Tak perlu penelitian-penelitian ilmiah dengan berbagai metodologi yang rumit untuk membuktikan bahwa Orang Asli Papua (OAP) mengalami marginalisasi atau terpinggirkan dalam banyak bidang kehidupan di tanah kelahirannya sendiri. Bertahun-tahun rekan-rekan aktivis LSM melakukan pengamatan terhadap datangnya orang-orang luar Papua melalui kapal-kapal Pelni. Saat ini jumlahnya mungkin sudah jutaan. Mereka lalu menguasai hampir semua sektor kehidupan di Papua, bahkan termasuk politik dan pemerintahan, sementara orang orang  asli Papua termarginalisasi, kalah dalam berbagai kompetisi tersebut. Dalam suatu wawancara TV nasional, beberapa waktu sebelum ditangkap, Gubernur Lukas Enembe pernah bicara; “Apakah orang-orang luar Papua bisa jadi pejabat di Papua? Bisa! Tetapi apakah orang Papua bisa jadi pejabat di Jawa, Sumatra, atau Sulawesi? Tidak Bisa!”

Upaya menghentikan marginalisasi OAP memiliki dasar yangg kuat yakni UU No 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 2 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Kesadaran tentang seriusnya persoalan marginalisasi masyarakat Papua ini turut mendorong lahirnya UU Otsus Papua sejak tahun 2001.

Muncul pertanyaan, mengapa sudah begitu lama sejak tahun 2001, upaya menghentikan marginalisasi OAP belum memberikan hasil yang maksimal? Pasal 1 ayat 2 UU No 2 Tahun 2021 menegaskan, “Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Propinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua”. Artinya Undang-undang Otsus ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi Papua untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua termasuk marginalisasi orang-orang asli papua. Pemerintah melalui Undang-undang Otsus tersebut, bahkan membentuk MRP yang memiliki kewenangan terkait perlindungan terhadap hak-hak OAP.

Jika Pemerintah Propinsi terkesan lemah dalam konsep dan eksekusi kebijakan yang pro rakyat khususnya OAP, maka persoalannya bukan ada pada kemampuan tetapi pada mentalitas pejabat. Yan Chris Warinussy Direktur Eksekutif LPBH3 Manokwari, dalam suatu komentar saat kunjungan Presiden Jokowidodo dan Wapres Maruf Amin ke Papua belum lama ini, mengidentifikasi oknum-oknum pejabat tertentu sebagai “kelompok penggembira yang berafiliasi dengan kekuasaan dan jabatan yang ingin diraih, dengan mengutamakan hal-hal seremonial dan mengabaikan substansi persoalan-persoalan yang menimpa manusia Papua saat ini”.

Tantangan lain yang muncul ketika berbicara tentang upaya menghentikan marginalisasi OAP adalah pilar kebangsaan yang disebut NKRI. Dalam prinsip NKRI warga negara tidak bisa dipaksa harus tinggal atau tidak boleh tinggal di suatu tempat. Inilah salah satu kendala atau tantangan lainnya yang membuat pemerintah baik pusat maupun propinsi kesulitan membatasi banjirnya orang-orang luar Papua ke tanah Papua.

Tantangan dan kendala yang lebih serius untuk membatasi masuknya gelombang manusia ke tanah Papua adalah adanya pasal 1 aya 16 UU No 2 Tahun 2021 tentang Hak Azasi Manusia sebagai anugerah Tuhan “yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Perlu ditegaskan disini bahwa perlindungan HAM tidak hanya untuk mereka yang datang ke Papua, tetapi juga OAP yang termarginalisasi selama ini.
Disinilah pentinya dialog yang menyeluruh antara semua pemangku kepentingan di Papua untuk menyelesaikan masalah masalah krusial seperti telah dilakukan oleh Analisis Papua Strategis (APS) dibawah pimpinan Laus C Rumayom yang memiliki jaringan luas dalam mana berbagai persoalan didiskusikan pada ranah rasinonalitas menuju strategi program program mengatasi persoalan marginalisasi di Tanah Papua.

 

Fery Bataona