Oleh: Paulus Laratmase
–
Hari itu, saya diundang mengikuti sebuah kegiatan internasional. Tanpa disadari pemikir-pemikir kaum intelektual Indoneisa yang selama ini saya kagumi hadir. Prof. Saparinah Sadli, Prof. Siti Musda Mulia, Dr. Abdul Hakim Gaduda Nusantara, Dr. Daniel Dhakidae, Dr. Djohan Efendi, Faisal Basrli, MA, Syamsuddin Haris, Dr. Judo Poerewowudagdi (Rektotr UKI Pertama) bahkan peserta pun bukan main saya kagumi, para rektor dan intelektual muda menghadiri kegiatan yang disponsori Frederich Ebert Stiftung.
Waktu berlalu baru disadari, ternyata peserta di antara para intelektual adalah Profesor Arief Budiman dan Dr. Gerge Aditjondro yang saya kenal seorang sosiolog dengan tulisan-tulisannya “Kabar Dari Kampung” yang sejak tahun 1970-an menggema di Irian Jaya sampai kini.
Pembauran Arief Budiman di antara peserta, tidak menunjukkan sosok seorang intelektual hebat negeri ini. Bahkan duduk tidak jauh dari tempat di mana saya duduk, ia begitu dengan seksama mengikuti pemaparan para nara sumber sambil sesekali menulis intisari dari materi yang dipaparkan.
Waktu Cofee Break, ia sempat mendekati saya yang satu-satunya datang dari Papua, menanyakan kondisi sosio-politik terkini terutama kasus “Mapunduma” di mana presiden terpilih 2024 Prabowo menjadi tokoh sentralnya.
Saya sendiri sama sekali tidak tahu bahwa yang sedang bertanya itu adalah seorang Prof. Arief Budiman. Setelah ketiadaannya, melalui buku-buku yang ditulisnya bahkan para intelektual Indonesia menulis tentangnya barulah saya sadari bahwa pernah bercakap-cakap denganya pada sebuah kegiatan bertaraf internasional.
Prof. Ahmad Syafii Maarif mengomentari sosok Arief Budiman, “Siapa yang tidak kenal Arief Budiman, seorang pejuang demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang tak pernah surut sampai wafat. Arief punya idealisme kemanusiaan yang dibawanya sampai ke liang lahat.”
Bahkan Dr. Fachry Ali seorang penulis dan peneliti politik-ekonomi dan alumnus Monash University Australia mengutip salah seorang sahabatnya di Asustralia dengan mengatakan:
“The 1997 appointment of Professor Arief Budiman as the inaugural Professor of Indoneisa Studies within the Melbourne Institute of Asian Languages and Societies has consolidated the proliferation of research, teaching and other Indonesia-related activities in Melbourne.”
Gunawn Mohamad, seorang sahabat Arief Budiman ketika masih SMA bahkan menjadi mahasiswa UI mengomentari sosok Arief Budiman dengan mengatakan, “Arief Budiman ketika di masa kuliah, ia telah menguasai filsafat eksistensialis. Ia adalah intelektual Indonesia yang ide dan gagasannya mampu menerapkan pengelompokkan ideologi barat di tengah-tengah kaum terpelajar.
Sahabat Dr. Fachri Ali, Gerry van Klinken dengan nuraninya menulis tentang Arief Budiman:
“Academics around the world commonly held left-wing perspectives in the 1980. But in Indonesia they were forbidden from expressing such views outside the campus. Arief one of the few who did anyway. It helped that the Indonesian public has never been anti-intellectual. And that socialist ideas has been fundamental to public life from the 1945 Revolution until the mid 1960s- then still in living memory for many. People were intrigued that Arief spoke to the New Order as if he was adefactor. He had been an anti-Soekarno demonstrator in 1966, riding around on military trucks. Now he openly regretted hid naivety then.”
Arief Budiman seorang tokoh pemikir sosialis yang bukan “Sosialis Soekarno.” Arief Budiman merupakan tokoh intelektual yang lebih menekankan kebebasan dan demokrasi dan menolak segala bentuk otoritarianisme.
Bagi Dr. Ignas Kleden, Arief Budiman lebih seorang “Ideal Type” yang ia definisikan sebagai seorang model sempurna dalam melihat sebuah fenomena sosial-budaya, politik, ekonomi di tengah masyarakat. Type ideal adalah seseorang yang berpegang teguh pada idealisme tanpa beruaha melihat realitas yang mengelilingi bahkan berada di belakangnya.
Menurut Ignas Kleden, Arief Budiman cenderung pada sosialisme seperti tercermin dalam disertasinya tentang kehancuran sosialisme Allende di chili akibat tekanan brutal kapitalisme di bawah kepemimpinan Amerika Serikat. Arief Budiman baginya, “Tidak mampu melihat paradoks sosialisme, ketika kaum pekerja jauh lebih makmur di negara-negara kapitalis baru pada negara-negara sosialis.”
Membaca buku-buku Prof. Arief Budiman, terinspirasi seorang tokoh intelektual Indonesia yang gigih memperjuangkan konsep-konsep demokrasi dan HAM pada tataran persoalan anak bangsa sejak Soekarno sampai pemerintahan reformasi menunjukkan betapa keberpihakkannya pada masyarakat termajinal.
Ketiadaannya tidak memupus harapan para intelektual muda Indonesia dalam upaya membumikan pemikiran-pemikirannya pada realitas sosial masyarakat untuk bangkit mandiri.
Prof Arief Budiman meninggalkan legacy bagi bangsa Indonesia dalam dan melalui buah-buah pemikiran yang bukan hanya di kenal di kalangan dunia akademik.
Universitas Satya Wacana Salatiga sebuah lembaga tinggi tempat mengabdi bersama dengan Dr. George Aditjodro, kedua tokoh intelektual ini telah mengangkat citra dunia intelektualitas pada tatataran kecintaan mereka pada kemanusiaan manusia Indonesia.
Salatiga menjadi memory di kala orang asing yang membaca karya karya fenomenal mereka, dan ketika nama Arief Budiman atau George Aditjodro disebut, terlintas kota kecil berpenampilan pluralitas dalam pembauran hidup yang harmoni.
Demikian Gerry van Klinken menulis, “Even years later, if I told a Jakarta taxi driver I used to teach at Satya Wacana, their face would light up: Arief Budiman, very good!”
Bahkan Dr. Fachri Ali sang ekonomi-politik menegaskan, “Prof. Arief Budiman berusaha dan (berhasil) menjadi seorang cendikiawan bebas justeru di dalam sistem politik otoritarian Orde Baru (1967-1998).