Oleh: Muhammad Solihin Oken
–
1
Sebuah kalam hadapkan diriku kepada cahaya matamu dalam gelap malam yang pekat itu lesat bagai pena bergerak menuliskan setiap kata yang dirindukannya
Ruang gelap tiba-tiba menjadi terang ketika kata-jata itu datang padaku
Sejarah modernisme- dimulai; kata (yang menyihir itu) mengalir ke negeri-negeri jauh hingga sampai juga ke negeri Melayu dalam lantunan hikmat syair Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi
2
Kenapa kau bergerak ke sudut waktu cahaya pertama jatuh?
Cahaya itu datang dan berharap kau kemudikan ke lingkaran bola dunia
Bola-bola mataku pun berpendaran cahaya dan kilauan peristiwa itu seakan menihilkan waktu
3
Dia berjalan sendiri waktu cahaya senja memerah
Dia yang merindukan kekasih dalam segala hasrat…
4
Tapi, siapa sendiri ditikam hari dan namanya kau tuang dalam gerimis
Mungkin, luka yang membawanya ke sana, ke pelabuhan ke laut yang entah
Hanya ada pijar cahaya dan kabut yang menggumpal ke atas itu retas di ujung suara
5
Hujan kemana kau bawa suara gerimis kemarin yang ku simpan dalam kamar padat kaca jendela tajam makna ke sisi taman pohon dan bunga-bunga
6
Aku pun gelisah menatap rambutmu yang hitam tergerai mengikuti langkah-langkah hujan
Sebuah rindu yang berakar dan nadanya meresap hujan di bulan juni
Ada hujan lain di sana dan lepaskan dirinya dari makna bunga ke pohon ke deru amuk malam ke kapak sungai hutan amazon; suaranya lepas seperti nafas jantung rusa berlari
7
Dunia seindah sajak; kata berayun bergerak bawa keheningan dan makna kaupetik dalam rimbun pohon isyarat dan tanda
Kata tak terbatas- dunia pun tiada batas
Bahasa seperti anak-anak yang bermain dan bercakap-cakap tanpa tahu siapa dirimu dan dirinya
Di luar kata hanya tinggal kabut kabut dan kabut hitam hitam dan hitam gelap gelap dan gelap
8
Riuh-gemuruh itu hanya suara angin padat cuaca di kalender tua
Tubuh kudekap malam larut dalam hening sampai ku tertidur di sofa dingin
Dan pagi ku terjaga berjalan ke jendela; ke arah taman: tak ada mawar tak ada anggrek tak ada anyelir- hanya rumput gajah bermekaran
9
Rindu itu datang dan menghapus segala kata kenangan
Dalam rindu kata cinta membawa benih harapan
Tak ada rindu tanpa cinta; tak ada cinta tanpa rindu; tak ada dunia tanpa rindu dan cinta
10
Pada langit membujur angkasa; matahari, bulan, bintang, planet-planet dan bima sakti
Matahari bergerak mengelilingi bumi; planet-planet bergerak dalam alurnya; aku bergerak atas kesadaran ku
Tapi manusia senantiasa terbawa langit perasaan, bagaimana ku mengatasinya?
11
Bergerak dalam senyap
Mencari dalam gelap
Udara dalam lembab
Berpikir dalam harap
Kabut dalam asap
Lipur dalam tegap
Tertawa dalam genap
Rendah dalam gagap
Tinggi dalam sayap
Cinta dalam dekap
Rindu dalam resap
Liar tanpa kalap!
12
Siapa dia berjaga di perbatasan
Sajak tak pernah sampai di puncak
Kesedihan adalah kekakuan para penari salsa
13
Suara perempuan itu seperti suara saxofone yang tertinggal dalam kamar setelah sibuk seharian mencuci dan memasak di dapur
14
Perempuan itu berjalan ke arah prosa- seakan ia memandang puisi adalah dunia laki-laki
Tak ada kecemasan dan kegetiran di luar kata-kata yang lesat, datang dan pergi ada dan tiada dan tak mengenal kata pulang
Ada yang menyesak di dada perempuan, seperti Amba; berharap kasih laki-laki dan hidup dalam ruang pilihan, tapi nasib tak pernah memilihnya terombang-ambing harapannya di antara dua laki-laki; fakta dan fatamorgana ini seperti menyimpan kabut dendam
15
Dimana arus itu?
Arus sungai hidupkan sungai arus laut hidupkan laut arus hidupku hidupkan kesadaran dan kemanusiaan
16
Dunia prosa- menuntut dan menuntun cerita; dan aku pandai membawanya ke ruang gelap, jauh dan berhantu
Aku- dengan segala ketakutan, berhasrat membunuh hantu itu
Nyai Ontosoroh itu sebuah nama, tokoh novel, tapi dia juga sebuah batas- ruang nasionalisme. Dunia yang hibrid dan nasionalisme yang murni?
17
Puting beliung itu membuat tulang dan sendi-sendiku terasa ngilu segala perasaan tumpah dan hati hanya bisa berserah pasrah waktu angin berputar-putar bergulung dari bawah ke atas dan atap rumah porak poranda sampai Robohnya Surau Kami dan orang sekampung pergi mengungsi berpencar ke sana-sini seperti Keluarga Gerilya sesaat waktu bagai sebuah pertaruhan Maut dan Cinta dan kata nasib begitu panjang layaknya Jalan Tak Ada Ujung sampai angin itu reda bertahun kemudian datang kembali puting beliung itu terus kembali dan kembali. Tak ada alasan lain, karena kami semua anak-anak yang suka menyusu pada ibunya
18
Ada yang pergi dan pulang. Dan laki-laki tahu kemana harus pergi dan kapan waktunya untuk pulang
19
Wahai kau yang pergi ke kota-kota dunia
Ke Paris ke London Berlin atau New York
Nanti aku!
Pakaian tubuhku baru kusetrika
Alas kakiku baru kucuci, belum kering
Biar ku bawa ia bersama sajak
Sekali waktu duduk di sisi makam: kafka, nietszche, shakespeare dan poe memandang bunga-bunga blossom bermekaran dan berdoa dalam gema: gramapon
20
Mungkin, titik itu luka, sebelum anak-anak itu pergi bawa harapan dan segurat pelangi melengking lebar di langit pikiran
Sebuah novel datang kepadamu di waktu pagi sore dan malam
Adakah ia sanggup mengucap salam pada dunia?
21
Aku lelaki separuh baya berjalan memandang dunia dengan mata anak-anak langit kelabu dan hujan desember membasah bibirku tebal dan kelu.