Oleh: Dr. Helmi Hidayat1
–
Indonesia disorot dunia secara sangat positif ketika Paus Fransiskus berkunjung ke negeri ini, 3 – 6 September 2024. Apalagi ketika pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia sekaligus Kepala negara Vatikan itu menghadiri acara pertemuan antarumat beragama di Masjid Istiqlal, media internasional memberitakannya dengan antusias.
Namun sayang, acara yang dihadiri Paus itu hanya dilakukan di bawah tenda di halaman masjid, bukan di dalam masjid. Kebijakan itu, kata Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla, dilakukan merujuk pada rasa saling menghormati keyakinan agama masing-masing.
Saling menghormati keyakinan agama tentu sangat penting. Namun, jika dicermati bahwa dampak dari berkumpulnya umat agama-agama di dalam masjid justru positif buat Indonesia khususnya, dan buat citra Islam umumnya, sangat disayangkan pihak penyelenggara tidak menggelar acara itu di dalam masjid. Bayangkan betapa indah melihat Pemimpin Takhta Suci Vatikan duduk dan berbicara tentang persoalan dunia di dalam masjid, lalu Imam Besar Istiqlal mencium kening Sri Paus dengan pesan perdamaiannya.
Saya khawatir, kebijakan itu diambil hanya untuk menghindari kegaduhan yang tidak perlu akibat sebagian masyarakat Muslim di Indonesia belum siap mental, lalu marah, melihat non-Muslim masuk ke dalam masjid. Apalagi jika mereka melihat non-Muslim itu ikut beribadah di dalam masjid. Ini pernah terjadi ketika mereka marah melihat video yang merekam satu orang non-Muslim berada di tengah jamaah salat di Masjid Rahmatan Lil-Alamin di Pondok Pesantren Al-Zaitun pimpinan Syekh Panji Gumilang beberapa waktu lalu.
Padahal, jika saja pertemuan antarumat beragama yang dihadiri Paus Fransiskus itu digelar di dalam Masjid Istiqlal, bukan di tenda, Indonesia sebagai negeri yang dihuni mayoritas umat Islam akan dilihat dunia secara lebih positif. Dunia melihat negeri para wali ini tengah mempertontonkan akhlak Rasulullah SAW yang sebenarnya. Pada tahun kesembilan Hijriah (631 M), Rasulullah SAW pernah mengizinkan 74 umat Kristen asal Najran pimpinan pendeta Abu Harithah bin `Alqamah melakukan kebaktian di Masjid Nabawi. Inilah akhlak Rasulullah SAW yang sesungguhnya!
Sangat mungkin, memang, kehadiran Paus di dalam masjid akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Tapi, situasi itu seharusnya justru bisa dijadikan kesempatan emas oleh ulama di Indonesia untuk menyampaikan fakta sejarah Islam yang sesungguhnya. Jika 74 penganut Kristen saja diizinkan oleh Nabi yang agung untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi, maka umat Islam di Indonesia seharusnya tidak mudah terprovokasi ketika diperlihatkan seorang non-Muslim berdiri bersama jamaah lain di Masjid ‘’Rahmatan lil-Alamin’’ di pondok pesantren Al-Zaitun, beberapa waktu lalu. Akhlak mulia Nabi SAW kadang tertutup oleh kemarahan sebagian umatnya yang belum membaca utuh sejarah nabi mereka.
Seandainya, sekali lagi seandainya, pertemuan antarumat beragama yang dihadiri Paus Fransiskus itu dilakukan di dalam Masjid Istiqlal, dunia akan melihat sebuah ajang pertemuan mulia antara penganut ‘millat-millat’ berbeda dalam ‘diin’ yang sama. Liputan media internasional akan mengabadikan Indonesia sebagai laboratorium raksasa sejati yang menyemai moderasi beragama, di mana mayoitas penduduknya yang beragama Islam menjunjung tinggi toleransi, menghormati perbedaan, dan lebih penting lagi mengayomi saudara-saudara mereka yang minoritas.
Khusus umat Islam, pertemuan umat berbeda agama di dalam masjid terbesar di Asia Tenggara (seandainya dulu terjadi) seharusnya disambut gembira. Kita umat Islam harus yakin bahwa mereka yang hadir itu tampaknya orang-orang dengan ‘’baju agama’’ yang berbeda-beda, tapi sejatinya mereka menyembah Tuhan yang sama.
Jika surat Al-Ikhlas dalam Al-Quran menegaskan Allah adalah Tuhan yang Maha Esa (Ahad), demikian pula Al-Kitab yang diyakini kaum Nashrani menegaskan ajaran tauhid yang sama. Bacalah Bible (Al-kitab), Ulangan 6:4, di situ disebutkan: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa!” Markus 12:29 juga menyebutkan: “Jawab Yesus: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.’’’
Jika Al-Quran mengajarkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Esa, lalu Al-Kitab juga mengajarkan keesaan Allah yang sama, apa yang membuat umat Islam tidak siap mental melihat saudara-saudara mereka dalam baju agama yang berbeda masuk ke dalam masjid?
Dalam konteks inilah mengapa Al-Quran mewajibkan umat Islam tidak hanya mengimani Al-Quran tapi juga mengimani Zabur, Taurat dan Injil. Perintah ini jelas ditegaskan dalam QS Al-Baqarah (2): Ayat 4:
وَا لَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِا لْاٰ خِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ
” … dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.”
Al-Quran adalah kitab suci yang paling siap menghadapi kenyataan berkumpulnya umat berbeda agama di dalam masjid atau di tempat ibadah agama lain. Umat nabi akhir zaman ini harus percaya Allah disembah di semua rumah ibadah seperti ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Kitab suci Al-Quran, surat Al-Hajj ayat 40: ‘’ … Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah ….’’
Duh, indahnya ajaran Al-Quran, indahnya kerukunan ….
Dr. Helmi Hidayat1 adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta