Sebuah hadiah ulang tahun yang menyentuh dan mengharukan. Layak dilaminating. Terima kasih bro Denny JA telah mencatat dan mengingat beberapa interaksi yang sangat bermakna bagi saya…
===========
Denny JA
–
Suatu sore di bulan Februari 2014. Di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta, ruang kecil itu berubah menjadi panggung batin yang megah. Bukan sekadar pertunjukan seni biasa, melainkan sebuah pementasan nurani.
Lima isu diskriminasi terhadap kaum minoritas dituturkan lewat puisi esai. Bukan hanya dibacakan, tapi dilakoni dalam bentuk teater yang lirih dan getir.
Penulis buku itu: Anick HT.
Salah satu puisinya dijadikan tajuk utama: “Kuburlah Kami Hidup-Hidup.”
Judul itu diambil dari penggalan surat seorang warga Ahmadiyah—kaum terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Kutipannya masih terngiang:
“Jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami,
di bui tidak ada tempat bagi kami,
di pembuangan sampah tidak ada,
di pekuburan-pekuburan juga tidak ada,
maka galikanlah bagi kami,
Tuan Penguasa,
kuburan kami seluruh warga pengungsi, laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak,
siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup…”
Itu isi surat yang dikirimkan oleh warga Ahmadiyah yang sejak tahun 2006 tinggal di Asrama Transito, Mataram.
Saya duduk di belakang, menyaksikan pertunjukan itu dalam hening.
Ketika kalimat itu dilafalkan oleh aktor teater, saya terpaku.
Ada hentakan batin yang tak mudah dijelaskan. Saya terdiam. Tersentak.
Lalu larut dalam renungan panjang.
Warga negara Indonesia—yang keyakinannya dijamin oleh konstitusi—diusir dari tanahnya sendiri. Mereka hidup dalam pengasingan, bukan karena kejahatan, melainkan karena iman.
Dan ketika mereka dibujuk untuk berpindah keyakinan demi “kenyamanan,” mereka menolak dengan kalimat yang menggetarkan sejarah: “Kuburlah kami hidup-hidup.”
-000-
Kalimat itu lahir dari luka yang panjang. Tapi juga dari tekad yang tak retak.
Dan Anick HT, penulis puisi itu, bukan sekadar pengamat yang menulis dari kejauhan. Ia adalah pelintas zaman, pejalan sejarah yang membenamkan dirinya ke dalam denyut persoalan Indonesia.
Saya mengenal Anick telah lama. Ia bukan hanya penulis. Ia penjaga keberagaman. Penafsir nurani.
Tahun 2008, ia memimpin Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Dalam sebuah demonstrasi damai, aliansi itu diserang dan dianiaya. Barisan yang menolak keberagaman menyerang dengan pukulan dan cacian.
Tapi justru dari kekerasan itu, bara perjuangannya menyala lebih terang.
“Dulu negeri ini tenang dengan keberagaman,” katanya.
“Kenapa justru di era reformasi, sebagian merasa paling berhak atas tafsir agama—dan merasa berhak pula atas kekerasan?”
-000-
Anick HT menyalurkan seluruh kegelisahan itu ke dalam puisi esai.
Karyanya tahun 2014, Kuburlah Kami Hidup-Hidup, adalah satu dari lebih 100 buku puisi esai yang telah terbit.
Tapi buku Anick termasuk yang paling menggetarkan. Ia tak hanya menyuarakan, tapi menjadi suara itu sendiri.
Bagi saya, itu salah satu puncak karya puisi esai:
Ketika estetika menjadi kendaraan untuk menyampaikan jerit mereka yang dibungkam.
Ketika puisi bukan sekadar seni, tapi perjuangan.
-000-
Namun saya mengenal Anick bukan hanya dari puisinya.
Tahun 2018, saya memulai sebuah ikhtiar: mendidik 1000 Juru Bicara Pancasila di 35 provinsi.
Gagasan ini lahir dari hasil survei LSI Denny JA: tren dukungan kepada Pancasila menurun perlahan, meski masih dominan.
Sementara tren dukungan kepada konsep Negara Islam meningkat, meski masih di bawah 15%.
Indonesia tak boleh lengah. Pancasila harus dirawat ulang. Diperbarui maknanya. Dihidupkan kembali sebagai simpul kebangsaan.
Lalu siapa yang pantas memimpin gerakan ini?
Kami mencari sosok yang bukan hanya paham keberagaman, tetapi juga tangguh secara manajerial.
Seseorang yang bisa menjahit idealisme dan efektivitas organisasi.
Pilihan itu jatuh pada Anick HT.
Dan ia menjawabnya dengan totalitas.
Bersama Anick, kami bahkan memecahkan Guinness World Record di bidang pendidikan politik.
-000-
Selamat Ulang Tahun Abang Anick, Panjang Umur dan Sehat Selalu, Amin. Salam Hormat dari Papua.
Anda dapat membaca pada link berikut: