Dihubungi melalui telpon seluler, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Chris Werinussy, SH mengomentari fenomena kehadiran Presiden dan Wakil Presiden RI ke Papua dalam waktu yang hampir bersamaan. Presiden Joko Widodo melalui Australia dan Papua New Guinea singgah di Jayapura sedangkan Wakil Prisiden RI ke Timika, Nabire, Manokwari meresmikan sejumlah infrastruktur pembangunan di Papua, bahkan meletakkan batu pertama pembangunan Kantor Gubernur Provinsi Papua Tengah di Nabire.

Menurut Yan Chris Werinussy, SH, “Kehadiran Presiden dan Wakil Presiden RI beberapa kali ke Papua, lebih pada bagaimana melihat pembangunan infrastruktur fisik dibanding bagaimana mempromosikan perdamaian. Hadirnya Prisiden dan Wapres RI, membuat kelompok penggembira berafiliasi kekuasaan jabatan yang ingin diraih dengan berbagai acara seremonial ditampilkan sedemikian rupa sehingga lupa pada substansi berbagai persoalan yang sedang dilanda manusia Papua baik itu Orang Asli Papua (OAP), Masyarakat Sipil Non Papua bahkan TNI dan Polri yang nyawanya menjadi korban akibat ketidak-jelian pendekatan pemerintah dalam keseluruhan pembangunan di Tanah Papua”.

Filosofi Yin-Yang

“Papua tidak sedang baik baik saja. Presiden dan Wakil Presiden dengan kehadiran di Papua, sudah tentu dibutuhkan oleh seluruh komponen rakyat yang hidup dan tinggal di Papua. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode ke dua durasi waktunya tinggal hitung bulan. Acara acara yang lebih bersifat seremonial tidak dibutuhkan penduduk di Papua”. Pertanyaannya, lalu apa essensi kehadiran Presiden dan Wakil Presiden di Papua? Menurut Yan Chris Werinussy, “Papua membutuhkan kehidupan yang aman dan damai bagi seluruh penduduk entah itu sipil, TNI dan Polri. Papua membutuhkan pembangunan infrastruktur, tetapi jika infrastruktur dibangun di atas dialektika konflik yang memakan korban jiwa, maka aspek kemanfaatannya hilang terhadap essensi kemanusiaan manusia itu sendiri”.
Pendekatan dua periode Jokowi memimpin negeri ini, filosofi Yin-Yang digunakan dalam pendekatan pembangunan di Papua. Menurut Yan Chris Werinussy, “Filosofi Yin-Yang masing masing indah dan terhormat pada tempatnya, namun mencampurkan dua aliran yang menghadirkan kematian masyarakat sipil, TNI dan Polri.

Jika pendekatan “Yin” yang selama ini digunakan Jokowi dalam konteks seorang sipil, maka kondisi Papua lebih didekati dengan bottom up, tunduk pada regulasi, beragam, kekuatan pembangunan, jangka panjang dan menengah, pertimbangan mendalam dan membutuhkan waktu, berpikir strategis yang penuh perdebatan,” menurut Yan Chris Werinussy merupakan pendekatan kontra produktif dengan pendekatan TNI/ Polri.

KONSEP PENDEKATAN YIN DALAM FILOSOFI FILSAFAT TIMUR

Kondisi paradoxal Papua, menurut Yan Chis Werinussy, pada tataran “Yang” dalam tubuh TNI/ Polril lebih menekankan “Top Down, tunduk komando, seragam, kekuatan penghancur, tertutup/rahasia, jangka pendek, perintah jelas dan cepat, berpikir taktis dan kepastian target pencapaian”.

KONSEP PENDEKATAN YANG DALAM FILOSOFI FILSAFAT TIMUR

Dampak Harmoni Dua Pendekatan Pembangunan Yang Memakan Korban Jiwa Manusia

Yan Chis Werinussy lalu menuturkan, “Hitung saja berapa korban TNI/ Polri dan masyarakat sipil yang mati akibat kesalahan pendekatan yang pada hakekatnya merenggut nyawa manusia tidak berdosa. Bagaimana TNI/ Polri melakukan tindakan jika regulasi yang mengacu pada aturan formal negara dan aturan internasional disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Papua diformulasi sedemikian rupa sehingga pendekatan pembangunan tidak memakan korban jiwa. Lihat saja di media baik cetak dan elektronik, jika ada TNI/ Polri tewas, dipublikasi sedemikian rupa sehingga dikuburkan dengan baik tanpa negara merasa berdosa terhadap korban nyawa yang tidak bersalah akibat kebijakan negara yang salah dalam pendekatan humanis situasi konflik di Papua. Perasaan kehilangan nyawa isteri, anak, orangtua, family hanya sampai pada pemberian santunan dan dikuburkan sebagai kusuma bangsa, lain dari itu, tidak ada perasaan negara terhadap bagaimana penegakkan hukum, apakah yang menembak itu adalah separatis OPM atau sesama TNI/ Polri sendiri, bagaimana penelusuran proyektil peluru, apakah dari senjata OPM atau TNI/ Polri, negara belum bisa sampai pada rasa keadilan para pejuang kusuma bangsa di area konflik berkepanjangan di Papua”.

Hal yang sama , menurut Yan Chris Werinussy, “Jika terdapat korban masyarakat sipil, harus ditelusuri negara, siapa yang melakukan, siapa yang bertanggungjawab, bahkan wajib diproses sampai pengadilan sehingga rasa keadilan masyarakat dan rasa hormat pada kehadiran TNI/ Polri dalam menjaga keamanan dan kenyamanan hidup dialami dan dirasakan tanpa ada konfrontasi gagasan yang seakan-akan hanya TNI/ Polri yang salah atau pihak contra negara yang salah dengan pembuktian proses peradilan yang bebas dan adil untuk seluruh warga negara tanpa tendensi negatif”.

Kelompok Penggembira

TNI/ Polri sedang merajut bagaimana hidup rukun dan damai, namun menurut Yan Chris Werinussy, “Kaum kelompok penggembira, yang sering juga tidak tahu ujung pangkalnya berbicara tentang Papua, tinggal di Jakarta berbicara tentang Papua, menjadi pemerhati, menjadi komentator di media seakan-akan mereka menjadi pahlawan. Lebih parah lagi kaum kelompok penggembira yang dengan kehadiran Presiden dan Wapres, tampil bak pahlawan melakukan acara-acara seremonial bertajuk pluralitas masyarkat dari  Sabang-Merauke yang intinya, bagaimana mendapatkan kekuasaan dalam dan melalu jabatan yang menjadi target pada kondisi Papua yang tidak dalam keadaan baik baik saja”.
Yan Chis Werinussy mencontohkan, “Di Nabire, sedang terjadi pembakaran Kampus Universitas Wiyata Mandala, Pembakaran pasar Dogiyai dan sejumlah peristiwa yang sejatinya menuntut keterlibatan mereka yang selalu menjadi penggembira di kala acara-acara seremonial pejabat negara. Setelah Wapres ke Jakarta semua pejabat esselon II Kantor Gubernur Nabire dilantik. Di sana nampak para afonturir sedang menjanjakan kepiawian dalam menggapai jabatan karena faktor menjadi penggembira dalam keterpurukan rakyat yang sedang menderita fisik dan psikis bahkan kematian”.

Akhrinya Chris Werinussy menegaskan, “Negara secara internal mempunyai ikatan ganda dengan struktur sosio-ekonomi, sosio-politis, geopolitik tidak harus mengorbankan kondisi Papua yang oleh negara harus ditangani secara khusus, dengan perlakuan khusus tanpa kebijakan kontradiktif ala Yin-Yang sebuah konsep politik yang selalu saja menimbulkan jatuhnya korban jiwa manusia tak berdosa, dan bagi kelompok penggembira yang hanya memikirkan jabatan, pangkat dan kekuasaan sudah saatnya turun, memikirkan ketentraman dan kedamaian hidup melalui kebijakan negara yang wajib didukung”.

 

Paulus Laratmase