Oleh: Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah)
–
Cornelis de Houtman adalah pelaut Belanda yang memimpin ekspedisi ke Nusantara pada akhir abad ke-16. Ia tewas dalam pertempuran melawan pasukan Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati. [1]
*
Di bawah langit Aceh yang membentang biru,
Ombak berkejaran menyapa dermaga.
Di sana, kisah perempuan perkasa bermula,
Malahayati, Laksamana laut yang tak tertandingi.
Bukan sekadar nama yang tercatat dalam sejarah,
Ia adalah simbol keberanian,
Darah Aceh yang mengalir dalam tiap ombak.
Ketika Portugis dan Belanda datang,
Dengan kapal-kapal besar membawa kerakusan,
Malahayati berdiri di depan,
Bukan sekadar perisai,
Namun badai yang menggulung ambisi kolonial.
Di balik wajah lembutnya, ada tekad baja,
Di genggamannya, rencong adalah suara.
Cornelis de Houtman datang dengan kapal-kapalnya,
Menjanjikan perdagangan, membawa tipu daya.
Namun Aceh, negeri yang penuh marwah,
Tak akan tunduk pada ketamakan.
Malahayati memimpin pasukannya,
Janda-janda perang yang menyimpan luka,
Namun menjadikannya bara semangat.
“Rencong ini bukan sekadar senjata,” katanya,
“Ini adalah suara tanah yang enggan diam.”
Dan di tengah pertempuran,
Ia melangkah ke depan, menghadapi de Houtman.
Tikamannya adalah pesan,
Bahwa tanah Aceh takkan dijual.
Di tengah darah dan angin laut,
Cornelis de Houtman tumbang,
Dan sejarah mencatat kekalahan kolonial.
Bagi Malahayati, ini bukan sekadar kemenangan,
Namun janji kepada leluhur.
Bahwa Aceh akan berdiri,
Sebagai benteng Islam di Nusantara.
Ia bukan hanya Laksamana pertama,
Namun juga penjaga marwah negeri.
Dalam setiap langkahnya,
Ada doa dari tanah dan air.
Aceh kala itu adalah singgasana,
Yang menjunjung tinggi nilai perempuan.
Malahayati menjadi bukti,
Bahwa perempuan adalah pilar negeri.
Ia memimpin armada laut dengan cermat,
Menyusun strategi dengan hati-hati.
Tak gentar meski lawan bersenjata lengkap,
Karena ia tahu,
Keberanian lebih tajam dari pedang.
Di dermaga, anak-anak bernyanyi,
Tentang Malahayati dan rencongnya.
Tentang bagaimana perempuan Aceh,
Mengguncang dunia dengan keberanian.
Ia adalah inspirasi,
Bagi generasi yang lahir setelahnya.
Bahwa perjuangan tak mengenal gender,
Bahwa cinta tanah air adalah panggilan suci.
Namun keberanian Malahayati,
Bukan tanpa duka.
Ia kehilangan suami di medan perang,
Namun kesedihan itu,
Dibakar menjadi api perjuangan.
Ia mendirikan pasukan Inong Balee,
Janda-janda yang kehilangan pasangan.
Bersama mereka, ia membangun benteng,
Benteng yang tak hanya dari batu,
Namun dari tekad dan doa.
Di tengah malam yang sunyi,
Malahayati merenung di atas geladak.
“Apakah tanah ini akan bebas selamanya?”
Ia bertanya pada bintang-bintang.
Namun ia tahu,
Setiap tikaman rencong adalah doa,
Setiap langkah adalah janji,
Bahwa Aceh akan terus merdeka.
Kini, namanya diabadikan,
Di setiap sudut Aceh,
Di setiap cerita rakyat.
Ia adalah bukti,
Bahwa perempuan mampu memimpin,
Bahwa keberanian tak mengenal jenis kelamin.
Di museum, di buku sejarah,
Nama Malahayati menjadi bintang.
Namun lebih dari itu,
Ia hidup dalam hati setiap anak Aceh.
Malahayati adalah teladan,
Bahwa kekuatan bukan hanya milik laki-laki.
Ia adalah inspirasi bagi perempuan,
Yang ingin melawan keterbatasan.
“Jadilah seperti Malahayati,”
Seorang ibu berbisik pada anaknya,
“Berani melawan ketidakadilan,
Berani mencintai tanah air.”
Di bawah langit Aceh yang sama,
Ombak masih berkejaran.
Namun kini, mereka membawa cerita,
Tentang seorang perempuan,
Yang menulis sejarah dengan rencongnya.
Cornelis de Houtman telah tumbang,
Namun semangat Malahayati tetap hidup.
Ia adalah gelombang yang tak pernah reda,
Ia adalah api yang tak pernah padam.
*
Rumah Kayu Cepum 23 Januari 2025
CATATAN
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah Laksamana Malahayati yang disebut-sebut sebagai laksamana laut perempuan pertama di dunia. https://tirto.id/cornelis-de-houtman-tewas-dalam-tikaman-rencong-malahayati-cz2x