Rizal Tanjung, Sastrawan, Budayawan Sumatera Barat Pada Acara IMLF-3 8-12 Mei 2025

Oleh: Rizal Tanjung

Di tengah dunia yang porak-poranda oleh konflik, krisis kemanusiaan, dan kegelisahan global, seni kembali menunjukkan kekuatannya sebagai bahasa universal yang menyatukan. Melampaui batas negara, agama, dan politik, seni menawarkan ruang di mana manusia saling memahami dan menghormati. Dan inilah yang dengan indahnya tercermin dalam International Minangkabau Literacy Festival ke-3 (IMLF-3), yang diselenggarakan di Padang, Sumatera Barat, pada 8–12 Mei 2025.

Festival ini bukan sekadar ajang pertunjukan budaya. Ia adalah pertemuan jiwa-jiwa dari berbagai belahan dunia, yang datang dengan satu misi mulia: menyatukan manusia melalui bahasa, sastra, dan budaya dalam semangat perdamaian.

IMLF-3: Festival yang Mengatasi Sekat-sekat Dunia

Di tengah gejolak politik global, di mana peperangan seperti antara Rusia dan Ukraina atau ketegangan India dan Pakistan masih berlangsung, IMLF-3 hadir sebagai titik temu damai. Dihadiri oleh delegasi dari 24 negara, festival ini membuktikan bahwa diplomasi tidak hanya milik para politisi. Para penyair, penulis, pelukis, dan budayawan yang hadir membawa serta semangat perdamaian dari tanah kelahiran mereka, menjadikannya hadiah bagi dunia.

Gedung Youth Centre Padang menjadi saksi ketika satu per satu delegasi membacakan puisi—bukan hanya dengan suara, tetapi dengan hati. Dalam bait-bait yang dilantunkan, terasa resonansi cinta, luka, harapan, dan impian yang bersatu dalam bahasa kemanusiaan. Tak peduli dari mana asalnya—apakah dari benua Asia, Eropa, atau Afrika—setiap peserta membawa nada yang saling melengkapi dalam simfoni perdamaian.

Ketika Sastra Menjadi Diplomasi Jiwa

Sastra, dalam festival ini, bukan lagi  bentuk ekspresi pribadi. Ia menjelma sebagai medium diplomasi jiwa—menghubungkan perasaan manusia satu sama lain. Penyair dari India, Sudipta Chatterjee, mengungkapkan bahwa kehadirannya di Padang adalah bentuk nyata dari diplomasi budaya. Di tengah ketegangan negaranya dengan Pakistan, ia memilih puisi sebagai jembatan: “Bahasa dan budaya adalah kekuatan lembut yang bisa menyentuh tempat yang tak bisa dijangkau oleh senjata dan politik,” katanya.

Anna Keiko: Sastrawan Cina Pada IML Sumatera Barat 8-12 2025

Begitu pula dengan pelukis asal Tiongkok, Anna Keiko, yang membawa karya-karya visual sarat harmoni. Dalam lukisannya, terpapar narasi damai yang tidak memerlukan terjemahan. Setiap guratan warna menyampaikan pesan yang sama: dunia ini terlalu indah untuk dihancurkan oleh kebencian.

Sebuah Panggung Literasi Inklusif

IMLF-3 membuka banyak ruang dialog. Tidak hanya panggung seni, tetapi juga seminar dan diskusi lintas bangsa. Di sinilah lahir gagasan-gagasan besar dari percakapan sederhana. Para akademisi, seniman, dan aktivis duduk bersama membahas pentingnya literasi yang inklusif—yang tak hanya mencerahkan individu, tetapi juga menyinari hubungan antarbangsa.

Ketua panitia IMLF-3, Sastri Bakry, menegaskan bahwa seni adalah bahasa damai yang tak akan pernah kehilangan relevansinya. “Politik sering memecah, tapi seni dan budaya selalu mampu menyatukan,” ujarnya. Kalimat ini menjadi semacam mantra yang menggema selama festival berlangsung, menyadarkan semua pihak bahwa kekuatan lunak budaya seringkali lebih ampuh dari kebijakan politik paling keras sekalipun.

Seni Menjadi Gerakan, Bukan Hanya Perayaan

IMLF-3 adalah contoh nyata bahwa festival seni bisa menjelma menjadi gerakan global. Gerakan ini tidak berhenti ketika panggung ditutup, melainkan terus hidup dalam hati para pesertanya. Mereka pulang ke negaranya masing-masing membawa misi damai, membawa kisah dari Padang, dan membawa keyakinan baru bahwa dunia bisa diubah—bukan hanya dengan senjata atau sanksi, tetapi dengan kata, warna, dan nada.

Para penyair muda Indonesia, pelukis dari Nepal, penulis dari Nigeria, dan budayawan dari Prancis, semuanya sepakat bahwa Padang bukan hanya tempat pertemuan. Ia adalah sumber inspirasi, tempat di mana manusia belajar kembali untuk menjadi manusia: makhluk yang mampu merasakan, memahami, dan menyayangi satu sama lain.

Sebuah Asa dari Sumatera Barat untuk Dunia

IMLF-3 telah menunjukkan bahwa dari Minangkabau, sebuah wilayah yang sarat filosofi dan adat, bisa lahir obor perdamaian dunia. Dengan mengangkat nilai-nilai lokal yang universal, festival ini memperlihatkan bahwa keberagaman bukan alasan untuk terpecah, tetapi landasan untuk bersatu.

Festival ini bukan hanya acara tahunan, melainkan warisan yang memperkuat diplomasi budaya Indonesia di kancah global. Lewat seni dan literasi, IMLF-3 memberi pesan yang amat penting: bahwa ketika manusia mau duduk bersama dalam ruang yang saling mendengarkan, maka dunia akan lebih mudah memahami, menerima, dan mencintai.

Penutup: Ketika Seni Menjadi Jalan Pulang ke Kemanusiaan

IMLF-3 adalah cermin dari harapan dunia yang sedang mencari jalan pulang ke nilai-nilai kemanusiaan. Dalam setiap puisi yang dibacakan, lukisan yang dipamerkan, dan diskusi yang digelar, seni memperlihatkan perannya sebagai penjaga nurani umat manusia.

Maka, dalam setiap bait puisi yang menggema dari Padang, kita mendengar suara dunia yang rindu damai. Dalam setiap warna yang membentuk lukisan, kita melihat dunia yang sedang berusaha menyatu. Dan dalam IMLF-3, kita menyaksikan bagaimana seni, dalam wujud paling murninya, mampu menyatukan manusia—melewati batas negara, keyakinan, dan bahasa.

Di sanalah seni menemukan makna terdalamnya: bukan hanya untuk dinikmati, tetapi untuk menyembuhkan.

Padang, Sumatera Barat – 9 Mei 2025.