oleh ReO Fiksiwan
–
„Ritual adalah serangkaian kegiatan yang bersifat stereotip…dilakukan di suatu tempat terpencil, dan dirancang untuk mempengaruhi entitas atau kekuatan supranatural demi kepentingan dan tujuan pelaku.“ — Victor Turner(1920-1983), The Ritual Process: Structure and Anti-Structure(1969).
Jika pernah menikmati fiksi Dan Brown(60) dan Umberto Eco(1932-2016) — The Da Vinci Code hingga Origin(2017) maupun The Name of the Rose(1980) hingga Foucault‘s Pendulum(1988) — imaji kita akan beringsut dari ritual profan mondial ke ritual sakral mistis.
Demikian kiranya, proses konklaf, sebagai mekanisme pemilihan Paus dalam Gereja Katolik, yang sudah berlangsung berabad-abad. Berawal dari 1276.
Konklaf pertama dalam sejarah Gereja Katolik berlangsung pada tahun 1276 di Roma, Italia.
Konklaf ini diadakan setelah kematian Paus Gregorius X dan berlangsung dari 21 Januari hingga 21 September 1276. Konklaf ini menghasilkan pemilihan Paus Innosensius V sebagai Paus baru.
Namun, perlu disimak, proses pemilihan Paus sebelum konklaf pertama ini juga memiliki karakteristik yang mirip dengan konklaf modern.
Perbedaan utama, konklaf modern memiliki prosedur yang lebih formal dan terstruktur, seperti isolasi para kardinal dan pemungutan suara yang rahasia.
Konklaf pertama ini diatur oleh Konstitusi Apostolik “Ubi periculum” yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius X pada tahun 1274, yang menetapkan prosedur pemilihan Paus yang lebih formal dan terstruktur.
Namun, dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang cepat, era digital bisa mengantarai tantangan dan peluang baru bagi proses ini.
Sekurang-kurangnya, merespon era digital akan turut memengaruhi format dan tradisi konklaf dan mungkin saja Gereja Katolik mau memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi?
Keamanan informasi, tantangan pertama yang dihadapi oleh konklaf dalam era digital yang mustahil dinafikan.
Dengan meningkatnya ancaman cyber, kebocoran data dan era paska-kebenaran, Gereja Katolik harus memastikan bahwa proses pemilihan Paus tetap rahasia dan aman(1).
Oleh karena itu, Gereja bisa saja mengadopsi teknologi keamanan yang canggih untuk melindungi informasi sensitif dan mencegah gangguan dari luar.
Di sisi lain, era digital juga membawa peluang bagi konklaf. Dengan menggunakan teknologi digital, Gereja dapat meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam proses pemilihan Paus.
Umpama, Gereja dapat menggunakan platform online untuk memberikan informasi tentang proses konklaf dan memungkinkan umat Katolik untuk berpartisipasi dalam proses doa dan refleksi(2).
Selain itu, teknologi digital juga dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang proses konklaf di kalangan umat Katolik.
Namun demikian, konklaf digital sebagai proses yang sangat spesifik dan sensitif, perlu dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan tradisi Gereja Katolik.
Oleh karena itu, Gereja akan memastikan bahwa penggunaan teknologi digital tidak mengganggu integritas proses konklaf(3).
Dengan kata lain, era digital dapat merespon tantangan dan peluang bagi masa depan proses konklaf.
Sebagai keniscayaan perubahan isi dan formasi peradaban, mengadopsi teknologi keamanan yang canggih dan menggunakan platform online berpotensi meningkatkan transparansi dan partisipasi.
Atau, jika dirasa relevan dan tetap berada dalam tradisi sakralitas, Gereja Katolik boleh juga memanfaatkan era digital untuk meningkatkan proses pemilihan Paus.
Pada akhirnya, digital atau tanpa digital, konklaf adalah proses yang sangat spesifik dan sensitif dalam ritus dan prosesi keagamaan yang nyaris kebal dari sentuhan dan pengaruh sains.
#RUJUKAN:
(1) Kshetri, N. (2018). Cybersecurity in the Digital Age: Challenges and Opportunities. Journal of Global Information Technology Management, 21(2), 83-86.
(2) Hryniewicz, W. (2019). The Digital Age and the
Future of the Church. Journal of Ecumenical
Studies, 54(2), 163-176.
(3) O’Collins, G. (2017). The Papacy: An Institution Under Threat? Journal of Ecclesiastical History, 68(3), 555-570.