Penulis: Ririe Aiko
–
Ayah mendorong gerobaknya,
bukan hanya melintasi gang sempit dan pasar tua,
tapi juga menembus batas mimpi yang tak kasatmata.
Gerobak reyot itu, berkarat di sudut-sudutnya,
bukan sekadar mengangkut kardus dan botol plastik,
melainkan beban harapan yang berat,
seberat cita-cita seorang anak yang ingin sekolah tinggi.
“Aku dorong gerobak ini, Nak,
hingga ke negeri Cina,
jika itu yang membuatmu bisa membaca
kitab-kitab besar dan menulis namamu sendiri
dengan tinta kebanggaan.”
Tentu saja, ayah tak benar-benar akan ke Cina.
Tapi bukankah setiap peluhnya adalah langkah panjang,
setiap lelahnya adalah jarak yang ditempuh?
Bukan jarak geografis,
melainkan jarak antara kemiskinan dan pengetahuan,
antara takdir yang pahit dan masa depan yang ingin diubah.
Gerobak itu, ayah dorong melintasi waktu,
melewati musim hujan dan terik,
melewati ragu dan lelah,
melewati harapan yang kadang tipis.
Tapi ayah tahu, di ujung sana,
bukan negeri Cina yang menunggu,
melainkan dirimu, berdiri dengan toga,
Menjadi kebanggaan Ayah,
Berdiri tegak tanpa terhina,
Menjadi manusia berguna
Dan ayah akan tersenyum disudut gerobak tua
Atau menyaksikan mu dari atas dunia