Oleh: Lusia S. Kanan
–
Sebanyak 37 mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura Jayapura, terdiri dari 28 mahasiswa calon imam dan 8 orang mahasiswa awam (bukan calon imam) melaksanakan program “Live-In” di Paroki Santa Maria, Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua.
Para mahasiswa yang adalah calon imam dari berbagai keuskupan di Papua sebagai calon imam projo dan calon biarawan dari tarekat Capusin ini, telah menempuh perkuliahan sampai semester VI yang dalam kurikulumnya masih menggeluti berbagai teori filsafat sebelum memasuki tahun-tahun di mana mereka mendalami ilmu teologi.
Didampingi tiga orang dosen pembimbing: Dr. Bernardus Renwarin,M.Si, David Dapi, Lic.Biblic, dan Martinus Silitubun, M.Hum.,Lic.Lur.Can, dengan menumpang KM. Sinabung tiba di Pelabuhan Biak pada hari Kamis 14 Juni 2024.
“Malam ini kami 6 frater melaksanakan kunjungan perdana di Komunitas Basis (Kombas) Siprianus, Paroki Santa Maria Biak,” ungkap frater Maxi Agur mengawali pertemuan yang dikhususkan bagi warga komunitas basis yang adalah Orang Asli Papua.
Frater Maxi menjelaskan maksud dan tujuan dilaksanakan program “Live-In” di Paroki Santa Maria Biak.
“Selama enam semester para calon imam baik ordo dan calon imam projo dari berbagai keuskupan di Papua belajar ilmu filsafat. Melalui ilmu filsafat para mahasiswa didorong memiliki daya nalar kritis dan logis untuk peka terhadap situasi sosial umat dengan berbagai problematikanya. Dan daya kritis ini digunakan sebagai fondasi memecahkan berbagai persoalan umat yang kelak dilayani dalam reksa pastoral di tengah-tengah umat yang dilayaninya,” tegas frater Maxi.
Fungsi Live-In menurut frater Maxi, “Para frater yang adalah mahasiswa mengalami dan merasakan langsung apa dan bagaimana keadaan umat katolik baik dalam kehidupan relasi sosial terlebih kehidupan menggereja dalam mana sejauh ada hambatan, tantangan yang dialami dan dirasakan langsung di tengah umat yang kelak setelah menjadi imam atau awam sekalipun, menjadi gambaran bagaimana melakukan strategi-strategi pastoral yang relevan sesuai dengan kebutuhan umat yang dilayani.”
“Live-In mau mengakrabkan para calon imam dengan umat, betah bersama dengan kehidupan mereka, tetapi juga aktif memberikan bimbingan sesetidak-tidaknya dapat berbagi pengetahuan yang telah diperoleh selama kuliah menjadi praksis di tengah umat secara nyata dan berangkat dari kondisi kontekstual kehidupan keluarga yang dikunjungi,” tegas frater Maxi dalam pertemuan perdana dengan kombas Siprianus.
Ia melanjutkan, “Umat masih menganggap para frater sebagai orang yang memiliki status sosial berbeda dengan umat. Hal ini nampak dalam berbagai sharing yang ditemui, di mana umat merasa canggung atau segan jika para frater tinggal dan menginap di rumah keluarga yang dikunjungi.”
Baginya, “Justeru dalam kondisi alamiah, para frater akan mengetahui keadaan objektif umat tanpa rekayasa. Secara akademik kondisi objektif itu akan dirumuskan dalam sebuah pemetaan masalah dan juga tentu solusi yang minimal menjawab persoalan faktual umat. Para frater tidak harus makan, minum dan tidur enak, justeru situasi apa adanyalah, akan menjadi kondisi objektif yang sangat bermanfaat bagi masa depan para frater yang kelak menjadi imam di tengah umat memiliki korelasi yang tepat.”
Pertemuan perdana delapan frater di Kombas Siprianus di rumah Bapak Paulus Laratmase dihadiri tiga keluarga katolik Orang Asli Papua: Keluarga Chris Arunggear, keluarga Supine Rumaropen dan Nona Pina Diyai.
Enam frater yang hadir pada pertemuan perdana di Kombas Siprianus: Fr. Maxi Agur, Fr. Laurensius Hambu, Fr. Mauritsuo Tuyanan, Fr. Ekadendi Nowerlindo Papua Yawan, Fr. Avelinus Edoway, Fr. Gabriel Hubi.