Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah)
–
Keberadaan pagar laut yang membentang sejauh 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang dan Bekasi masih menjadi misteri, teka-teki pembuat pagar tersebut hingga kini masih dipertanyakan [1]
***
Mentari merekah di batas cakrawala,
Laut yang biru kini penuh tanya.
Pagar bambu tertancap tanpa suara,
Membelah rezeki, memisah asa.
Di pesisir Tangerang, di Bekasi nan jauh,
Cerita tentang laut berubah jadi keluh.
Nelayan kecil memandang nanar,
Di mana janji ombak yang dulu besar?
-000-
Bambu-bambu berdiri bagai tombak,
Menusuk nyawa laut hingga remuk.
Air asin yang dulu bercengkerama,
Kini terpenjara di dalam derita.
Nelayan tua mengangkat wajahnya,
“Laut ini adalah ibu kami,
Namun siapa yang tega membelenggunya?
Rezeki kami dipotong tanpa suara.”
Seorang pemuda menyahut geram,
“Ini bukan hanya tentang ikan,
Ini hidup, ini jiwa,
Siapa yang bisa memulihkan luka?”
-000-
Laut adalah nyawa, bukan hanya tempat bermain.
Dari jaring yang terhampar, lahirlah harapan,
Namun kini semua itu dipaksa diam,
Oleh pagar kayu yang berdiri melawan alam.
Di meja-meja pemerintah, mereka bicara,
“Pagar ini sedang kami selidiki,
Kami akan mencari solusi.”
Namun suara di dermaga berkata lain,
“Kami lapar sekarang, bukan esok hari!”
-000-
Angin membawa bisikan kesedihan,
Nelayan tak lagi pulang dengan senyuman.
Dapur-dapur sunyi, anak-anak bertanya,
Laut yang dulu sahabat, kini terasa berkhianat.
Seorang perempuan tua bergumam lirih,
“Kami para istri menunggu di tepian,
Namun kini apa yang harus kami harapkan?
Laut telah terbelah, tangkapan tak lagi ada.”
-000-
Adakah ini sekadar proyek raksasa,
Atau ambisi yang menyembunyikan dosa?
Kerugian tak hanya tentang angka,
Ini tentang hidup yang kian merana.
Aktivis berteriak di tengah keramaian,
“Reklamasi mungkin menjadi jawaban,
Namun, apakah nelayan kecil pernah diajak bicara?
Ataukah mereka hanya dianggap penghalang rencana?”
-000-
Di bawah purnama, samudra menangis,
Ia memanggil, ia berbisik.
Pagar-pagar ini bukan miliknya,
Laut adalah milik semua yang hidup di sisinya.
Nelayan muda berkata tegas,
“Kita harus melawan, bukan menyerah.
Laut ini rumah kita, bukan penjara mereka.”
Yang lain mengangguk, setuju dengan suara lantang,
“Kita runtuhkan pagar,
Kita rebut kembali apa yang milik kita!”
Mentari terbit, harapan menyala,
Pagar laut mungkin berdiri,
Namun hati nelayan tak pernah mati.
_______
Rumah Kayu Cepu, 17 Januari 2025.
Catatan:
[1] Puisi Esai ini terinspirasi dari misteri pagar bambu di pesisir Tangerang dan Bekasi telah merugikan nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada laut.
https://www-liputan6-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.liputan6.com/amp/5882678/misteri-pagar-laut-di-tangerang-dan-bekasi-siapa-dalangnya?amp_gsa=1&_js_v=a9&usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM%3D#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=17371209223494&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fnews%2Fread%2F5882678%2Fmisteri-pagar-laut-di-tangerang-dan-bekasi-siapa-dalangnya