Era Nurza
–
Di pagi yang sabar, saat laut menarik napasnya yang terakhir sebelum surut,
anak-anak Biak berdiri di tepi harap menggenggam air,
seolah menggenggam kisah moyang yang berlayar dalam tubuh mereka.
Ini bukan hanya tentang ikan,
tapi tentang cara laut menyapa manusia
dengan cinta yang tak pernah membanjirkan serakah.
Snap Mor, mereka menyebutnya:
bukan sekadar menjerat ikan,
tetapi menenun ulang tali persaudaraan
dari jaring yang dikalungkan di pesisir,
hingga tangan-tangan yang tak membeda antara muda atau renta,
perempuan atau laki-laki,
semua adalah anak laut,
semua dipanggil pulang oleh suara arus yang memanggil nama mereka satu-satu.
Ada kalawai, seolah cambuk lembut dari masa silam,
menyapu ikan ke dalam pelukan bersama.
Di sini, tombak bukan alat perang,
tetapi jemari yang belajar dari nenek moyang
bagaimana menangkap tanpa merusak,
bagaimana memberi tanpa mencuri.
Beginilah Biak menulis puisi di atas permukaan air,
dengan bahasa tubuh dan adat,
dengan norma yang lebih tinggi dari hukum yang dicetak,
“jangan berebut, jangan rakus, karena laut ini bukan milikmu sendiri.”
Antusiasme pun menari,
tapi langkah dijaga, agar tak menginjak marwah laut yang mendidik.
Snap Mor bukan hanya tangkapan,
tetapi pertunjukan kolektif yang mengajari dunia
bahwa keseimbangan bukan konsep,
melainkan cara hidup.
Ikan-ikan tak dihabisi,
mereka hanya dipetik,
seperti memetik doa dari langit
yang diletakkan lembut di meja makan.
Hasil dibagi,
bukan berdasarkan siapa paling kuat,
tapi siapa yang hadir,
siapa yang turut serta dalam peluh dan riang.
Bahkan langit pun ikut tersenyum,
karena tahu manusia masih mampu hidup
dengan keadilan yang tak ditulis,
namun diwariskan dari mulut ke mulut.
Laut bukan ladang emas,
melainkan ibu yang menyusui anak-anaknya,
dan Snap Mor adalah cara Biak menyusu dengan penuh syukur.
Tak ada pukat harimau yang mencakar dalam,
tak ada bom yang memecah nyawa karang
hanya riak air yang mendoakan
agar esok, laut tetap ramah.
Di dunia yang serakah,
Biak mengajarkan makna gotong-royong
dalam bahasa ikan dan ombak.
Bahwa hidup bukan tentang mengambil,
tetapi tentang menyisakan,
agar yang datang setelah kita
masih bisa mencicipi asin yang suci dari laut yang dicintai.
Maka biarkan Snap Mor tetap hidup,
seperti nadi yang berdetak di tubuh pulau.
Karena di sana,
laut bukan sekadar tempat mencari hidup,
tetapi tempat menyadari bahwa hidup
adalah ketika kita hidup bersama.
Padang, Juli 2025
