Oleh:Muhammad Solihin Oken
Dari Buku Antologi Puisi “Like” Bali Politik:
Sebuah puisi, sebuah percakapan. Percakapan puitik.
Lukisan katakata menyeruak ruang dalam bingkai waktu. Membangun percakapan. Dalam situasi dan kondisi apa pun percakapan punya arti penting. Dan dalam hiruk pikuk percakapan ruang publik, percakapan puitik lebih penting lagi. Membawa cara dan arti percakapan khusus dengan untaian kata dan bahasa puitik semacam alegori percakapan atas percakapan.
Pada percakapan puitik, dimensi bahasa penting dalam highlight. Tapi penyair hadir dan secara lepas (bebas) menyusuri kata sanjak masuk ke dimensi sosial, politik, budaya, sejarah, religi, dan lainnya. 81 Penyair hadir dalam antologi “Like” Bali Politika mengurai percakapan. Adnan Guntur, penyair muda asal Pandeglang, Banten membuka antologi dengan sajak “Soneta yang Dipelajari Para Dewa”. Sebuah ikhtiar dari waktu yang lena.
Seperti longsung tombol telah tertekan lalu menimbulkan gelombang udara dari perutmu, di antara garis pada rumahku adalah puing-puing amoniak yang berjalan di atas lantai buku sunyi kitab para pemabuk
….
Percakapan politik dituang dalam nada terang oleh penyair senior Putu Oka Sukanta dengan sajak “Orang-Orang Ampas”. Putu Oka dengan larik-larik puisinya seolah mendentamkan bunyi di tikungan negeri yang terjual dan tak terbeli, moral dan harga diri. Berikut beberapa baris sajaknya:
….
Orang- orang Ampas hidup meriah
Penghuni rumah mewah
Berguru pada monyet dan harimau
Sudah kaya ingin berkuasa
Sudah berkuasa ingin kaya
Kanker di tubuh bangsa
Orang-orang Ampas
Selepas terali bui
Mencalonkan diri kembali
Eep Saifullah Fatah, membawa percakapan politik dan arti demokrasi pada “Sajak Mencintai Rendra” :
….
Warga negara!
Warga negara!
Warga negara!
Aku tak mau massa!
Aku mau warga negara!
….
Rendra,
Berkubang rindu, Aku mencintaimu!
Alit S. Rini, perempuan asal Bali, dengan sajak “Opera Pemabuk” menyitir hiruk pikuk percakapan ruang publik
….
Ia bergila-gila dengan kata
Mengumpat siapa saja di pentas tanpa rasa
Terjerembab di panggung terbuka
Kata berloncatan dari pori-porinya
Menelanjanginya tanpa ampun
Di bawah sorot cahaya pertunjukan yang belum tuntas
Rambu Raina Paranggi, cucu penyair Umbu Landu Paranggi, dengan sajak “Tiga Karet Gelang” membawa sajak empat seuntai. Tentang hubungan arti anak sulung, anak tengah dan anak bungsu dalam suatu perbandingan. Berikut dikutip bagian bait terakhir sajak :
….
Tiga Karet gelang lahir dari satu rahim gembala
Dibesarkan dengan kasih, sayang dan cinta
Tiga Karet gelang diperankan dari satu kepala gembala
Dibesarkan dengan sabar, kuat dan sederhana.
Saut Situmorang dengan sajak “Kau Cuma Memori, Katamu”. Berikut beberapa baris sajaknya di bawah ini :
kau cuma memori, katamu
dan angin tiba tiba berhenti berhembus
di daun daun pohon tua di pinggir jalan
di siang yang terik itu….
….
kau cuma memori
menghantui nama nama
di pena pelarianku!
Saut membangun suasana sajak dengan intens lewat percakapan subjek – antar subjek, dengan suatu olahan bentuk pergerakan subjek kau dan mu (kamu), dan aku puitik berdiri bebas. Dalam rambu kegelisahannya, dia ingin mengucap: Sejarah dan yang kemarin tinggal memori. (Muhammad Solihin Oken, Bogor 6 September 2024)