Oleh: Swary Utami Dewi
–
“Paling tidak, dalam 10 tahun terakhir kami di Kampung Friwen di Raja Ampat ini merasakan dampak dari perubahan iklim. Setiap bulan muda muncul, air laut naik masuk ke daratan. Pulau Friwen yang luasnya sekitar 2 km2 digenangi air laut setinggi betis. Memang dalam hitungan jam air akan surut kembali. Tapi air laut yang asin mencemari air tawar di sumur-sumur masyarakat hingga menjadi payau dan tidak bisa diminum lagi. Kami harus menggantungkan diri dari air galon untuk minum, yang harus dibeli jauh dari Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat. Ongkos transport laut sangat mahal hanya untuk membeli air galon. Air laut asin ini juga merusak tanaman pekarangan perempuan. Beberapa orang yang mengelola homestay untuk wisata juga harus menaikkan tiang pancang supaya tak terendam. Yang paling membuat sedih adalah ada pulau-pulau di Raja Ampat yang sekarang sudah hilang dari peta kami, yakni Pulau Kri dan Kri Besar. Dua pulau ini dulu merupakan tempat transit untuk kami yang harus berlalu-lalang antar pulau. Jadi perubahan iklim ini berdampak nyata bagi kami di sini.”
(Obrolan dengan Steve Wawiyai, 41 tahun, penduduk asli Friwen, 3 Juli 2024).
Cerita yang saya dengar langsung dari Steve di atas, mengingatkan saya pada perdebatan antara dua sahabat saya, Ulil Abshar Abdalla dan Budhy Munawar Rachman mengenai isu tambang. Polemik keduanya berlanjut. Pagi ini, 3 Juli 2024, saya kembali mendapat tulisan Budhy yang menarik. Budhy mengawali tulisannya yang kedua untuk menanggapi Ulil dengan paragraf berikut:
“Ulil kelihatannya skeptis terhadap adanya perubahan iklim atau climate change, yang perlu penanganan segera dan urgen. Menanggapi Ulil, saya ingin menambahkan kritik saya terhadap Ulil dengan pertanyaan sederhana ini: “seberapa jauhkah kita bisa percaya pada adanya perubahan iklim”?”
Inilah yang menarik saya untuk kembali menulis. Tentang isu tambang ini, sebelumnya saya sudah menulis artikel saat mencuat isu kasus korupsi tambang timah senilai Rp 271 triliun. Pada 5 April 2024 saya memulai tulisan dengan menggunakan konsep “kutukan sumber daya alam”, yang digaungkan oleh Richard Auty. Auty menulis buku Sustaining Development in Mineral Economies: the Resource Curse Thesis, yang terbit pada 1993. Auty mengkritik bagaimana negara-negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) berlimpah telah gagal memanfaatkan kekayaan alam untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara yang SDA-nya terbatas. Para ahli kemudian mendalami isu ini untuk mengulik apakah pengelolaan SDA di suatu tempat menjadi berkah atau kutukan. Ini misalnya dilakukan Jeffrey Sachs.
Saya pun teringat, puluhan tahun lalu, antara tahun 2000-2002, ketika mengikuti pelatihan intensif di program Leadership for Environment and Development (LEAD) dan menjadi tertarik pada tesis Auty tersebut. Ternyata bertahun-tahun kemudian tesis tersebut makin nyata terjadi di Indonesia. Saya, seperti halnya banyak kawan, menyimpulkan bahwa hingga kini pengelolaan tambang di Indonesia persis seperti apa yang disebut Auty. Ia merupakan kutukan, bukan berkah.
Mengapa demikian? Karena ulasan Budhy dan Ulil menyinggung banyak soal perubahan iklim, saya ingin kembali menunjukkan bahwa kutukanlah yang selama ini terjadi, bukan sebaliknya. Pertama, terkait krisis iklim (bukan lagi hanya perubahan iklim). Mengapa batubara menjadi hal urgen dalam isu krisis iklim? Karena sampai kini, hasil penelitian para ahli dunia menunjukkan bahwa batubara merupakan penyumbang utama dan terbesar (sebagai gas rumah kaca atau GRK), yang menyebabkan suhu bumi meningkat tajam, utamanya sejak masa Revolusi Industri. Saking berbahayanya emisi dari penggunaan batubara ini, Konferensi Perubahan Iklim PBB atau Conference of Parties (COP) 2021 membuat kesepakatan Pakta Iklim Glasgow untuk mengurangi penggunaan batu bara secara eksplisit.
Hingga kini, ketergantungan manusia terhadap berbagai bentuk energi fosil telah menjadikan suhu bumi (daratan dan lautan) menjadi naik mendekati 1,5 derajat Celcius, yang kemudian menimbulkan berbagai akibat nyata. Dari perubahan iklim, kemusnahan berbagai spesies, mencairnya es “abadi” di kutub — yang lalu berdampak pada kenaikan permukaan air laut yang menyebabkan abrasi, intrusi air laut, hingga pulau-pulau yang menghilang; persis seperti yang dialami oleh masyarakat adat di Pulau Friwen di atas tadi – serta masih banyak lagi akibat lainnya. Yang terdampak bukan hanya masyarakat penghuni pulau-pulau di Raja Ampat, tapi juga pelosok Indonesia lain dan dunia. Jadi “no debate” untuk ini. Batubara jelas membahayakan. Karena itu, “selemah-lemahnya iman” adalah dengan meninggalkan batubaru dan energi fosil lainnya — bukan melakukan penambahan dan perluasan eksploitasi. Ini bukan main-main karena hal tersebut menyangkut kehidupan miliaran orang dan makhluk lain di bumi, yang akan terpapar panas ekstrem, dengan segala macam dampak lanjutannya tadi, jika suhu global naik lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Bukan hanya soal krisis iklim. Dari segi ekonomi, data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 2019 menyebutkan bahwa wilayah tambang batubara yang luas (utamanya di Sumatra Selatan dan Kalimantan) ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan dan pengangguran masyarakat sekitar. Hasil riset JATAM 2019 juga menunjukkan sebanyak 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia (termasuk batubara) rentan mengalami kerawanan pangan. Kemiskinan pun terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, ada persoalan-persoalan lain yang tak kalah serius yang muncul, seperti praktik “mafia”, korupsi dan konflik sosial. Dan semua ini jelas terjadi di depan mata kita. Bukan ilusi atau delusi.
Indonesia hingga kini masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap batubara. Sebagian besar sumber daya mineral ini digunakan untuk pembangkit listrik dengan persentase sebesar 80 persen. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu eksportir terbesar batubara. Tapi jika dibandingkan, tak bisa dibantah bahwa hal-hal yang mudarat-lah yang muncul dibandingkan keuntungan sesaat, yang relatif hanya dinikmati segelintir “pengusaha dan penguasa” batubara. Jadi, bukan saatnya lagi menjadikan batubara sebagai hal coba-coba dengan berbagai argumen dan narasi paksaan.
Menyadari bahaya emisi karbon dari penggunaan energi berbasis fosil, Indonesia sudah mulai melakukan langkah-langkah untuk beralih ke energi yang lebih aman. Pemerintah Indonesia sudah meningkatkan target komposisi Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dalam bauran energi. Berbagai potensi lain seperti hydro power, solar cell, bahkan Refuse-Derived Fuel (RDF) — yakni sampah yang diolah menjadi energi terbarukan — sudah makin dikembangkan.
Masih banyak lagi yang harus dilakukan untuk menyelamatkan masa depan manusia dan rumah besar yang kita tinggali bersama ini. Berbagai upaya dari tingkat komunitas lokal hingga dunia sudah dilakukan untuk mencegah semakin parahnya krisis iklim. Saya, misalnya, hari ini melihat upaya konservasi mangrove di beberapa pulau-pulau di Kabupaten Raja Ampat oleh masyarakat setempat. Mereka percaya bahwa menyayangi mangrove — bukan merusak atau mengeksploitasi sumber daya alam — yang justru harus dilakukan.
“Hutan adalah ibu, laut adalah bapak dan pesisir adalah anak, yang mengajarkan keturunan kami untuk melindungi alam secara keseluruhan”. Demikian yang saya baca di papan yang dipancang di depan pelabuhan Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Dan menanam serta menjaga pepohonan tenyata secara ilmiah memang terbukti menyumbang pada pengurangan dampak perubahan iklim karena pohon di daratan mampu menyerap dan menyimpan karbon. Bahkan untuk mangrove — seperti yang dikelola oleh masyarakat Kampung Friwen — tumbuhan ini mampu menyerap karbon jauh lebih tinggi lagi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mangrove mampu menyimpan dan menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dari hutan tropis daratan.
Jelang magrib saya dan beberapa kawan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) kembali ke penginapan di Waisai. Saya merenung. Di ujung sini masyarakat begitu gigih menyayangi bumi dengan cara yang bijaksana. Sementara nun jauh di sana, masih ada segelintir orang yang ngotot mati-matian membela batubara, yang terbukti telah merusak bumi dan menimbulkan berbagai dampak lainnya.