Oleh: Muhammad Solihin Oken
–
Nyanyian Musim Maudi Ayunda
1
Dan senja bawakan suara nyanyian musim ke sisimu sedang angin sepoi tinggal rindu di sisiku
Aku menunggu di sini- bersama kanvas kosong dan waktu lerai sisi bayang
Senja temaram- hingga garis malam menyatu lepaskan goresan tentang ruang dan kerinduan bersamamu
2
Berjalan ke arah musim- salju yang rontok dan pohon-pohon oak lepaskan wangi tubuhnya
Waktu kembali- musim panas memanjang waktu ruang-ruang kelas mencari kata yang ada dan tak ada mungkin terselip di rak-rak buku atau terentang jauh ke langit biru pada cermin berkata: Siapa dirimu, Mod, untuk apa di sini, apakah dia yang kau cari kelak kautemukan? Aku bergegas pergi berlari dengan sepedaku bersama pertanyaaan itu ke ruang perkuliahan hilir mudik perpustakaan berharap kata itu datang dan muncul di hadapanku bersama jawaban tak beku
Dan musim semi- yang tenang, jalan-jalan teduh pagi cerah dan senja indah menjalar ruang di sana ke taman-taman orang berpasang-pasangan berkasih-kasihan lepaskan segala beban dan bawa seutas senyum, dan berani berkata pada diri: Aku Mod, sedang memandang dunia ke sisi lain, ke sana, di mana dunia baru dan pengetahuan abad XXI terbentang! Berdiri menatap ke dalam telaga pada permukaannya ada bayang samar wajah perempuan pencerah itu, Kartini, dan duka abad XIX
3
Surat-surat apalagi yang belum kau tulis, Kartini?
Abendanon telah pergi
Dia letakkan surat-suratmu di laci pikiran kami
Surat-surat nan indah kepada teman
Menerobos zaman
Menerang hati dan akal
Surat-suratmu
Seindah selendang
Hatimu
4
(surat imajiner Kartini)
Buat Anandaku Maudi,
Mungkin, kerinduanku dimulai di sini- kepadamu. Kerinduan yang boleh dikatakan sederhana, karena dia lewati jarak ruang dan waktu
Abad yang kulalui penuh luka dan kesedihan perempuan, dan aku menulis- untuk mewakili penderitaan Kaoemku (dia yang tak mampu berkata-kata secara lisan, apalagi dengan tulisan) berbagi kisah tentang nasib dan masa depan. Hanya tiap kali selesai menulis surat-surat itu, aku merasa tak pernah sanggup mewakili hati-hati mereka terlerai; karena hidup penuh ketidakpastian,- dan mengangkat derajat Kaoem Perempoean adalah jalan kutempuh untuk menemukan sebuah kepastian. Dan aku yakin, seiring waktu, gelap itu akan menemukan terangnya
Apa arti Perempoean, Mod? Alam pikiran laki-laki dan budaya patriarki begitu kuat karenanya tiada ruang bagi perempoean- sebatas sumur, dapur dan kasur; Dunia luar adalah dunia laki-laki, perempoean dibatasi: pendidikan dibatasi, interaksi dibatasi, apalagi berorganisasi? Perempoean sekedar urusan domestik, ditempatkan di dalam rumah saja-:kita punya banyak waktu, tapi tak memiliki ruang itu- Dunia luar. Ruang, Mod! Kuharap kau dapat mengerti- memilikinya, dan sanggup membawa ruang itu untuk kemajuan Kaoemmu, untuk dunia lebih baik. Kiranya kucukupkan suratku, lain waktu mungkin kulanjutkan. wassalam.
5
Waktu perahu kertas itu sampai padamu adakah dia ‘kan membawamu ke kota-kota dunia? Ada pesan kaubaca? Dan tak kautemukan aku di sana, hanya dia yang kaurindukan
Aku berada di ujung laut itu- waktu perahumu melintas lewat dan masuki bandar kota. Ada cerira tentang lelaki tua kaubawa dan tak sempat kau katakan aku di sana, hanya dia kaurindukan
Setelah berkemas kau dan perahu itu pun beranjak pergi; hanya lautan tinggal sepi tanpa suara, dan dia yang kaurindukan bertanya: “Lelaki tua iru sekarang ada di mana?”
6
(surat imajiner Kartini, surat ke-2)
Buat Anandaku Maudi,
Aku lahir sebagai perempoean ningrat Jawa, namun dalam hatiku telah lama kulepaskan keningratanku. Aku tak bangga dengan gelaran raden ajeng, darah biru atau apapun itu. Tapi, aku selalu bangga dan menjaga jati diriku dan harkat martabatku sebagai perempoean, dan Kaoemku, mereka yang tertindas dan diperlakukan semena-mena
Terkungkung dalam pagar pendopo- norma-norma nilai-nilai dan aturan yang membatasi gerak perempoean, apa yang hatus ku upayakan untuk mengangkat derajat perempoean dan emansipasi? Dengan segala pembatasan dan penolakan, bagaimana aku memulai, berinteraksi, berkomunikasi dengan dunia luar dan berdamai dengan sekitar, bahwa yang ku upayakan membela nasib Kaoemku yang tertindas, tidak linear membuat perlawanan terhadap laki-laki. Aku tetap menghargai dan menghormati suamiku, dan semua yang menjadi bagian dalam hidupku. Aku mulai berpikir, hal yang paling mendasar bagi Kaoemku- adalah pendidikan, dan membuka sekolah-sekolah bagi perempoean.
Pendidikan akan membawa gerak kemajuan perempoean untuk kemudian berhimpun dan berorganisasi menuntut hak politiknya. Dalam udara pengap ku buka jendela lebar-lebar. Aku suka berkorespondensi dengan sahabat, Nyonya Abendanon. Darinya aku banyak mendapat penerangan tentang kemajuan perempoean Eropa dan gerakan menuntut hak perempoean dan masalah apa yang mereka hadapi. Dia sungguh peduli dengan diriku dan masalah-masalahku- dan selalu mendukung perjuanganku membela Kaoemku yang tertindas
7
(surat imajiner Maudi Ayunda kepada Kartini)
Wahai Kartini, sang perempuan mulia
Musim datang dan pergi bawa segenap rindu tentangmu- tentang percakapan pagi tentang ruang tentang apa saja- mungkin juga tentang nasi goreng, bawa segala kata rindu cinta dan mimpi masa depan
Kerlap-kerlip bintang jaun nun di atas sana, dan kita ingin menggenggamnya. Dia yang abu-abu mungkin akan lebih cerah warnanya bila kita bawakan biru atau ungu padanya, karena langit berkata jingga esok
Wahai Kartini, sang perempuan mulia
Di sini aku perempuan dari negeri dua musim sedang menatap dunia dari sebuah kota di negeri empat musim. Di sini, di Standford, pagi seperti sebaris kata puisi; dan aku selalu mencari kata, dan frasa mungkin masih tersisa di sana; aku mencari dan berbincang-bincang pada orang-orang yang berdiri di sana: pada sebuah percakapan ada yang selalu kita bawa dan tinggalkan, bukan?
8
Musim berangkat- waktu perahu kertas itu bawakan kata-kata (dan kunyanyikan)- tiada dia berkata sungai tiada dia berkata laut hanya suit angin dan embun pagi
Hanya dia merajut malam- bersama mimpi-mimpi, tahu kapan dan di mana titik pagi dimulai
Keseharian- bergegas waktu ke sana, pemandangan jembatan Golden Gate San Fransisco horizon jauh memanjang samar
9
Dua abad berlalu- dalam lamunan, dan perempuan itu masih di sana berharap kata nasib tersembuhkan dari bayang gelap kekuasaan
Habis gelap terbitlah terang: apatah yang habis apatah yang gelap dimana kan terbit bilamana kan terang
Bila waktu tinggal usang: kemana bersandar kata-kata dan mereka yang kalah?
10
Adakah ruang itu- yang membawa percakapan kepadamu-kepadaku, kata masih menunggu di sana lepaskan batas kau da aku
Kata itu- ada padamu dan padaku; mungkinkah dia hanya diam mengapung dalam ruang tergantung atas pikiran
Kata-kata itu sederhana- melangkah ke ruang-ruang kau dan aku tanpa tahu kemana dia, sebelum cinta bawa cahaya padamu padaku
11
(surat imajiner Kartini, surat ke-3)
Buat Anandaku Maudi,
Kiranya tiada yang membuat hatiku merasa senang dan bahagia, karena dapat bercakap denganmu- perempoean Indonesia generasi milenial yang berani, cerdas, cakap berkata-kata dan tentunya ayu
Dalam sorotan, aku terpikat pada caramu mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bercerita dan terasa lebih bernilai, menunjukkan sebuah bobot pengalaman dan pengetahuan. Waktu kau berkata tentang pagi, kau telah membuat perhubungan itu- setidaknya kita punya pengalaman lewati pagi dengan nasi goreng
Hanya kau tahu, Kolonialisme itu, Mod, dia telah menciptakan langit kelabu dab segalanya sebagai hitam putih, tiada biru ungu atau pun jingga
12
(surat imajiner Maudi Ayunda kepada Kartini)
Hitam-Putih, Ibu, ke sisi abu-abu,- mengingatkanku kepada fotografi- yang klasik. Tapi, katanya abad ke-20 membawanya kepada merah kepada hijau, kuning dan mungkin juga biru
Bunga-bunga, Ibu, tidakkah dia membawa warna dan keindahan sebelum berkata-kata padamu
Kolonialisme-Imperialisme, Ibu, kata memadat di abad yang lalu, dan aku mungkin tak mengalaminya, tapi kurasakan getirnya. Bila langit berkata kelabu, tidakkah dia membawa kesedihan dan duka yang panjang- dan aku mubgkin tak sanggup lagi berjalan ke sana; dunia sekarang penuh Tik-Tok, dan K-Pop, Ibu, yang mungkin adalah membawa dan membangun kesadaran dan identitas tanpa batas; ke sana dunia penuh jaringan “BTS” dan titik hitam itu telah menjadi merah jambu, “Black Pink, Ibu.
13
Dia pergi membawa sekeranjang sesal dan sepotong luka perginya adalah diam, diamnya hujan di lengkung senja jauh harinya menetes air mata yang mengalir memecah: fatamorgana
14
Ini sebuah novel, katamu
Hanya cerita di permukaan
Pandang pikiran di kedalaman
Datang! Ambil yang ini. Buka! Satu lagi
Lukisan para tokoh
Karakter dan buang buihnya
Hanya kata kautangkap di pelamunan
Robek sudah kantong-isi-kepala!
15
Dalam diam kau bawa rindu ke puncak ragu terbang ke awan bersama angin
16
Bila mega berarak di langit sana masihkah kau bertanya pada semesta
Bila garis sekedar garis apa artinya
Bila merah sekedar merah apa gunanya
Mungkin, dia sebuah rindu yang tak pernah kaupahami
17
(surat imajiner Maudi Ayunda kepada Kartini)
Benang merah itu, Ibu- apakah mungkin dia menjulur dalam ruang “kita”? Karena tiap generasi punya tugas, dan tiap tugas punya tujuan sendiri, bukan
Sewaktu bapak-bapak itu merumuskan pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, Ibu telah tiada, dan aku baru lahir 50 tahun sesudahnya. Aku mencoba membuat garis lurus kepada sejarah, tapi hasilnya selalu berupa garis lengkung
Semua berasal dar tesa dan antitesa. Tapi kebijaksanaan berasal dari hati yang putih, yang peduli dan teguh memegang kata (juga identitas) dirinya, bukan demikian Ibu: hati
18
Dia berjalan sendiri di sebuah kota tak bernama langit biru tapi ada biru lebih dari segala biru: kenangan
19
(surat imajiner Kartini, surat ke-4)
Mungkin, aku kenangan itu- dan kau masa depan, Mod. Hidup di zamanku begitu berat, tapi hidup di zamanmu kurasa jauh lebih berat. Namun, betapapun itu aku yakin segala tantangan dapat kau lewati dengan gilang gemilang
Aku setuju bahwa tiap generasi punya tugas dan tujuan sendiri, karena dengan cara itulah dunia bergerak maju
Sekarang tak ada lagi yang ku khawatirkan pada kaoemku: Kaoem Perempoean Indonrsia. Aku dan masa lalu berjalan dengan kain, kebaya dan konde- kau dan generasimu berjalan dengan legging atau hijab. Bagiku itu tak mengapa, karena bentuk luaran saja. Yang terpenting adalah hati kita
20
(surat imajiner Maudi Ayunda kepada Kartini)
Terima kasih Ibu, atas semua percakapan ini, karena dengan bercakap-cakap seperti inilah ada pemandangan bagiku dan generasiku; secercah cahaya itu telah terbit bersamamu, dan terang itu kini hadir bersamaku generasiku
Benang merah itu kiranya terbujur di sini- dengan tersambungnya hati dan perasaan kita, akan membangun kepercayaan pada cita-cita dan tujuan. Berjalan dengan langkah-langkah panjang, dan teguh
Terucap salam untuk hatimu yang mulia, Ibu. Tak ada hati seindah hati Ibu
21
Siapa kau Indonesia
Sebuah nama tanpa
Identitas?
Hanya diri terbaku dari lembar-
Lembar sejarah tak pernah
Tuntas
Diam berselimut gelap
Tak tahu segala tentang
Tak paham segala urai
Tak sadar segala akar
Seperti kata tak sanggup
Menemukan frasa dalam
Bait-bait puisinya
**s e l e s a i**”