Tiga puluh tiga tahun lalu, ketika itu saya belajar ilmu baru yang diajarkan oleh seorang Prof. Dr. Johanis Ohoitimur, seorang pastor/ romo katolik terkait mata kuliah “Islamologi”. Hari itu, hari pertama di semester tujuh, para mahasiswa diarahkan focus pada mata kuliah yang nantinya bermanfaat ketika terjun di dunia plural dalam mana tidak terdapat homogenitas sebuah religi dan justeru bagaimana hidup di tengah pluralitas alias heterogenitas hidup sebuah relasi sosial yang penuh makna.
Prof. Dr. Johanis Ohoitimur di hari pertama itu mengajarkan ajaran Islam yang damai, Islam yang penuh makna karena, substansi dan relasi manusia diungkapkan dengan sangat menarik dalam empat ruang gerak kehidupan. Pertama, hubungan manusia dengan Allah SWT (habluminnallah), kedua, manusia dengan sesama manusia (hablumninannas), ketiga, hubungan manusia dengan dirinya (hablumibinafsihi), dan keempat, hubungan manusia dengan lingkungan hidup (hablumminal alam).
Perspektif habluminnallah misalnya, manusia dilihat sebagai homo religious. Relasi ini menyadarkan akan ketergantungan manusia pada yang Ilahi. Manusia religius (spiritual) memiliki visi jauh dan intuisi mendalam untuk menjaga dan mempertahankan panorama alam sebagai hadiah terindah Tuhan kepada manusia. Dalam perspektif hablumninannas manusia merupakan makhluk sosial (homo socius), artinya kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berdiri sendiri dan akan membutuhkan pihak lain dalam keberlangsungan dan upaya mempertahankan hidupnya. Kaca mata hablumminal alam, melihat manusia sebagai makhluk lingkungan (homo ecologus). Maksudnya manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu ekosistem, sehingga secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami akan lingkungannya.
Hari ini, Sabtu 21 Oktober 2023, saya di tengah-tengah para cendikiawan muslim, mengikuti kuliah dengan tema: Islam Toleransi dan Pluralisme sebuah tema luar biasa yang digagas oleh Dr. Budhy Munawar Rachman, seorang dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarja Jakarta, pegiat NGO yang memiliki pengalaman banyak terkait promosi peace building, hal mana konsep konsep rasionalitasnya terkait pluralisme, bukan hanya digeluti di ruang akademik, justeru di dunia empiriklah dijadikan kajian-kajian kritis promosi peacebuilding baik di kampus dan di berbagai kegiatan kemasyarakatan yang plural.
Eksklusivitas Beragama dan Demokrasi Teologi inklusi
Menurut Dr. Budhy Munawar Rachman, “Ada 5 formasi nilai dari ekslusivitas beragama menuju kekerasan ekstrem yaitu (1) exlucivity (2) superiority (3) intolerance (4) God is on our side atau my ideology is the truth (5) expansionism for God for my ideology”.
Dr. Budhy Munawar mengutip konsep Taylor tentang relasi agama-agama, bahwa “Democracy is teleogical. It’s collective effort with a noble goal: inclusion”. Ia pun mengajukan pertanyaan refleksifnya, “Bagaimana hubungan relasi kesalingan dan demokrasi?” Dr. Budhy sapaan akrab intelektual Islam ini dengan tegas mengatakan, “Tantangan dalam relasi kesalingan adalah velues formation mereka yang berpandangan exclucivity religion sampai violet extremism”.
Agama dan Relasi Kesalingan
Sang filsuf Islam abad ini, Jalauddin Rumi dalam bukunya berjudul Radical Love, menjadi rujukan Dr. Budhy mereduksi relasi kesalingan pada tataran kehidupan keagamaan manusia Indonesia. “In every religion there is love, yet love has no religion” demikian Rumi sang filsuf menekankan.
Bagi Rumi, “Love is my religion! Living only in the mind and body is a disgrace for me. Love has swept the dust from my soul and now in the clear sky my spirit moon is shining. For ages I have been beating the drum of love for you to foe off. My life depends on my dying”.
Dr. Budhy menekankan pentingnya relasi kesalingan di mana “emphaty dan welas asih” antar agama-agama menurut pemaknaan Rumi:
“Budha was not a budhist…
Jesus was not Christian…
Muhammad was not a muslim”.
Relasi kesalingan pada tataran emphaty dan welas asih pada pemaknaan ini, seyogyanya, manusia beragama harus mengatakan:
“They are Teachers Who Tought Love. Love Was Their Religion”.
Demikian Dr Budhy memaknai relasi keagamaan kita pada tataran relasi welas asih, di mana “Our religion is how every religion do loving for another”.
Theology A Common Word
Dr. Budhy mengutip konsep Karen Armtrong “Prakarsa Firman Umum sangat dibutuhkan oleh seluruh dunia. Terlalu sering, agama dikaitkan dengan kekerasan dan intoleransi, dan etos welas asih, yang terletak di jantung setiap agama besar, didorong ke sela-sela. Penegasan prinsip cinta, yang begitu sentral bagi tradisi Muslim dan Kristen, harus menjadi paradigmatik respons religius terhadap realitas menakutkan di zaman kita. Kita harus merebut kembali tradisi kita dari para ekstremis. Kecuali agama-agama besar menekankan ajaran-ajaran yang menekankan pada kekudusan mutlak dari “yang lain”, mereka akan gagal dalam ujian abad ke-21. Berkumpulnya Muslim dan Kristen, yang memiliki sejarah permusuhan yang tidak menyenangkan, adalah mercusuar harapan dan contoh bagi seluruh umat manusia”. (Karen Armstrong, 29/10/2007).
Lalu apa yang dimaksudkan dengan theology welas asih menurut Karen Armstrong?
Dr. Budhy mereduksi konsepnya pada tataran teologi praksis Amsrtorng. Bagi Karen Armstrong, ada 12 langkah hidup welas asih yang akan mengisi relasi kesalingan.
Pertama, Learn about compassion, manusia harus mempelajari bagaimana menebar kasih sayang antar sesama manusia tanpa harus melihat ideologi, suku dan perbedaan-perbedaan yang ada.
Kedua, Look at your own world, di mana dalam menjalani proses hidup, manusia perlu untuk melihat kepada diri sendiri agar kita tidak sibuk dengan masalah orang saja.
Ketiga, Compassion yourself yaitu mengasihi diri sendiri sangat penting supaya kita bisa mengasihi orang lain.
Keempat, Emphaty di man hidup dapat tercipta dalam masyarakat, hendaknya setiap orang menyuburkan rasa empati pada diri untuk ditebar kepada orang lain.
Kelima Mindfulness meningkatkan perhatian dalam segala hal untuk mencipaakan kedamaian hidup di sekitarnya.
Keenam, Action di mana manusia perlu bertindak dengan bijak sesuai yang digariskan oleh nilai dan norma yang ada atau bisa juga dalam bentuk melakukan aktifitas yang positif dan menjauhi hal yang sia-sia.
Ketujuh, How litte we know seberapa sedikit kita tahu tentang diri kita dan tentang orang lain sesuai pengetahuan dan keyakinan.
Kedelapan, How should we speak to one another, seberapa kita berbicara kepaada orang lain.
Kesembilan, Concern every body di mana peduli kepada setiap orang sekitar kita sangat penting supaya manusia bisa berbuat dengan empati.
Kesepuluh, Knowledge ilmu pengetahuan, di mana dalam beragama dan apapun harus dibarengi dengan ilmu pengetahuan yang cukup supaya apa yang dilakukan sesuai dengan ketetapan yang ada.
Kesebelas, Recognition di mana pengakuan akan diri sendiri dan orang lain merupakan kunci terciptanya compassion karena banyak orang yang hanya mengakui akan dirinya tetapi sulit mengakui eksitensi orang lain.
Keduabelas, Love your enemies. Mencintai musuh mungkin cukup berat bagi siapapun. Tetapi tentu harus dicoba dengan segala pengertian tentang equalitiy.
Refleksi
Seperti Alfred North Whitehead, kita pun diajak untuk memahami realitas sebagai suatu serikat atau komunitas wujud-wujud aktual (actual entities) yang saling berinteraksi dan saling terkait satu sama lain. Agama agama besar baik Islam, Kristen, Hindu, Budha dan berbagai aliran kepercayaan apapun sejarah masa lalu tidak terlepas dari konsep-konsep realitas 5 formasi nilai dari ekslusivitas beragama menuju kekerasan ekstrem di mana expansionisme for God diyakini sebagai kebenaran ideologi pada tingkat intoleransi yang tinggi.
Indonesia menurut Dr. Budhy, “Walaupun konflik antar etnis dan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama masih terjadi—capaian proses inklusi telah berlangsung lama dan mampu menyelamatkan keragaman Indonesia dalam satu komitmen kesatuan yang luar biasa. Bangsa kita berusaha untuk belajar memaknai hidup bersama – relasi kesalingan – dengan tetap dalam keragaman”.
Dr. Budhy menekankan, “Inklusi sosial, termasuk kebebasan beragama di Indonesia masih dalam tantangan. Menghadapi tantangan ini dialog antaragama perlu terus diperkuat dan dipertajam perspektifnya”.
Demikian Agama dan Relasi Kesalingan atau dalam Bahasa Karen Amstrong dalam theology common word dapat dimaknai sebagai jalan menuju inklusivitas beragama yang penuh damai dan bermartabat.
Bahwa apa yang dipelajari 33 tahun lalu yang diajarkan oleh Prof. Johanis Ohoitimur dalam mata kuliah Islamologi, ternyata ilmu itu relevan sampai hari ini. Islam adalah agama yang damai, agama yang diridhohi Allah SWT. Islam adalah Agama yang Rahmatan Til Alamin.
Hari ini, konsep-konsep theologi Islam pada pemaknaan (habluminnallah), (hablumninannas), (hablumibinafsihi), (hablumminal alam) dimungkinkan jika hidup keagamaan/ religiositas seseorang pada tataran inclusivitasnya, maka pada saat itu, religiositas dimaknai sebagai “Love was our religion or Love was my religion”, demikian Dr. Budhy Munawar Rahcham telah mereduksinya sekurang-kurangnya bagi saya dalam memaknai realitas hidup dalam pluralitas inklusivitas keagamaan saya.
Paulus Laratmase