Oleh: Alex Runggeary
–
Ketika itu 1955 – 59 aku masih kanak kanak hidup di Biak Kampung Ambroben berbatasan langsung dengan kota Biak yang kala itu terkenal dengan lapangan terbang Mokmer, terkenal sampai ke seluruh dunia karena didarati oleh Koninklijke Luchtvaart Matchapij – KLM – salah satu pioneer penerbangan dunia. Biak – Amsterdam setiap minggu.
Ayahku bekerja sebagai helper Tukang Kayu membangun Kota Satelit Ridge. Ibuku bekerja sebagai Pembantu Keluarga Belanda. Kami hidup tak berkekurangan. Apalagi pendidikan gratis.
Namun hidup tentram bahagia itu tiba tiba terganggu oleh kabar berita, “Akan ada perang” Entah perang dengan siapa, aku tak paham sebagai anak kecil. Tapi suasana semakin mencekam ketika suatu pagi gerimis dingin, orang berlarian dengan langkah berat tepat dipinggir rumah kami. Berhenti sejenak, tiarap, bunyi tembakan beruntun, kemudian bangun berlari lagi, berpakaian loreng, topi baja, bersenjata lengkap. Keteganganpun terjadi. Ternyata perang itu lebih cepat datangnya dari perkiraan.
Rupanya tentara Belanda yang biasa kami sebut – Marine – sedang melakukan latihan perang. Ketegangan warga tak surut tetapi semakin menjadi jadi ketika nenekku Paulina bercerita kalau di dekat kebunnya banyak tentara sedang membangun sesuatu di sana. Di kemudian hari baru aku tahu, kalau yang dimaksud nenek adalah – Radar Gunung Binsari
Beberapa keluarga Kurudu, kampung asalku memutuskan kembali ke kampung halaman – Pulau Kurudu. Termasuk keluarga kami. Dari pada jadi korban sia- sia. Betapa tidak, frekuensi latihan pesawat perang di lapangan – Burokup – semakin menjadi- jadi.Kami harus meninggalkan kenyamanan hidup di Biak kembali ke kampung karena ancaman perang.
Sesampainya kami di kampung Kurudu, tak lama kemudian, aku ikut ujian akhir Sekolah Rakyat karena memang aku duduk di Kelas – III sewaktu di Ambroben. Aku lolos dengan mudah lebih karena beda kualitas pendidikan di kota dibanding di kampung.
Aku boleh melanjutkan ke Jongens Vervolg School – JVVS – di Serui. Aku termasuk di antara 4 terbaik: Jan Arisoi, aku, Agustina Masoka dan Rika Warinusi. Agu dan Rika ke Meisjes Vervolg School – MVVS. Kami harus mendayung ke Serui dengan perahu kajang selama seminggu. Hidup semakin sulit. Tapi apa boleh buat.
Biar bagaimanapun ketika kami masuk sekolah berasrama itu, kami hidup lebih baik dan teratur. Pendidikan terbaik yang pernah aku alami. Ketika liburan tiba kami kembali ke kampung.
Ternyata suasana di kampungpun ikut berubah karena perjuangan – Merah Putih. Para pemuda beramai- ramai menghilang pada malam hari dan kembali keesokan harinya. Ada bekas irisan tipis di dada dan perut. Konon mereka berlatih kekebalan tubuh. Bekas irisan tadi itu karena dihantam perang tajam semalam. Suasana seperti ini terus bergulir bersama waktu. Di kemudian hari mereka inilah yang pergi ke Sorong, menyeberang ke Indonesia dan kembali menjadi Sukarelawan Trikora.
Dari Kurudu inilah aku pertama kali mendengar tentang Indonesia yang benderanya berwarna – Merah Putih. Setiap Hari Minggu para pemuda menggunakan kemeja berwarna Merah dan bercelana Putih. Hasil kerja keras Pace Mamori.
Di hati kecilku mulai bertanya- tanya, ” Seperti apakah Indonesia, apakah orang-orangnya baik dan jujur seperti orang Belanda?”
Seiring perjalanan waktu sirnalah keraguan itu. Terselip entah kemana. Walau kerikil- kerikil seperti: (1)Trikora dimana Amerika membujuk Belanda meninggalkan Nederlands Neuw Guinea alias Papua yang dulu aman damai dan melakukan tukar guling Papua Merdeka dengan Gunung Emas Grasberg, (2) Penentuan Pendapat Rakyat – PEPERA 1969 – yang penuh kecurangan itu [The Darkened Valley – Alex Runggeary 2017], (3) Tukarguling Papua Merdeka dengan UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus yang setengah hati itu yang kemudian meninggalkan penduduk Papua termiskin seIndonesia, membekas dengan perih
Hari ini melalui wa-grup Satupena, saya membaca postingan keputusan MK, kalau – melindungi anak adalah hak konstitusional. Tentu saja dalam konteks Pilpres kemarin. Sejak awal Pilpres kekacauan berpikir seperti ini sudah terjadi. Dalam hati kecil saya, pasti keluar keputusan yang tak sesuai akal sehat.
Ada rasa menyesal. Kata pak Bas Suebu, ” Kalau saya tahu seperti ini, Papua seharusnya tidak bergabung dengan Indonesia”, ketika beliau sengaja dijerat dengan kasus korupsinya yang lalu. Tapi kata-kata beliau relevan sepanjang masa.
Papua sesungguhnya ikut terjerat dalam permainan yang tidak sehat. “Tapi, mau bagaimana lagi ……!!”
————-
Jakarta, 22 April 2024