Oleh: KULDIP SINGH
SekJen PIJAR Indonesia 1998
–
Baru baru ini publik menyoroti Uya Kuya dan istrinya, Astrid yang sedang berada di Amerika Serikat untuk melakukan liputan di Los Angeles yang sedang mengalami bencana kebakaran hebat. Uya Kuya dan Astrid adalah anggota DPR RI dan DPRD DKI Jakarta yang terpilih dalam pemilu legislatif 2024 yang lalu. Perhatian publik ini terkuak melalui postingan di media sosial oleh seorang warga negara Amerika yang saat itu mendapati Uya Kuya, Astrid dan anaknya sedang melakukan pengambilan gambar dan video di depan halaman rumahnya yang terdampak bencana. Sang pemilik rumah merasa keberatan dan meminta Uya Kuya menghentikan pengambilan gambar tersebut dengan alasan tidak ada ijin dan tidak berempati terhadap korban bencana. Tak ayal kejadian ini menuai banyak kritik dan komentar pedas dari netizen baik dari Indonesia maupun luar negeri.
Dari kejadian diatas, apa sesungguhnya yang bisa kita ambil hikmah dan pelajaran, termasuk apakah tepat di saat reses justru anggota dewan melakukan perjalanan keluar negeri untuk berlibur atau berkegiatan lain diluar peran dan fungsinya sebagai anggota dewan. Tentu saja, kasus seperti ini barangkali tidak hanya terjadi saat ini saja, bukan tidak mungkin pemanfaatan waktu reses untuk pelesiran ke luar negeri sudah menjadi budaya perilaku politisi kita pada umumnya.
Reses Adalah Mekanisme Umpan Balik
Masa reses bukanlah masa istirahat, melainkan masa kerja politik di lapangan. Dalam masa ini, anggota DPR RI maupun DPRD menyerap aspirasi, mendengarkan kebutuhan, keluhan, dan masukan langsung dari masyarakat di daerah pemilihannya. Dalam masa reses ini pula setiap anggota dewan melaporkan kinerjanya, menyampaikan hasil kerja mereka kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan pertanggungjawaban. Juga memastikan keterwakilan dengan mengidentifikasi isu-isu lokal untuk diperjuangkan dalam forum legislatif. Dalam arti yang fundamental, “masa reses ini adalah mekanisme umpan balik (feedback mechanism) antara anggota dewan yang terpilih dengan masyarakat yang diwakilinya”.
Fenomena anggota dewan yang memanfaatkan masa reses untuk kegiatan pribadi, seperti berlibur atau aktivitas lain yang tidak relevan, mencerminkan begitu rendahnya penghormatan terhadap tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Tidak adanya mekanisme pengawasan yang ketat membuat praktik seperti ini sering terjadi tanpa konsekuensi nyata. Publik sering tidak tahu bagaimana anggota dewan memanfaatkan waktu reses mereka, sehingga sulit menilai kinerja mereka secara objektif.
Langkah Perbaikan
Penguatan Peran Komisi Etik Dewan
Komisi Etik DPR RI dan DPRD harus diberikan kewenangan yang lebih tegas untuk mengawasi masa reses, termasuk memantau agenda kerja setiap anggota dewan selama masa reses. Pelanggaran seperti penggunaan masa reses untuk kepentingan pribadi harus diberikan sanksi tegas, seperti pemotongan tunjangan, publikasi pelanggaran, atau sanksi politik dari partai pengusungnya.
Revisi UU MD3
Setiap anggota dewan perlu diwajibkan untuk melaporkan agenda dan hasil kegiatan masa reses kepada publik, yang dipublikasikan melalui media resmi DPR/DPRD dan partai politik. Publikasi ini sebaiknya juga mencakup lokasi kunjungan, kelompok masyarakat yang ditemui, dan aspirasi yang diperoleh, agar masyarakat dapat memantau dan menilai relevansi kegiatan mereka.
Dalam UU MD3 hendaknya dinyatakan secara tegas bahwa pelaksanaan masa reses ini sebagai kewajiban formal bagi setiap partai politik yang kadernya duduk di legislatif. Dalam UU MD3 perlu ada pasal khusus yang mengatur sanksi bagi anggota dewan yang tidak memanfaatkan masa reses untuk kepentingan masyarakat di dapilnya.
Pengawasan Publik dan Media
Media massa dan masyarakat sipil harus lebih aktif memantau aktivitas masa reses anggota dewan. Hal ini dapat menjadi bagian dari upaya memperkuat akuntabilitas publik. Disamping itu peningkatan literasi politik masyarakat tentang peran masa reses juga penting agar rakyat dapat lebih proaktif dalam mengawasi wakil mereka.
Budaya Politik Baru
Kejadian seperti Uya Kuya dan Astrid ini menunjukkan perlunya transformasi budaya politik di Indonesia. Para politisi harus mulai menyadari bahwa masa reses bukan sekadar formalitas, melainkan kesempatan untuk memperkuat legitimasi dan kepercayaan rakyat. Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih aktif menuntut tanggung jawab dari wakil mereka.
Kasus seperti ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan melulu hanya tentang pemilu, tetapi juga tentang bagaimana wakil rakyat menjalankan mandatnya sehari-hari. Jika masa reses dapat dimanfaatkan dengan baik, ini akan menjadi salah satu mekanisme utama untuk memperbaiki hubungan antara rakyat dan wakil mereka. Namun jika disalahgunakan, hal ini justru memperkuat sikap apatis masyarakat terhadap politik. Maka, regulasi, pengawasan, dan budaya politik yang lebih baik adalah kunci untuk mengatasi masalah ini.
Jakarta, 19 Januari 2025