Oleh Paulus Laratmase
–
Di tengah gegap gempita pembangunan daerah, kemarahan publik kembali meletup membuncah saat Menteri Investasi RI, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa semua izin tambang nikel di Raja Ampat “legal” dan bahwa penentang proyek diminta agar menghentikan “penyebaran hoaks”. Statemen tersebut seperti menampar rasa keadilan rakyat Papua, terutama ketika di tengah wacana ini, rakyat asli Pulau Papua baik di Raja Ampat maupun dalam konteks yang lebih luas mencerminkan kekhawatiran bahwa daerah mereka sedang “dijual” demi agenda politik dan ambisi individu.
Dengan judul provokatif ini, tulisan ini hendak menggugat: “Bahlil, kau bukan orang Papua. Jadi hentikan jual-beli moral dan identitas Papua untuk meraih jabatan atau kekuasaan.” Harapan terbesar publik adalah agar pembangunan Papua benar-benar berpihak pada masyarakat lokal, tidak membombardir lingkungan, merampok sumber daya, dan mengabaikan suara adat. Kita butuh pemimpin yang sungguh memahami Papua bukan hanya sebatas peta di layar laptop atau data di ruangan rapat.
Identitas Papua: Bukan Komoditas Politik
Rakyat Papua hidup di atas sudut negeri yang kaya biodiversitas, budaya, dan kearifan lokal. Setiap kali izin tambang digelar di sana, bukan hanya “tenaga kerja”, “pendapatan”, atau “tourism multiplier” yang dibicarakan tapi juga habitat, situs budaya, dan jiwa kolektif masyarakat Papua.
Ketika pemerintah dan pengusaha berbicara soal keuntungan finansial dari tambang nikel, rakyat Papua bertanya: “Apa yang kami dapatkan? Bagaimana dengan air bersih kami? Bagaimana dengan anak-anak yang akan lahir di tengah lingkungan penuh limbah tambang?” Mereka tidak menolak pembangunan, tapi menuntut pembangunan berkeadilan, berlandaskan pemenuhan kebutuhan dasar, bukan sebagai celengan jangka panjang bagi segelintir pihak.
‘Stop Jual Papua’ Sebuah Panggilan Moral
Rakyat Papua bukan komoditas ekonomi yang bisa diperjualbelikan dari satu tangan ke tangan lainnya untuk mendapatkan keuntungan politis. Ketika pejabat pusat begitu mudah mengeluarkan izin tambang di wilayah konservasi Raja Ampat, ketika dana otonomi dikawal lemah, maka Papua seperti dijual sebagai pion keuntungan elit.
Permasalahan penyimpangan ini bukan hanya persoalan korupsi atau lemahnya tata kelola, tapi menyangkut kesenjangan nilai: apakah Papua adalah aset strategis untuk rakyatnya, atau hanya titik persinggahan proyek-proyek mega investasi? Jika ini soal jabatan, jika ini soal politik pencitraan, maka Papua telah dikhianati.
Dampak Nyata di Tanah Papua
Pertambangan di wilayah konservasi seperti Raja Ampat bukan hanya ancaman terhadap kelestarian lingkungan, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap tatanan hidup masyarakat adat. Pengrusakan terumbu karang dan hutan pesisir berdampak langsung pada hilangnya mata pencaharian nelayan lokal dan rusaknya sumber pangan laut. Limbah tailing yang tersebar ke laut menyebabkan penurunan kualitas air dan mengancam ekosistem yang selama ini menjadi sandaran kehidupan. Tidak hanya itu, budaya lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun, yang berpijak pada harmoni dengan alam, kini berada di ambang kepunahan. Alam yang sebelumnya dirawat dan disakralkan, kini ditelanjangi oleh alat berat atas nama investasi.
Lebih parahnya, keberadaan tambang sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal secara utuh dalam pengambilan keputusan. Padahal, pengalaman dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa ketika masyarakat asli tidak dilibatkan secara setara dalam perencanaan maupun pembagian manfaat, maka investasi tersebut justru menjelma menjadi kutukan. Bukan kesejahteraan yang datang, melainkan kemiskinan yang memburuk, konflik sosial yang meningkat, dan kehancuran ekologis yang tak terpulihkan. Alih-alih menjadi berkah pembangunan, tambang bisa menjadi awal dari kehancuran kolektif yang ditinggalkan untuk generasi mendatang.
Pangkal Masalah: Negara Sakit dalam Hal Tata Kelola
Negara yang sehat mampu menjamin hak hidup dan hak memerintah diri sendiri bagi masyarakat adat Papua, untuk mengatakan ya atau tidak terhadap tambang. Dalam praktiknya, kemajuan regulasi pun menjadi sementara dan rentan rusak saat investasi berskala besar menggoyahkan integritas pejabat. Ketika izin tambang lahir tanpa musyawarah adat, tanpa analisis AMDAL jujur, ketika pengawasan lingkungan tak efektif, maka negara sedang sakit.
Dalam ruang rapat, pejabat bisa berbicara tentang jargon pembangunan Papua, namun di tanah Raja Ampat, yang terjadi justru pendangkalan musyawarah adat, penggusuran pantai adat, dan perpindahan penduduk lokal. Ini menunjukkan bahwa negara sedang mengalami krisis moral, bukan semata teknokrasi.
Apa Solusinya? Stop Export Moral Papua
Angkatan masyarakat sipil, tokoh agama, lembaga adat, akademisi, Greenpeace, hingga LSM HAM harus berdiri bersama, menyuarakan bahwa: Untuk menjawab krisis ekologis dan konflik sosial yang ditimbulkan oleh investasi tambang di Papua terutama di kawasan konservasi seperti Raja Ampat langkah pertama yang perlu diambil adalah moratorium izin tambang di wilayah yang secara ekologis rentan dan secara kultural mendapat penolakan dari masyarakat adat. Pemerintah wajib memastikan penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) tidak formalitas administratif, melainkan dijalankan secara sungguh-sungguh sebagai wujud penghormatan terhadap hak-hak dasar masyarakat adat dalam menentukan masa depan ruang hidup mereka. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat lokal, pembangunan akan kehilangan legitimasi sosial dan berisiko menimbulkan konflik berkepanjangan.
Selain itu, Dana Transfer Papua (DTP) dan Dana Otonomi Khusus (Otsus) harus direformulasi arah kebijakannya agar lebih menyentuh kebutuhan riil masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemulihan sosial akibat dampak eksploitasi sumber daya alam. Transparansi mutlak diperlukan. Pemerintah pusat dan daerah harus membuka akses publik atas semua dokumen izin tambang, IMB, dan hasil audit lingkungan secara berkala dan dapat diakses oleh warga sipil, akademisi, dan media. Langkah ini akan memperkuat partisipasi publik dan mencegah penyalahgunaan kewenangan yang selama ini menjadi akar persoalan dalam banyak konflik sumber daya di Papua.
Yang tak kalah penting, penguatan advokasi hukum adat menjadi kunci agar masyarakat adat memiliki posisi tawar yang setara dalam menghadapi investor dan aparat negara. Kelembagaan hukum adat perlu diakui dan diberi ruang dalam sistem hukum nasional, agar nilai-nilai budaya, relasi ekologis, dan hak kolektif komunitas lokal tidak dikesampingkan. Melalui lima langkah strategis ini, kita sedang membangun naskah pembangunan Papua yang berpijak pada empat pilar penting: keberlanjutan ekologis, keadilan ekonomi, pelibatan sosial, dan penghormatan budaya. Bukan hanya demi masa kini, tetapi sebagai warisan bermartabat bagi generasi Papua yang akan datang.
Menata Pemerintahan Papua yang Resilient
Siapa pun yang diberi mandat sebagai menteri atau gubernur, apalagi untuk wilayah otonom seperti Papua, harus memikul tanggung jawab yang lebih dari sekadar administratif. Kepemimpinan di Papua menuntut kedalaman refleksi identitas—mengenal Papua bukan hanya lewat angka-angka ekonomi, tetapi dengan memahami nilai-nilai lokal, relasi manusia dengan tanah, laut, dan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Papua tidak bisa dibaca dengan kacamata pusat semata; Papua harus dimengerti dengan hati yang terbuka terhadap kearifan lokal yang telah lebih dulu hidup sebelum republik berdiri.
Setiap rencana pembangunan harus lahir dari ruang musyawarah adat dan inklusi masyarakat, bukan dari desain teknokratis yang dipaksakan. Prinsip dasar dari otonomi adalah penghormatan terhadap suara lokal. Rakyat Papua bukan objek pembangunan, mereka adalah subjek dengan hak menentukan arah masa depan ruang hidupnya. Oleh karena itu, segala kebijakan strategis, apalagi terkait tambang dan eksploitasi sumber daya alam, harus dikonsultasikan secara jujur dan setara. Musyawarah bukan formalitas, melainkan fondasi dari kepercayaan.
Dalam situasi di mana izin tambang mudah dikapitalisasi oleh kepentingan oportunis dan oligarki, pemerintah mesti menjunjung tinggi integritas. Korupsi izin dan kompromi terhadap regulasi lingkungan adalah pintu masuk kehancuran sosial-ekologis. Maka, penegakan hukum lingkungan dan HAM harus menjadi pagar kuat agar pembangunan tidak menjelma jadi penjajahan baru. Bila tambang tak bisa dielakkan, maka keadilan reparatif wajib dikedepankan: insentif, akses, dan manfaat harus berpihak pada masyarakat lokal, bukan hanya segelintir elite. Inilah wujud nyata dari pembangunan yang berkeadilan bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi merawat kemanusiaan.
Kesimpulan
Dipaksa sehat di negara yang sakit adalah dilema tragis bangsa kita. Jika turut “dipaksa sehat” lewat jargon jaga lingkungan, laiknya menyediakan sarapan gizi seimbang, tapi negara yang menjaga hak atas lingkungan hidup malah rakus merusak, maka keadilan adalah utopia. Rakyat asli Papua tidak tolak Pembangunan namun mereka menolak jadi korban.
Bahlil Lahadalia dan pejabat negara lainnya perlu belajar satu hal: Papua bukan bahan dagangan politik, bukan komoditas retorika. Ia adalah rumah dari manusia Papua yang berhak hidup, berhak berkembang, berhak berdaulat.
Jadi, hentikan jual-beli moral Papua demi ambisi jabatan. Kalau ingin bicara soal pembangunan: hadirkan keadilan, transparansi, dan respek penuh atas identitas dan hak hidup rakyat Papua. Mereka berhak bahwa negaranya membela, bukan menjual mereka.