Miris jika seseorang tinggal di tanah yang subur tapi memiliki hati yang tandus dan gersang. Bahkan jika tinggal di tanah gersang sekalipun tapi dengan bahagia juga tetap saja meninggalkan kemahsgulan kita yang melihatnya.
Jika kita mengalami hal serupa, menyaksikan saudara-saudara kita bertahun-tahun hidup dalam kegersangan tak bermusim, apakah kita akan terus berdiam dan pasrah?
Hari ini semesta memanggil kita untuk bergerak lebih proaktif untuk menjemput kekayaan peradaban tanah Papua dan kesuburan tanah yang kita pijak selama bertahun-tahun.
Saatnya kita orang Papua menikmati kesuburan tanah kelahiran sebagai anugrah terbesar dari Sang Pencipta langit dan bumi. Jangan biarkan surga kecil itu tenggelam, minimal dia tetap hidup dalam hati kita masyarakat Papua.
Mati meninggalkan tanah yang kaya
Ada seorang petani kaya raya bernama Ali Hafez. Ali adalah seorang petani yang tinggal di Afrika Selatan selalu mengucap syukur kepada Tuhan atas segala nikmat kekayaan yang dimilikinya.
Suatu kali ia dikunjungi oleh seorang pengelana, dan terjadilah percakapan antara keduanya. “Ali Hafez, jika kamu dapat memiliki berlian sebesar kelingking saja, kamu pasti dapat membeli sebuah negara.”
Mendengar ucapan sang pengelana itu, Tergeraklah si Ali Hafez. Dia membulatkan tekadnya untuk pergi dan meninggalkan keluarganya untuk mencari berlian itu di seluruh penjuru negeri, Palestina, Barcelona.
Mulailah ia mengembara mencari berlian itu dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Waktu terus berlalu, namun ia tak kunjung menemukan berlian itu. Iapun mulai stress, karena tak kunjung menemukan berlian tersebut. Tapi, ia malu untuk kembali ke desanya. Akhirnya ia bunuh diri dengan begitu tragisnya dengan terjun ke laut.
Rumah itupun jatuh ke tangan petani lain. Kejadian yang serupa terjadi, ketika tiba-tiba datang pengelana yang sama. Ia kaget karena pemilikinya sudah bukan Ali hafez.
Ketika pengelana berkeliling di sekitar rumah itu, ia melihat sungai dekat rumahnya itu berkilau-kilauan. Ia menyuruh petani itu melihat apa yang terjadi.
Petani mengambil beberapa batu yang berkilau-kilauan itu. Pengelana itupun menelitinya lebih jauh. ”Wow, ini berlian yang saya katakan dulu kepada Ali Hafiz pemilik rumah yang pertama ini. Petani kurang percaya pada ucapan si pengelana. Si pengelana berusaha terus meyakinkan petani itu sampai akhirnya petani itu penasaran dan mengambil batu itu dan mengecek di kota. Ternyata benar bahwa batu itu adalah berlian murni.
Petani itu melonjak kegirangan dan seketika itu petani tersebut menjadi kaya raya. Berita itu tersebar di wilayah tempat petani itu tinggal. Sejak saat itu dan sampai kini tempat itu menjadi tempat penambangan emas terbesar di Afrika selatan, pertambangan Golconda.
Betapa mirisnya hidup Ali Hafez jika ia mengetahui bahwa berlian yang ia cari-cari dalam hidupnya sampai matinya dengan tangan hampa ternyata ada di pelataran belakang rumahnya sendiri.
Belantara Yang Gersang
Kita, rakyat Papua adalah ibarat Ali Hafez. Mengembara di tanah yang gersang tanpa kepastian hidupnya. Padahal negeri yang ditinggali adalah negeri penghasil emas terbaik di dunia. Sampai akhirnya frustrasi dan mengakhiri hidupnya secara tragis.
Bertahun-tahun masyarakat Papua ibarat hidup bagai musafir di belantara nan gersang tanpa pernah tahu bahwa negerinya sendiri adalah surga kecil yang dijatuhkan Tuhan ke bumi.
Tapi, hari ini saya bertekad untuk membawa masyarakat Papua agar tidak bernasib tragis seperti Ali Hafez.
Hari ini saya mau menyadarkan saudara-saudara untuk berhenti hidup dalam kembara yang tidak jelas seolah tak beruJung, kembara yang penuh kegamangan, kembara yang teramat gersang.
Ini bukan soal tanah kita yang gersang, karena tanah Papua adalah yang kaya, tanah yang subur. Ini adalah soal kegersangan hati masyarakat kita yang menutup semua kesuburan tanah di mana kita tinggal.
Bertahun-tahun kita hidup dalam belantara yang gersang, sambal menyaksikan orang lain hidup dalam berkelimpahan di tanah yang subur. Mirisnya tanah yang subur itu tanah kita. Belantara yang gersang itulah hati kita.
Kita memerlukan suatu terobosan (breakthrough) yang massif, akurat dan terukur untuk menyuburkan kembali hati kita yang gersang akibat ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan penindasan terselubung yang meninabobokan masyrakata Papua.
Revolusi Mental; sebuah Terobosan untuk Tranformasi Orang Papua
Revolusi mental yang dicanangkan oleh Pak Jokowi memang belum tuntas. Pembangunan fisik terasa nyata di bumi Papua ini. Tapi harus diakui pembangunan fisik itu belum diimbangi oleh pembangunan mental orang-orang Papua. Karena itu revolusi mental, saya lebih suka menyebutnya transformasi mental, adalah sebuah keniscayaan yang harus kita bangun kini.
Transformasi mentalitas inferior
Mentalitas inferior begitu mendarah daging dalam masyarakat kita dan sangat menghambat kemajuan peradaban di tanah papua.
Keputusasaan yang panjang, kegersangan hati yang mendalam menjadikan masyarakat kita sebagai masyarakat yang memandang rendah dirinya sendiri.
“Saya tak berharga di tanah sendiri. Tidak banyak yang dapat saya perbuat. Kami masyarakat miskin dan terbelakang. Kami tak berdaya di tanah yang subur. Kami tidak pandai untuk mengelola sumber daya alam dan manusia tanah kami sendiri ……………………..”
Saatnya menjadi manusia yang superior di atas pijakan tanah sendiri
Bukan untuk menjadi sombong dan angkuh. Tapi, lebih berani untuk memandang diri sangat berharga sebagai tuan di atas tanah milik kita. Tuan yang mencintai keberagaman dan berani berkata tidak pada semua bentuk penindasan hak asasi manusia Papua.
Transformasi mentalitas pemenang yang gembira
Kita orang Papua sejatinya adalah pemenang yang gembira karena hidup di tanah yang subur. Kaya akan sumberdaya alam, sumber daya manusia dan kaya akan peradaban dengan 300-an suku yang ada di Papua.
Pengalaman masa lalu bukan melulu soal kekalahan. Kegersangan hati yang berlarut menutup mata kita terhadap seluruh kekayaan tanah Papua. Mari menjadi lebih berdaya. Ini saatnya mentransformasikan mental pecundang menjadi mental pemenang yang penuh suka cita.
Pulanglah dari kembara gersangmu
Ayo saudara-saudaraku, saatnya pulang dari kembara panjang di belantara hati yang gersang untuk menyambut kelimpahan tanah surga kecil di bumi Papua.
Paulus Laratmase