Setiap tanggal 30 Juli, Gereja Katolik Indonesia terutama Gereja di Maluku, memperingati peristiwa penembakan Vikaris Apostolik Nuova Guinea Olandese yang menjadi cikal bakal Gereja Katolik di Maluku dan Papua. Mgr Johannes Aerts MSC bersama empat pastor dan delapan bruder ditembak mati oleh tentara Jepang di tepi pantai Langgur, Kei, Maluku Tenggara, pada 30 Juli 1942.

Di tahun 1942 itu Jepang baru saja mengusir tentara Belanda dari Indonesia. Situasi sosial, ekonomi, dan politik sangat tegang. Perang sedang melanda wilayah Pasifik. Jepang hadir dengan agresivitas tinggi sebagai pemimpin Asia. Masuk ke Indonesia, Jepang menahan semua tentara Belanda dan para pribumi yang memihak kolonial Hindia Belanda.

Demikianlah, sebelum fajar menyingsing, pada 30 Juli 1942, tentara Jepang telah mendarat di Kei, tepatnya kota Tual. Dengan informasi yang telah dimilikinya saat di Ambon bahwa di Kei terdapat banyak misionaris Belanda yang berkarya. Mereka disangka kaki tangan tentara kolonial Belanda. Setibanya di Tual, sepasukan tentara Jepang merangsek masuk ke Desa Langgur di mana Uskup Aerts MSC dan para misionaris MSC berkarya. Sebagian tentara Jepang tetap berada di Tual.

Pada 30 Juli 1942, dini hari itu, mereka menggedor pintu-pintu kamar Uskup Aerts MSC dan para MSC lainnya, dengan teriakan untuk segera keluar. Hari masih pagi, tepatnya pukul 04.00 WIT. Para misionaris itu dipaksa berkumpul di muka kapel. Demikian juga dengan para suster. Beberapa orang Langgur yang mendengar suara ribut-ribut itu hanya bisa memantau dari jarak jauh. Mereka takut pada fasisme Jepang.

Kemudian tentara Jepang mengadakan sidang pengadilan terhadap para misionaris ini. Dengan bantuan seorang juru bahasa, komandan tentara Jepang bertanya kepada Uskup Aerts apa maksud dan tujuan keadatangan mereka di Langgur.

“Kami datang di sini semata-mata demi kepentingan agama dan untuk mengajar penduduk di sini untuk mengenal Tuhan serta menghormati pemangku kekuasaan. Kami juga mendidik anak-anak dan kaum muda, menolong yatim piatu dan orang sakit. Semua ini kami lakukan demi Tuhan dan kemanusiaan,” jelas Uskup Aerts saat itu.

Sementara itu semua misionaris lainnya, para pastor, bruder, dan suster disuruh berjongkok bersama beberapa umat Katolik yang ada saat itu, kecuali Uskup Aerts dan Pastor Berns MSC yang duduk di kursi karena sedang sakit.

Komandan Jepang terus mencecar Uskup Aerts dengan sejumlah pertanyaan, yang dijawab dengan tenang dan penuh kewibawaan oleh Uskup Aerts. Setelah berdiskusi dan berdebat dengan tentara Jepang, dan setelah sidang pengadilan itu, para suster diantar kembali ke biara untuk menyiapkan sarapan pagi bagi tentara Jepang.

Uskup Aerts dan para misionaris MSC itu dibawa ke rumah pusat dekat pantai, dan kemudian mereka keluar dari rumah itu dengan mata terikat kain putih. Mereka digiring ke pantai Langgur dan diminta berbaris dengan membelakangi pantai.

Pada saat itu juga, tiba-tiba Pastor Berns MSC berseru dengan suara lantang,”Untuk Kristus, Raja kita”, dan dijawab serentak oleh Uskup Aerts dan para misionaris lainnya, “Jadilah”. Serentak pula para tentara Jepang melepaskan tembakan yang merobohkan tubuh para misionaris asal Belanda itu. Tanah Langgur segera bergetar dan berlumur darah para martir ini. Darah tercecer pada tubuh-tubuh yang kian menjadi kaku. Satu demi satu tarikan nafas penghabisan para misionaris seakan mengucapkan selamat jalan kepada umat dan masyarakat Kei yang mereka cintai.

Kemudian tentara Jepang memerintah umat yang hadir saat itu untuk membuang jenazah-jenazah itu ke laut, dengan pesan agar tidak ada jenazah yang dikuburkan. Yang melanggar ketentuan ini dianggap penjahat dan harus dieksekusi mati.

Keesokan harinya, Sr. Agnes Maturbongs TMM dan Sr. Aloysia TMM, dengan mengenakan pakaian awam, memberanikan diri menyusuri pantai Langgur dan menemukan jenazah Uskup Aerts MSC yang tergeletak pada batas antara laut dan pantai. Mereka segera melaporkan hal itu kepada raja.

Setelah diatur strategi yang matang, kedua suster dan beberapa lelaki Langgur mengambil jenazah Uskup Aerts dan membawanya ke Susteran Maria Mediatrix (TMM). Kebetulan di depan susteran itu ada sebuah lubang yang direncanakan untuk ditanami jeruk manis oleh Uskup Aerts sendiri. Akhirnya di lubang itu pula, dengan beralaskan kasula Uskup, yang pada saat itu tersimpan di kapel Susteran TMM, mereka memakamkan jenazah Uskup Johannes Aerts MSC. Sementara jenazah para pastor dan bruder lainnya ditemukan umat dan dikuburkan di tempat (paroki) masing-masing.

Pada 1950, Uskup Jacobus Grent MSC meminta agar tulang-belulang para misionaris itu dikumpulkan untuk dimakamkan secara layak dan terhormat. Setelah terkumpul, tulang-belulang itu dimasukan dalam dua peti jenazah, selain peti jenazah Uskup Aerts sendiri. Sehingga di tempat pemakaman “Lokasi Ziarah Mgr Aerts MSC dan Kawan-kawan” terlihat kuburan Uskup yang diapit oleh dua kuburan para misionaris MSC itu.

Sejak itu, lokasi kuburan ini menjadi tempat umat datang berdoa, entah pagi, siang, dan malam. Anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua menyalakan lilin dan sujud berdoa. Beberapa umat memberi kesaksian bahwa doa mereka terkabul saat mereka berdoa dan bernovena di tempat ini. Ingatan pada peristiwa penembakan Uskup Aerts itu sangat membekas di hati umat Katolik di Maluku. Kepada anak-anak, para orangtua selalu menceritakan peristiwa itu untuk diangkat menjadi peristiwa iman yang mendorong anak mereka hidup dengan semangat pengorbanan diri demi kemuliaan Tuhan.

Mgr Johannes Aerts MSC atau yang bernama lengkap Arnoldus Johannes Hubertus Aerts, MSC lahir di Swolgen, Belanda, 3 Februari 1880, ditahbisan imam pada 6 Agustus 1905 dan ditunjuk Uskup Tituler Apollonia pada 20 Juli 1920 dan sebagai Vikaris Apostolik Nuova Guinea Olandese pada 28 Agustus 1920. Penunjukan ini bertepatan dengan peningkatan status teritori gerejani Nuova Guinea Olandese dari Prefektur Apostolik menjadi Vikariat Apostolik New Guinea.

Kini lokasi kuburan Mgr Aerts dan kawan-kawan menjadi tempat wisata rohani, bukan saja oleh umat Katolik di Kei dan Maluku pada umumnya, melainkan juga oleh kelompok-kelompok peziarah dari kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Papua. Selain kuburan Uskup Aerts, di Kei sendiri terdapat beberapa lokasi untuk berziarah dan berdoa, seperti Goa Maria di Desa Kolser dan Rumah Retret di Gunung Dab, Kei Besar.

Jejak-jejak sejarah Gereja Katolik di Maluku dan Papua memang berawal dari Tanah Langgur. Tak salah bila Mgr Andreas Sol MSC, menjuluki tanah Langgur dengan sebutan “Langgur Yang Mulia”. Misi Katolik dari Langgur, Kei, kemudian disebarkan ke Papua. Banyak guru-guru Kei dan Tanimbar, kemudian dikirimkan ke Papua bagian selatan untuk mengajarkan agama dan mendidik umat ke arah kehidupan yang lebih baik. Jasa para guru awam (katekis) asal Maluku itu membekas di hati umat Katolik di Papua.

 

Stef Tokan