Oleh: Alex Runggeary

Pagi itu masih terasa basah oleh hujan disertai angin semalam. Tapi jadwal kegiatan hari ini yang padat tak bisa menunggu. Kini kami duduk dalam bis, tentu setelah sarapan pagi yang rada aneh karena tak ada nasi goreng.

Bis itu merangkak keluar gerbang Istana bekas seorang Raja Jerman pada masanya yang oleh alih warisnya diibahkan kepada Pemerintah Jerman. Dan hari ini kami keluar dari Istana besar, yang memiliki banyak ruangan. Masing-masing lengkap dengan kamar mandi dan toilet. Halamannya begitu luas, seluas lapangan sepak bola. Rerumputannya sebagian besar dibiarkan tumbuh liar. Tempat bermain kelinci liar

Anggota rombongan kami datang dari berbagai negara berkembang di dunia. Dari Amerika Latin, Afrika dan Asia. Kami diundang atas biaya Pemerintah Jerman, cq. Deuthche Stiftung fur Internationale Entwicklung (DSE), untuk mengikuti salah satu kursusnya yang terkenal hampir di seluruh negara berkembang di dunia, ZOPP – Ziel Orientierte Projekt Plannung. ZOPP biasa digunakan GTZ, badan kerjasama Pembangunan Jerman pada proyek- proyeknya di seluruh dunia. Kursus ini berlangsung hampir dua bulan. Termasuk beberapa minggu tur keliling Jerman. [1991]

Jauh dikemudian hari ketika aku menyaksikan sendiri kegagalan Pembangunan Papua yang dilakukan Indonesia berdasarkan UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, aku jadi teringat tentang ZOPP. Mengapa mereka tidak mencoba metodologi ZOPP yang sudah terujii berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat sasaran. Dari pada meraba-raba dalam kegelapan ataupun mencoba- coba sesuatu yang tak jelas landasan pijaknya. Baik secara teori, apalagi praksisnya.

Di Indonesia, ZOPP dikenal baik oleh – Lembaga Administrasi Negara RI. Pernah dilatihkan kepada PNS di lingkungan Perencanaan Daerah untuk wilayah Timur Indonesia 1991 – 98. [Diklat Perencanaan Wilayah[ Kebetulan saya direkrut sebagai salah satu instrukturnya

Tetapi hal yang mengganggu saya selama ini, dan ternyata bukan hanya saya tetapi teman lainnya yang terbiasa berpikir kritis adalah, kecenderungan kita orang Indonesia berpikir terbalik. Kata teman saya Swary Utami Dewi, Duta Satupena, “Mengapa kita tidak memperkuat Lumbung Desa di tingkat masyarakat, dari pada Makan Siang Gratis”. Ini pemikiran yang sangat wajar – back to basics.

Sama halnya dengan Pembangunan Papua, isu Papua Merdeka selalu menjadi sorotan utama ketika berbicara tentang pembangunan Papua. Tentu saja itu bagian penting dari Pembangunan yaitu meluruskan kembali sejarah Papua bergabung dengan Indonesia pada PEPERA 1969. Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat yang penuh kecurangan itu. Tetapi bukankah akhirnya – back to basis- akan lebih punya landasan yang kokoh. Kata, Maslow, makan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Makan untuk makan, orang perlu bekerja. Bukan – BANSOS – yang hanya melemahkan Daya Juang untuk Hidup.Tentu saja untuk mereka yang paling berhak, sesuai Konstitusi adalah hal lain.

Hal lain yang selalu membuat kerusuhan berpikir adalah menumpuknya berbagai hal penting yang sekilas nampak sama-sama penting. Seperti contoh masalah Papua yang diidentifikasi oleh LIPI: (1) Meluruskan sejarah Papua, (2) HAM, (3) Marginalisasi dan (4) Kegagalan Pembangunan. Sampai hari ini pemerintah belum jelas memetakan programnya. Ini hanya sebagai contoh kekisruhan berpikir. Diantara empat masalah ini, kebanyakan dari kita atau kami, lebih banyak bingungnya.

Kecenderungannya adalah memilih yang bisa diproyekan segera. Nasihat Stephen R. Covey untuk menetapkan prioritas adalah – Put up First Things First. Buat saya, Pembangunan Ekonomi Rakyat harus menjadi tumpuan utama kegiatan pembangunan pada umumnya. Pembangunan terintegrasi. Hari ini, aspek pembangunan ekonomi ini yang memiliki program tak jelas dan oleh karenanya memiliki penyerapan anggaran Dana Otsus paling sedikit. Dampaknya nyata – Rakyat Papua Termiskin SeIndonesia. [Data BPS].

Saya menggunakan kasus Papua sebagai contoh karena itu yang paling saya kuasai. Saya yakin, seyakin- yakinnya pada skala nasional, hal serupa juga terjadi. Entah pada sektor apa. Disadari ataupun tidak.
Suatu hal yang akhir akhir ini mengganggu dalam pikiran saya adalah, ternyata orang lebih memilih mengejar popularitas pribadi dari pada – berpikir dan bertindak wajar dan terukur untuk kepentingan jangka panjang rakyat banyak

Let’s back to our the story, maka bis kamipun menyusuri Danau Tegel melewati tempat peristirahatan Kedutaan Perancis melewati hutan lebat keluar ke jalan raya menuju kota Berlin. Entah mengapa bis kami kemudian berhenti dan tidak bergerak sedikitpun. Ternyata semua kendaraan sepanjang jalan itu berhenti total. Setelah ada komunikasi antar sesama pengendara, ” Kita harus menunggu karena ada serombongan bebek liar dalam antrean panjang karena satu per satu menyusul lainnya datang dari Danau Tegel hendak menyeberang jalan ke hutan di sebelahnya”

Sejak peristiwa itu, aku selalu berpikir …..dan berpikir………”Andai saja peristiwa itu terjadi di Indonesia, apakah rombongan bebek itu bisa dengan tenang menyeberangi jalan dan sampai dengan aman di hutan sebelahnya.!!!!???? Sedangkan masalah HAM dan Rayat Miskin saja tidak digubris. Apalagi hanya serombongan bebek !!!!’
——
Bandar Lampung, 10 Maret 2024

Catatan: Rencana buku saya – Solusi Pembangunan Ekonomi Rakyat Papua – bisa saya terbitan awal tahun depan

 

Alex Runggeary