Penulis : Ririe Aiko
Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah unggahan Instagram yang memperlihatkan anak-anak sekolah dasar sedang bernyanyi riang lagu yang tengah viral di TikTok. Dengan semangat penuh, mereka melafalkan lirik demi lirik lagu tersebut tanpa jeda, seolah telah terpatri dalam ingatan. Sekilas tampak menggemaskan, namun sebagai seorang tenaga pendidik, saya justru merenung: kemana perginya lagu-lagu nasional yang dulu begitu lekat di kepala kita semasa kecil?
Generasi saya dahulu tumbuh dengan lagu seperti Indonesia Raya, Hari Merdeka, Ibu Kita Kartini, hingga Mengheningkan Cipta. Lagu-lagu ini bukan hanya sekadar hiburan, tapi menjadi sarana pembentukan karakter dan identitas kebangsaan. Lagu nasional memperkenalkan nilai-nilai cinta tanah air, keberanian, dan penghormatan terhadap jasa para pahlawan. Kini, lagu-lagu itu seolah memudar, digantikan lirik-lirik viral yang tidak jarang bernuansa dewasa, tidak sesuai dengan usia anak-anak, bahkan minim nilai edukatif.
Fenomena ini bukan semata kesalahan anak-anak. Dalam banyak kasus, guru dan orang tua tanpa sadar justru memperkuat budaya viral tersebut. Di sekolah, tak jarang lagu-lagu TikTok dijadikan hiburan di sela pelajaran, sebagai pemecah kebosanan atau untuk membuat anak “anteng.” Sementara di rumah, gadget dan media sosial menjadi “penjaga” anak selama orang tuanya sibuk. Maka tak mengherankan bila daya serap anak terhadap konten digital jauh lebih cepat ketimbang hafalan lagu wajib atau pemahaman literasi dasar.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dalam sebuah studi hasil kerja sama pemerintah Australia dan Indonesia, ditemukan bahwa 45% anak kelas 3 SD di Indonesia memang bisa membaca, namun tidak memahami isi bacaan. Ini adalah sinyal bahwa pemahaman mendalam—baik terhadap teks, nilai budaya, hingga lagu kebangsaan—semakin tergerus di tengah banjirnya konten digital instan.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kemajuan teknologi atau kehadiran TikTok. Platform seperti itu memiliki sisi positif ketika digunakan secara bijak. Namun ketika frekuensi dan kontennya dibiarkan lepas kendali, dampak negatifnya justru mengikis akar budaya dan kreativitas anak bangsa. Lagu-lagu nasional bukan hanya sekumpulan nada dan lirik. Ia adalah warisan yang membentuk identitas dan semangat kebangsaan. Ketika anak-anak tak lagi mengenalnya, maka kita sebenarnya sedang menyaksikan hilangnya satu bagian penting dari pendidikan karakter.
Pendidikan hari ini perlu lebih dari sekadar transfer pengetahuan. Ia harus menjadi ruang untuk membentuk rasa, makna, dan jati diri. Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama—guru, orang tua, dan pemerintah—untuk mereposisi lagu-lagu nasional dalam ruang pendidikan anak, bukan sebagai nostalgia masa lalu, tetapi sebagai bagian dari pembelajaran hidup yang bermakna. Kalau bukan kita yang mengajarkannya, siapa lagi?