Pusat. Rumah nan sempit, mereka terpaksa bersosokan.
Menurut cerita sang vocalis, Ian Ulukyanan, bahwa pada 31 Desember 1981 mereka memproklamirkan nama “Black Sweet” sebagai nama club band mereka. Itulah mengapa Ian mencantumkan tanggal 31 Desember 1981 sebagai hari kelahiran grup musik asal Papua ini.
Jalan menuju sukses pun mulai diukir dari sini. Steven Letsoin, Harry Letsoin, Ian Ulukyanan, Gerald Tethool, dan John Keff Kadtabal tak lain adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura. Saat itu, hanya Steven yang sudah tamat dan mulai mengajar sebagai guru dan dosen. Sementara yang lain masih berstatus mahasiswa aktif.
Di Jayapura kelima personel cikal bakal Black Sweet ini bermain pada dua band yang berbeda, yaitu Band Cenderawasih di bawah asuhan TNI AD dan Band Universitas Cenderawasih, yang personilnya mahasiswa di kampus. Saat itu, mereka sudah mulai menciptakan lagu dan lagu-lagu itu disenangi masyarakat, misalnya “Rintihan Sebuah Hati”, “Memori 3 Februari” atau “Smile”. Mereka pun mendapat dorongan dari teman-teman di kampus untuk merekam musik mereka di Jakarta.
Keakraban kelima personil ini sudah berlangsung lama. Steven, Harry, Gerald, dan John Keff sudah saling mengenal saat masih di Merauke. Di Merauke pula mereka sudah terjun bermain musik, bergabung dengan grup band masing-masing. Harry Letsoin, misalnya, sebelum berpindah ke bass, dia pegang gitar melodi. Sebaliknya, dulu Steven Letsoin pemegang gitar bass sebelum pindah ke lead guitar. Sejak duduk di SPG, John sudah duduk di drum. Demikian juga Gerald. Gerald dan Harry berlatih main harmonium di gereja dibawah asuhan seorang pastor asal Belanda.
Di masa itu, di “Kota Rusa” Merauke sudah terdapat band-band lokal, yang bermain dengan instrumen seadanya. Walau demikian, tampak para pemain itu memiliki skill yang mumpuni. Lomba-lomba pentas seni musik juga selalu digelar.
Namun, tiupan kencang musik global akhirnya tiba juga di telinga masyarakat pencinta musik. Radio-radio bergairah memutar lagu-lagu dari penyanyi dan grup band yang lagi trend di Eropa dan Amerika. Musisi dan musik dengan genre rock and roll yang melanda daratan Eropa dan Amerika akhirnya menyusupi telinga pendengar Indonesia. Suara Elvis Presley dan lagu-lagu The Beatles, Led Zeppelin, Rolling Stone, Black Sabath, atau Nazareth makin terdengar di radio-radio. Publik menyimak, lalu meniru. Globalisasi musik adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
Musisi muda Indonesia terus menyerap dan memanggungkan tembang-tembang keras dari Barat itu ke atas panggung-panggung papan. Mereka berjingkrak. Tak hanya lagu dan musiknya yang ditiru, melainkan seluruh aksesoris panggung dan gaya hidupnya diikuti dengan taat. Rambut gondrong dan celana cutbrai menjadi mode penampilan anak muda, di atas panggung pun dalam pergaulan sehari-hari.
Pada 31 Desember 1981, nama “Black Sweet” diproklamirkan di Jakarta, dengan menambah tiga personil baru yang menanggani alat tiup (brass section), yaitu Amri M. Kahar (saxophone), Iskandar Assor (trompet), dan Karim Assor (trompet, flute). Amri adalah mantan personil Black Brothers yang terbentuk pada 1976, sementara Iskandar Assor dan Karim Assor baru bergabung di Black Brothers pada album terakhir “Hening” sesuai kontrak Black Brothers dengan Irama Tara. Saat itu Hengky MS dan David Rumagesang sudah tidak di grup ini. Manajer Andy Ayamiseba merekrut Sandhy Bettay (vocal), August Rumwaropen (gitar, vocal), Iskandar Assor (trompet), dan Karim Assor (trompet).
Setelah tiba di Jakarta, dengan menggenggam kaset master berisi musik mereka, ke-8 personil Black Sweet ini mendatangi studio rekaman dan menawarkan karya kreatif mereka. Memang tak mudah. Selain persaingan begitu ketat di dunia rekaman, juga saat itu selera musik lagi jatuh ke penyanyi solo yang jelita. Pasar menciptakan selera itu, dan para pemilik label dan studio rekaman sangat menentukan arah genre lagu untuk diterima publik.
Tahun 1980-an, belantika musik Indonesia sedang didominasi para penyanyi solo. Musik dari grup band sedang menurun. Sebaliknya, para biduan cantik dan bersuara merdu tengah digandrungi dan menjadi pilihan utama para produser musik, dan dominan menghiasi panggung musik saat itu.
Studio-studio rekaman dan label musik sedang dipenuhi penyanyi cantik jelita dan pria tampan menawan. Toko-toko kaset penuh dengan kaset ber-cover wajah penyanyi baru. Sebuah demokrasi ikut tumbuh di situ.
Persaingan amat ketat. Para produser musik melakukan seleksi ketat. Nilai jual seorang musisi menjadi pertimbangan utama. Tak gampang menembus dapur rekaman dan label, saat itu. Tak ada yang instan. Kualitas diutamakan, dan memang harus dibuktikan.
Hari demi hari, minggu dan bulan pun berlalu. “Tak ada kata menyerah,” kata keyboardist Gerald F. Tethool, di rumahnya, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Kaset master berisi demo lagulagu dan musik mereka belum dilirik produser. Tapi, musik punya sisi lain, yakni selera pencinta musik. Selera itu bisa berubah begitu cepat, sehingga dunia industri musik dipaksa memilih.
Kata pepatah, setiap kerja keras dan suar-lelah akan menemukan hasilnya. Kaset master itu didengar dan diterima Label rekaman Dunia Musik. Mereka pun masuk dapur rekaman. Meledak. Album perdana “Pusara Tak Bernama” mendapat sambutan hangat pencinta musik Tanah Air. Lahir pula para Fans Club’ Black Sweet di seputar Jakarta dan Bogor. Ian Ulukyanan cs kelabakan menerima kehadiran para penggemar.
Sejak masuk dapur rekaman, Black Sweet terbilang band yang amat produktif melahirkan album demi album. Lagu “Lembaran Kisah Lalu” pada album kedua mereka sempat bertengger beberapa Minggu di tangga musik Jakarta. Radio-radio ramai memutarnya berkali-kali atas permintaan pendengarnya.
Hanya dalam beberapa waktu saja jumlah album yang mereka rilis terbilang banyak. Harus diakui, tahun 1982 – 1990 merupakan tahun paling produktif grup band pimpinan Steven Letsoin ini. Berapa saja album yang mereka luncurkan ke publik pada tiga tahun awal (1982-1985) kemunculan mereka? Amat produktif. Lagu-lagu mereka tercipta begitu cepat, mengalir seperti air sungai di Papua yang tiada henti.
Black Sweet lahir di era ketika industri musik Indonesia tengah penuh persaingan ketat. Kualitas musikal jadi kriteria utama bagi produser dan label studio rekaman. Black Sweet hadir pada era yang tepat, era kompetitif dengan mutu musik yang berkualitas.
Ratusan lagu yang mereka ciptakan menjadi bukti nyata kualitas diri mereka sebagai musisi handal. Bermain musik sejak remaja, hingga berani meninggalkan kampus yang tak lama lagi mendaulat mereka sebagai sarjana: ini sebuah keberanian dalam memilih jalan hidup.
Stef Tokan
Pengamat Sosial