Sama. Hasilnya sama di semua lembaga quick count. Prabowo Gibran menang satu putaran saja dengan kisaran angka 57% hingga 59%.

Mengapa quick count layak kita percaya? Apa argumennya? Apa datanya? Apa perspektifnya?

Kita mulai dulu dengan sejarah 15 tahun yang lalu. Undang-undang No 42 tahun 2008 soal Pemilu awalnya melarang quick count diumumkan di hari pemungutan suara Pilpres. Quick Count hanya boleh diumumkan paling cepat sehari setelahnya.

Saya menggugat Undang- Undang itu ke Mahkamah Konstitusi. Saat itu saya selaku ketua umum AROPI.

Ini asosiasi riset opini publik, asosiasi lembaga survei pertama dan paling awal di Indonesia. Saya mendirikannya dan menjadi ketua umum dua periode.

Di hadapan Hakim Mahkamah Konstitusi, Mafud MD sebagai ketua, saya katakan, “Pak Hakim yang terhormat, bagaimana kita menjelaskannya?”

“Di luar negeri, Hari Pemilu itu adalah hari raya bagi peneliti. Berdasarkan riset berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka mengumumkan siapa pemenang pemilu, siapa presiden terpilih, di hari itu juga.

Publik luas menikmati informasi hasil pemilu yang lebih cepat, dibandingkan menunggu hasil resmi.”

“Warga negara, politisi, media, pengusaha, dunia internasional merasakan berkah dari pengumuman pemenang pilpres di hari itu juga. Lalu mengapa kita di Indonesia, para peneliti, jika mengerjakan hal yang sama, publikasi quick count di hari pemungutan suara , para peneliti itu malah terkena pidana? Kita bahkan dipenjara.

Saya tegaskan: “Undang- undang yang melarang pengumuman Quick Count di hari pencoblosan itu melanggar hak publik untuk tahu. Ia juga melanggar kebebasan akademis.”

Lalu MK memutuskan pasal yang melarang quick count di hari pemungutan suara itu dibatalkan. Kita pun ikut menikmati hingga hari ini pengumuman hasil quick count di hari pencoblosan pilpres.

Ada empat alasan mengapa hasil quick count ini bisa kita percaya?

Pertama, quick count ini dikerjakan oleh banyak lembaga, setidaknya dari tiga jenis institusi. Ada dari media: Kompas. Dari think tank: CSIS. Juga ada dari aneka lembaga survei.

Karena saya pelaku, saya memastikan tak ada persekongkolan di antara lembaga di atas untuk berujung pada kesimpulan yang sama.

Yang mengerjakan quick count ini juga ada lembaga survei dari kubu Ganjar. Ketua TPN menyatakan mereka menggunakan Charta politika.

Juga kita tahu ada pemimpin dari lembaga survei SMRC: Saiful Mujani. Ia juga aktivis demokrasi, dan menganjurkan untuk memakzulkan Jokowi.

Dengan sendirinya, Saiful bukanlah penggemar Prabowo Gibran. Bahkan jika bisa, ia ingin Prabowo Gibran tidak terpilih.

Juga ada LSI Denny JA. Lembaga ini memang sudah mengabarkan Prabowo Gibran akan menang satu putaran saja, enam hari sebelum hari pencoblosan.

Beragam sekali lembaga survei dengan berbagai kepentingan di sana. Mereka tidak satu suara mengenai siapa capres- cawapres yang ideal, menurut mereka yang seharusnya terpilih.

Tapi kemudian kita lihat hasil quick count semua lembaga survei itu sama, baik Kompas, CSIS, dan lainnya.

Kompas mengumumkan yang menang Prabowo dengan Gibran dengan angka 58,60%. CSIS juga sama, mengumumkan Prabowo Gibran juga menang 58,22%.

Sama juga dengan SMRC. Walau pemimpinnya usulkan untuk memakzulkan Jokowi, lembaga ini pun menyatakan Prabowo yang menang 58,38%.

Pun juga dengan Carta politika yang digunakan oleh tim Ganjar. Mereka mengabarkan hal yang sama: Prabowo- Gibran menang 57%.

Tentu saja, apalagi LSI Denny JA. Lembaga ini sudah mengumumkan yang menang memang Prabowo. Data yang masuk sudah 100%. Elektabilitas Prabowo- Gibran: 58,47%.

Apapun latar pilihan politik. Dari manapun sumber dana. Sekali temuan ilmiah bicara, temuan ilmiah itu mengalahkan hal lain. Inilah sikap sejati seorang peneliti.

Alasan ketiga soal rekam jejak di pilpres sebelumnya. Penyelenggara quick count hari in i sama dengan di 2019 dan terbukti semuanya akurat.

CNN memberitakan: quick count pilpres tak meleset dari hitung resmi KPU untuk kasus Pilpres 2019. Juga di berita ANTARA: quick count LSI Denny JA di pilpres 2019 dianggap paling presisi karena selisih quick count saat itu dengan pilpres versi KPU hanya 0,12% saja.

Dan yang keempat, yang juga paling penting, lembaga quick count ini dengan KPU fungsinya memang saling mengontrol. Pada awalnya quick count ini dibuat untuk mengontrol KPU di negara itu.

Yang pertama kita kenal di Filipina tahun 1986. NAMFREL. Ini Civil Society di sana bekerja sama dengan NDI National Democratic Institute yang datang dari Amerika Serikat.

Merekalah yang pertama-tama merumuskan quick count. Tujuannya untuk mengontrol lembaga resmi pemerintah yang menghitung suara agar tidak disalahgunakan.

Lalu masyarakat memiliki sendiri cara menghitung cepatnya, dengan metodologi yang sangat-sangatlah valid. Quick count kemudian meluas ke banyak negara demokrasi yang baru tumbuh.

Dengan empat alasan ini, Quick Count yang kredibel, yang menyatakan Prabowo- Gibran menang putaran saja memang layak dipercaya. *

 

Denny JA