Judul di atas merupakan inspirasi dari mengikuti Diskusi Publik dengan Tema “The Next President Dari Kaca Mata Papua” yang digagas oleh Analisis Strategis Papua (APS) sebuah Lembaga Pemikir Strategis di Papua dibawa pimpinan seorang Putera Biak Laus Rumayom.
Sebagai Anggota MRP Provinsi Papua terpilih 2023-2028 saya mencoba memahami diskusi public dimaksud dalam kapasitas sebagai seorang putera Papua pada bagian terakhir dari tiga tulisan saya yang dimuat di media Suara Anak Negeri, mencoba memahaminya pada analogi subtansi manusia Papua sebagai harta karun itu sendiri yang masih berada pada kubangan lumpur.
Ini kisah klasik tentang pemburu emas harta karun dari negeri India:
“Ada kepingan besar emas terkubur jauh di bawah kubangan lumpur ini. Ayo kita gali lumpurnya, temukan emasnya. Nanti kita jadikan perhiasan atau apa saja. Kita akan kaya. Jangan sia-siakan harta berharga itu,” begitu seru seorang pemburu emas yang sudah tua yang terkenal dengan insting buruannya itu.
Dengan keringat yang mengucur deras, dan waktu yang lama akhirnya sekelompok pemburu emas itu menemukan harta karun emas yang didamba-dambakan jauh tertanam dalam lumpur yang pekat. Mereka semua bersorak gembira.
Tampaknya seperti batu biasa. Mungkin karena sudah tertimbun berabad-abad lamanya. Mereka langsung mencucinya sampai bersih. Seketika di hadapan mereka tampak emas yang berkilau-kilauan memanjakan mata yang melihat.
Nah, apakah ada perbedaan antara emas terkubur di lumpur dan sampah berabad-abad dan emas yang sudah diangkat dan dibersihkan dari lumpurnya?”
Tumpukan lumpur berabad-abad tidak dapat mengubah hakekat emas itu. Emas tetaplah emas sekalipun teronggok di lumpur yang bau dan sampah yang menjijikan.
Sejatinya emas itu harta karun yang masih terpendam di tanah kita, tanah Papua. Emas itu itu adalah orang asli Papua. Emas itu hakekat diri orang Papua.
Berabad-abad tertanam dalam lumpur yang pekat. Berabad-abad pula Kita cenderung melihat diri kita sebagai batu jelek berlumuran lumpur. Lumpur-lumpur begitu tebal sampai-sampai kita tak lagi bisa memandang emas dalam diri kita manusia Papua.
Akan tetapi, lumpur berjaman-jaman tidak akan dapat mengubah sifat alami dari emas, sama seperti gejolak mental emosional tidak dapat mengubah dari sifat hakekat sejati diri kita.”
Hari ini di hadapan saya sang para pemburu emas itu sudah muncul. Mari bersama-sama kita tunjukkan kepada dunia luar bahwa emas itu sudah ditemukan.
Tugas kita sekarang adalah mengikis lumpur-lumpur. Sama seperti pemburu emas mengikis lapisan lumpur dan kotoran untuk menyingkapkan sedikit saja emas murni; untuk menangkap sedikit saja kualitas emas murni, kita perlu memulai mengikis lumpur yang menutupinya.
Tapi, sebelum itu kita mesti tahu apa dan siapa lumpur-lumpur yang mengotori emas hakekat diri orang Papua selama bertahun-tahun. Banyak mispersepsi dan kekacauan yang menyembunyikan kilauan emas orang Papua. Apakah saja itu?
Kebodohan
Selama ini emas yang tersembunyi di tanah papua itu tertutup oleh lumpur ketidaktahuan atau sering kita sebut lumpur kebodohan. Masyarakat Papua dibodohi atau dibiarkan bodoh atau dilabel sebagai orang bodoh. Eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia berlindung dari kenyataan ini. Karena ketidaktahuan kita sebagai penduduk asli, orang-orang dari luar mengeruk kekayaan alam kita dan tetap membiarkan kita bodoh.
Selama ini tidak tahu karena dikondisikan atau memang karena tidak ada sarana pendidikan pas dengan kultur orang Papua yang dibangun untuk memasukkan pengetahuan tersebut. Padahal tidak sedikit orang Papua yang terlahir pandai.
Nafsu menguasai dari orang-orang luar Papua
Lumpur kedua yang menutupi kilauan emas orang Papua adalah nafsu dan keinginan serakah dari orang-orang luar Papua yang ingin memperkaya diri dengan mengeruk kekayaan alam sekaligus mengeksploitasi kebodohan orang Papua.
Saya bicara apa adanya karena sudah muak dengan hal umum yang seolah dilegalisir banyak pihak. Kenyataannya hingga sekarang orang Papua pemilik emas itu tetap hidup miskin, jauh di bawah garis yang semestinya.
Kebencian
Lumpur ketiga yang cukup tebal menghalangi kilauan emas Papua adalah kebencian yang tertanam dalam diri orang Papua sendiri.
Hidup miskin di tanah yang subur dan berlimpah emasnya membuat benih kebencian itu semakin besar dan akhirnya menutup mata orang Papua akan kekayaan yang dimiliki,yaitu emas hakekat diri dalam dirinya.
Saya tidak dalam kapasitas menuduh orang-orang luar Papua membenci kami. Tidak, banyak sekali orang-orang bukan Papua yang mencintai kita dan berusaha mengangkat derajat hidup orang Papua. Bapak Jokowi, Presiden kita termasuk orang yang mencintai kita dan mengangkat harkat martabat kita sebagai orang Papua.
Lumpur ini saya arahkan untuk saudara-saudara kita orang Papua sendiri. Ini saatnya menanamkan kesadaran baru bahwa kita berharga. Kita emas. Kita patut mengasihi diri diri sendiri dan berbangga sebagai orang Papua. Tidak perlu kita membenci diri sendiri akibat kehidupan masa lalu kita yang suram.
Melihat bagaimana cara kita melihat diri selama ini adalah langkah awal untuk mulai mengikis lumpur-lumpur itu.
Sekurang-kurangnya ada 5 tindakan konkret sebgai upaya mengikis lumpur-lumpur di atas adalah upaya kita untuk mulai menyibakkan kilauan emas orang Papua kepada dunia luar.
(1) Good Landlord: Tuan tanah yang baik. Kita wajib menjadi tuan rumah yang baik di tanah sendiri. Tapi kita juga berhak menjadi tuan tanah yang baik pula. Bagaimana kita menjadi tuan rumah yang baik, sekaligus tuan tanah yang baik jika status kepemilikan tanah-tanah kita tidak jelas? Program pemberian sertifikat rumah atau tanah seperti yang dilakukan pemerintah pusat di banyak wilayah di tanah air harus kita adopsi menjadi program di tanah Papua. Tentunya kita harus bekerja sama dengan seluruh stakeholder terkait kepemilikan tanah yang kurang berpihak kepada masyarakat asli Papua.
(2) Good Education: Pendidikan yang baik. Untuk mengikis lumpur kebodohan yang melanda masyarakat kita, mau tak mau akses pendidikan yang layak harus dibangun secara merata dan layak juga. Ini sebuah keharusan dan dicari terobosan yang mendasar agar kita tidak berkutat di masalah pendidikan yang sukar diakses oleh masyarakat kita.
(3) Good Economy: Kemiskinan yang melanda banyak masyarakat kita ditenggarai menjadi pemicu dari kesenjangan sosal dan akhirnya muncul sikap antipati terhadap pendatang yang jelas-jelas lebih makmur dan sejahtera berubah menjadi kebencian pada diri sendiri dan kehidupannya. Kita harus berjibaku memberantas kemiskinan ini sampai ke akar-akarnya. Terkait dengan poin 1 dan 2 di atas, pemberdayaan ekonomi kerakyatan harus menjadi prioritas dari program-program kita 5 tahun ke depan.
(4) Good Gorvenance: Pemerintah yang baik. Sebanyak mungkin kita menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan sehingga kita dapat ikut menentukan arah kebijakan pemerintahan yang baik untuk kemakmuran masyarakat Papua. Pendidikan politik, pembinaan mengenai tugas-tugas aparatur negara.
(5) Good People: Masyarakat yang baik. Niscaya kalau masyarakat kita sudah menjadi bangga sebagai tuan tanah atas tanahnya sendiri, akses pendidikan dipermudah, pemberdayaan secara ekonomi berjalan dengan lancar, Orang Papua semakin sehat, indicator kebahagiaan meningkat, perhatian pada perempuan Papua yang melahirkan kehidupan tinggi, semakin banyak orang Papua terlibat dalam pengambilan keputusan di pemerintahan di daerah, penguasaan posisi legislative, eksekutif karena SDM semakin baik, sebua indicator bahwa kita akan menjadi masyarakat yang baik.
Orang lain bilang tanah papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi Itu adalah anugrah terberi dari Tuhan untuk tanah kita. Namun, sejatinya kita adalah emas-emas harta karun di surga kecil ini. Bertahun-tahun kita tidak menikmati surga itu. Ini saatnya mendapatkan kembali surga itu. Perlahan kita kikis lumpur-lumpur yang menghalangi kilauan emas kita terpancar.
Paulus Laratmase