Alex Runggeary

Ketika membaca karya Gabriel Garcia Marquez, Until August, terbayang kembali karya-karyanya yang lain seperti – One Hundred Years In Solutide – yang membawanya memenangkan Hadiah Nobel Sastra 1982. Until August adalah satu karyanya yang seharusnya tidak diterbitkan karena ia sendiri ragu akan kemampuan ingatannya yang menurun seiring umur yang melarut pada ujung. Buku ini kemudian diterbitkan sepuluh tahun setelah Gabo, panggilan akrabnya, meninggal 17 April 2014.

Buku novel mini ini sepertinya masih dalam edaran terbatas karena baru saja diterbitkan oleh penerbit sekaliber Alfred A. Knopf 2024 ini di Canada dan New York. Saya mendapatkannya di Periplus YIA dalam perjalanan menuju Jakarta. Hardcover pula. Pantas dengan harganya. Saya menyelesaikannya dalam tiga kali duduk. Karena memang hanya 129 halaman. Berkisah tentang Ana Magdalena Bach dan perjalanan cintanya ke pulau di laut Caribia nan biru itu setiap tanggal 16 Agustus.

Seperti pada karyanya yang lain, kalimat – kalimatnya cenderung panjang. Dan POV, Point Of View-nya, First Person. Bahkan pada karyanya Love In Time of Cholera, yang saya baru sekilas membacanya, saya dapati hanya dua alinea pada satu halaman.

Gaya menulis seperti ini bisa jadi karena ide penulisnya ingin ia sampaikan kepada pembaca tanpa perantara orang lain. Sekaligus menggambarkan gelora bathin si pengarang yang menggebu – gebu. Dan orang seperti Gabo, yang mantan jurnalis itu, cocok dengan gaya ini. Kita sebagai pembaca menikmatinya karena kemampuan mengolah kata yang sangat prima. Kita bagai menonton penggambaran tokoh, kegelisahan bathin, lingkungan dan peristiwa begitu nyata. Dalam hal terakhir ini saya terus berlatih

Lain pula, dalam hal panjang kalimat, dengan misalnya James Paterson, atau Daniel Silva. James menulis tentang kejahatan di kota kota besar dunia dan bagaimana para penegak hukum melawan para penjahat. Daniel Silva spesialis menulis tentang mata- mata Israel dengan sang tokoh Gabriel Allon.

Begitu membuka buku dimulai dengan percakapan para tokohnya. Dalam pola seperti ini, si penulis menitipkan idenya lewat tokoh tokoh khayalannya. Kalimat-kalimatnya cenderung pendek seiring percakapan tokohnya. Ini adalah POV – Third Person Point Of View. Saya cenderung menggunakan pola ini terutama untuk beberapa karya saya yang terakhir.

Lalu, mana pola yang baik. Dalam hal mengarang (fiksi), tidak ada aturan yang mengikat. Kita secara instinktif akan memilih pola yang cocok dengan gaya kita. Karena menulis adalah bagian ekspresi dari kepribadian. Kita harus berulang melakukan untuk memantapkannya. ” If you want to be A writer, then write. There is no other way”, Margret Atwood, the Canadian writer.

Untuk menjadi pengarang hebat yang tak tergoyahkan, teruslah menulis. Dan – Jadilah Diri Kita Sendiri –
———
Bandar Lampung, 17 Juni 2024
*) Penulis Pinggiran asal Papua