“Tinggal kepedihan bercumbu rayu…
Kau biarkan cerahnya pagi berlalu…
Berteman kuntum mawar yang telah layu…
Kau biarkan sejuknya senja berlalu…
Adakah seberkas sinar purnama…
Menyinar membelai di ujung senja…”
Bait syair ini adalah sebuah lagu yang sangat populer, dinyanyikan oleh group band legendaris Black Brothers di era tahun 1970-an.
Mereka menyuarakan kisah pilu Irian Jaya kala itu dengan kondisi sosio-politiknya.
Gambar di atas, merupakan kondisi di erah reformasi, era di mana masa suram itu seharusnya telah berlalu menikmati indahnya cerahnya pagi Otonomi Khusus Tanah Papua.
Hari ini, Sang Ibu ditemani seorang Pimpinan Bank Rakyat Indonesia yang adalah “Anak Papua, Anak Pulau Numfor” duduk dan bersedagurau bersamanya di ujung senja usianya.
Kata Pimpinan BRI Cabang Biak, Fajar Sarewo, SE, saat menemani mama, katanya, “Saya sudah tua, namun tidak mau menggantungkan diri pada anak-anak dan cucu cucu. Mereka sudah memiliki tanggungan sendiri dengan isteri, suami dan cucu-cucu yang Tuhan anugerahkan bagi saya. Saya masih kuat, berjualan kue dan kerupuk agar setiap hari bisa dapat uang sedikit untuk mempertahankan hidup”.
Demikian kisah itu, Sang Mama ingin menikmati sejuknya senja biar tidak berlalu begitu saja, Mama tetap mengharapkan seberkas sinar purnama menyinari dirinya, membelai hidupnya di ujung senja di usianya yang ke 73 tahun, mandiri di era Otonomi Khusus Papua.
Paulus Laratmase