Penulis : Ririe Aiko
–
Istilah “toxic” kini telah menjadi bagian dari kosakata yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, terutama dikalangan generasi muda. Secara umum, “toxic” merujuk pada sesuatu yang beracun, baik dalam konteks hubungan, suasana, maupun pola pikir. Dalam psikologi, istilah ini mengacu pada perilaku atau situasi yang dapat mengganggu kesehatan mental. Contohnya meliputi ucapan yang merendahkan, sikap manipulatif, atau kebiasaan overthinking yang secara tidak sadar kita ciptakan sendiri. Lingkungan dan pola pikir yang toxic semacam ini dapat membuat seseorang terjebak dalam siklus stres, rasa rendah diri, dan ketidakstabilan emosional.
Berbagai tekanan akademik, ekspektasi keluarga, serta kehidupan sosial yang kompleks, seringkali muncul dan menjebak seseorang dalam pola pikir negatif yang beresiko pada ledakan emosional yang tidak terkendali. Sebagai contoh, bayangkan Anda sedang menunggu balasan pesan dari seorang teman, tetapi balasan tersebut tidak kunjung datang. Pikiran negatif mulai bermunculan: “Apakah dia marah?”, “Apakah saya melakukan kesalahan?”, atau bahkan, “Apakah dia sudah tidak peduli lagi dengan saya?”. Pola pikir seperti ini dapat menjadi awal dari spiral negatif yang mengarah pada overthinking, hilangnya rasa percaya diri, dan ketidakstabilan emosional.
Dalam psikologi, pikiran negatif seringkali muncul sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Otak mencoba memahami situasi yang tidak pasti. Namun, jika dibiarkan, pikiran negatif ini dapat mengurangi kualitas hidup seseorang dan berdampak buruk pada kesehatan mental.
Berpikir positif bukan berarti seseorang harus selalu merasa bahagia atau mengabaikan masalah yang ada. Ini bukan tentang toxic positivity yang mendorong seseorang untuk menutupi emosi negatif. Sebaliknya, berpikir positif adalah cara untuk melihat situasi dari sudut pandang yang lebih realistis dan optimis.
Menurut Dr. Barbara Fredrickson, seorang ahli psikologi, pikiran positif memiliki efek “broaden and build”. Pikiran positif dapat memperluas cara seseorang memandang dunia dan membantu membangun sumber daya emosional, sosial, dan intelektual. Oleh karena itu, berpikir positif merupakan keterampilan penting untuk menghadapi tantangan hidup.
Bagaimana Berpikir Positif Mengurangi Sikap Toxic?
1. Mengurangi Prasangka Buruk
Dengan membiasakan berpikir positif, seseorang menjadi lebih bijaksana dalam menilai situasi. Misalnya, ketika seorang teman tidak segera membalas pesan, alih-alih berpikir negatif, Anda dapat berpikir bahwa mungkin ia sedang sibuk atau ada hal lain yang menghalanginya.
2. Mengontrol Emosi
Berpikir positif dapat membantu seseorang tetap tenang dalam menghadapi situasi sulit. Misalnya, ketika menerima kritik di kelas atau organisasi, berpikir negatif mungkin membuat seseorang merasa tersinggung. Namun, dengan berpikir positif, kritik tersebut dapat dilihat sebagai masukan yang berharga untuk pengembangan diri.
3. Meningkatkan Ketahanan Diri
Kehidupan tidak selalu berjalan mulus, terutama bagi mahasiswa yang harus menghadapi berbagai tuntutan. Pikiran positif membantu seseorang menjadi lebih tangguh dalam menghadapi masalah dan fokus pada solusi daripada keluhan.
Strategi untuk Melatih Pikiran Positif
Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan untuk melatih berpikir positif:
1. Mencatat Hal yang Patut Disyukuri
Setiap pagi atau sebelum tidur, tuliskan tiga hal yang Anda syukuri hari itu. Hal-hal kecil seperti “Hari ini masih diberikan kesehatan” atau “Menikmati makanan favorit” dapat membuat Anda lebih fokus pada hal-hal baik dalam hidup.
2. Mengubah Narasi Negatif
Ketika pikiran negatif muncul, coba tantang diri Anda untuk mengubahnya menjadi sesuatu yang positif. Sebagai contoh, ubah pikiran seperti “Saya tidak cukup pintar untuk lulus ujian ini” menjadi “Saya akan belajar lebih giat agar bisa mencapai hasil yang lebih baik.”
3. Membangun Lingkungan yang Mendukung
Lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap cara seseorang berpikir. Oleh karena itu, kelilingi diri Anda dengan orang-orang yang suportif dan memiliki energi positif. Jika perlu, hindari media sosial atau sumber lain yang memicu rasa tidak percaya diri.
4. Melatih Mindfulness
Latihan mindfulness, seperti meditasi, dapat membantu Anda tetap fokus pada saat ini dan mengurangi kecenderungan overthinking. Luangkan waktu 5-10 menit setiap hari untuk mempraktikkan teknik ini.
Perbedaan Berpikir Positif dan Toxic Positivity
Penting untuk membedakan antara berpikir positif dan toxic positivity. Berpikir positif tidak berarti seseorang harus selalu bahagia atau menghindari emosi negatif. Merasa sedih, marah, atau frustrasi adalah hal yang normal. Yang penting adalah bagaimana seseorang mengelola emosi tersebut agar tidak menguasai diri.
Dalam psikologi, emosi negatif memiliki fungsi tertentu. Mereka dapat menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki atau diatasi. Oleh karena itu, seni berpikir positif adalah tentang menemukan keseimbangan antara menerima emosi negatif dan tidak membiarkan diri terjebak di dalamnya.
Berpikir positif adalah keterampilan yang dapat dilatih dan memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental dan kualitas hidup. Ini bukan tentang menghindari kesedihan, melainkan tentang memiliki kendali atas pikiran sehingga seseorang dapat menghindari siklus negatif yang tidak produktif. Dengan menerapkan strategi-strategi yang telah dijelaskan, setiap individu dapat mulai membangun kebiasaan berpikir positif yang membantu mereka menjalani hidup dengan lebih baik dan lebih produktif.