Penulis: Fenan Ngoranmele
–
Insiden pembubaran paksa kegiatan doa rosario oleh mahasiswa Katolik Universitas Pamulang di Tangerang Selatan pada 5 Mei 2024 sangat memprihatinkan saya. Kejadian ini menyoroti masalah krusial dalam hubungan antaragama di Indonesia. Kekerasan fisik dan luka sosial yang ditimbulkannya memperlihatkan betapa rapuhnya toleransi dalam masyarakat multikultural kita. Saya merasa perlu untuk menganalisis insiden tersebut melalui kacamata hak asasi manusia, etika moral, dan utilitarianisme. Selain itu, saya ingin mengusulkan beberapa solusi berbasis toleransi yang saya yakini dapat membantu mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Menurut pandangan saya, hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan adalah hak fundamental setiap individu, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 18) dan Konstitusi Indonesia (Pasal 29). Kebebasan beragama merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan masyarakat yang adil dan harmonis. Pembubaran paksa kegiatan doa rosario ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Saya melihat ini sebagai bukti nyata kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap hak-hak dasar yang seharusnya dilindungi oleh semua pihak.
Dari sudut pandang etika, khususnya etika deontologis yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, saya berpendapat bahwa tindakan harus diukur berdasarkan prinsip-prinsip moral yang universal. Menyerang individu yang sedang beribadah jelas tidak dapat dibenarkan secara moral. Tindakan tersebut melanggar imperatif kategoris Kant, yang menuntut agar kita memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain. Kekerasan terhadap orang yang beribadah tidak hanya menunjukkan ketidakadilan mendasar tetapi juga mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap martabat manusia.
Dari sudut pandang utilitarianisme, yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, saya menilai kebenaran tindakan berdasarkan kemampuan tindakan tersebut untuk menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Kekerasan dan intoleransi tidak hanya merusak harmoni sosial tetapi juga menciptakan ketakutan dan trauma bagi korban serta komunitasnya. Menghargai dan melindungi hak beribadah akan menghasilkan kebahagiaan dan ketenangan yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, tindakan intoleransi hanya akan menciptakan ketegangan sosial yang merugikan semua pihak.
Saya percaya bahwa pendidikan multikulturalisme merupakan kunci untuk mempromosikan pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan. John Dewey, seorang filsuf pendidikan, menekankan pentingnya pendidikan untuk mengembangkan kapasitas individu dalam hidup bersama secara harmonis. Kurikulum yang inklusif yang mencakup pengajaran tentang berbagai tradisi keagamaan dan budaya dapat meningkatkan empati dan pemahaman antar komunitas. Pendidikan yang baik harus mampu membekali individu dengan pengetahuan dan keterampilan untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.
John Rawls, dalam teori keadilannya, memperkenalkan konsep “tirai ketidaktahuan” di mana individu membuat keputusan seolah-olah mereka tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat. Menurut saya, prinsip ini mengharuskan kebijakan yang diambil untuk adil dan menguntungkan semua pihak tanpa memandang latar belakang agama atau budaya. Pemerintah dan otoritas setempat harus memastikan bahwa hak-hak minoritas dilindungi dan diperlakukan dengan adil. Kebijakan yang adil harus mencerminkan komitmen terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi semua warga negara.
Saya melihat dialog antaragama sebagai cara efektif untuk mengatasi ketegangan dan memperkuat kohesi sosial. Martin Buber, dalam filsafat dialogisnya, menekankan pentingnya “I-Thou” (Aku-Kamu) dalam hubungan antarindividu yang mengedepankan pengakuan dan penghormatan. Dialog antaragama dapat difasilitasi oleh pihak netral seperti lembaga keagamaan atau organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan ruang diskusi yang aman dan saling menghormati. Dialog yang terbuka dan jujur dapat membantu menghilangkan prasangka dan meningkatkan pemahaman antar komunitas.
Menurut saya, pemerintah dan lembaga berwenang harus menegakkan kebijakan non-diskriminasi secara tegas. Ini mencakup perlindungan terhadap semua kelompok agama untuk beribadah dengan bebas dan aman. Kebijakan ini harus diimplementasikan dengan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang adil terhadap pelanggaran. Penegakan hukum yang konsisten dan adil adalah elemen kunci dalam membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa hak-hak semua individu dihormati dan dilindungi.
Insiden pembubaran paksa doa rosario di Tangerang Selatan menunjukkan ketidakharmonisan dan kurangnya toleransi antar komunitas. Dalam pandangan saya, melalui pendekatan filosofis yang mengedepankan hak asasi manusia, etika moral, dan utilitarianisme, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Pendidikan multikultural, penerapan prinsip keadilan, dialog antaragama, dan kebijakan non-diskriminasi adalah langkah-langkah strategis untuk mencegah terulangnya kejadian serupa dan menjaga hak kebebasan beragama dengan baik. Tindakan proaktif dari semua pihak diperlukan untuk memastikan bahwa kebebasan beragama dihormati dan dilindungi, menciptakan lingkungan di mana semua individu dapat menjalankan keyakinan mereka dengan damai dan aman.
Saya ingin menekankan bahwa sikap intoleransi yang ditunjukkan oleh oknum atau masyarakat tertentu dalam insiden ini tidak hanya mengkhianati prinsip-prinsip dasar kemanusiaan tetapi juga mencerminkan kebodohan dan sempitnya pandangan mereka. Tindakan intoleran seperti ini merupakan cerminan dari kurangnya pendidikan dan pemahaman akan pentingnya keberagaman. Mereka yang melakukan atau mendukung tindakan ini harus memahami bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat, dan menyerang orang lain yang sedang beribadah adalah pelanggaran berat terhadap hak tersebut.
Masyarakat yang bersikap intoleran perlu ditegur dengan tegas dan diberikan pemahaman bahwa tindakan mereka tidak hanya merugikan korban langsung tetapi juga merusak tatanan sosial dan harmoni yang kita semua hargai. Mereka harus menyadari bahwa dengan menghormati hak orang lain, mereka sebenarnya juga melindungi hak mereka sendiri. Pendidikan dan penegakan hukum yang konsisten adalah kunci untuk meredakan dan menghilangkan sikap-sikap intoleran ini dari masyarakat kita.