Anto Narasoma
–
IBUKU seorang wanita Sunda (Cianjur Jawa Barat), ketika menikah dengan ayahku ia adalah seorang wanita yang hadir ke Palembang dibawa uwaknya (nenekku).
———–
Setelah menikah, ia mempunyai anak lima, saya anak laki-laki seorang pada posisi anak kedua.
Disaat saya berumir sembilan tahun, ayahku meninggal dunia. Adik bungsuku perempuan dan saat itu masih berumur empat bulan.
Ditinggalkan ayah tanpa harta, posisi ibuku berada dalam posisi paling sulit. Tak ada famili di Palembang dan dibebani lima anak.
Yang membuat saya begitu mengasihinya, ia tetap berusaha sekuat tenaga agar anaknya tidak mati kelaparan.
Sebagai ibu, kasih sayangnya ke pada kami ibarat air jernih dan sejuk, merasuk dan menghilangkan dahaga.
Meski dalam keadaan susah, kami sangat bahagia. Karena kerja kerasnya untuk menghidupi anak-anaknya, ibu berjualan kantong (semen). Meski setiap hari ibu hanya mampu sekali sehari memberi nafkah, aku sangat bangga memiliki ibu yang berhati mulia.
Karena saya merasa anak laki-lali seorang di amtara anak-anaknya, saya mencoba berusaha sekuatnya untuk membantu ibu.
Saya berjualan roti goreng dan roti panggang. Hasilnya saya berikan ke ibu. Ketika saya tamat SMP, saya tidak langsung melanjutkan ke SMA. Saat itu saya juga ikut membantu untuk ikut menyekolahkan adik-adikku.
Tiga tahun setelah itu, saya baru melanjutkan pendidikan ke SMA. Ah, begitu pilu dan sedihnya keadaanku saat itu.
Tiap hari bangun pukul 2 pajar, langsung mengambil roti untuk dijual dari kampung ke kampung. Allah SWT memang maha pengasih. Dalam pergulatan melawan kepedihan hidup, saya berhasil lulus dengan nilai yang tak mengecewakan.
Saat itu saya bertekat untuk meneruskan pendidikan adik-adikku. Karena adik bungsuku membutuhkan pengasuh yang menyintainya, maka kakak perempuanku berhenti sekolah. Ia rela untuk membantu meringankan kesulitan ibu.
Kami hidup dikampung yang dikelilingi orang berada. Di antaranya ada pengusaha kayu, pengusaha ritel ketika itu dan pejabat pemerintah. Namun mereka tak peduli dengan nasib buruk yang kami alami. Bahkan ketika mereka makan dengan lauk-pauk yang harus menguras kantong, saat itu kami harus mengikat perut karena lapar.
Namun alhamdulillah. Karena pergaulan dan kerendahan hatiku, saya diajak untuk membantu menyelesaikan cerita pendek Dr Herawan Muhadi. Kebetulan saya dianilainya sangat berbakat untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya sebagai penulis. Apalagi sejak kelas III sekolah dasar saya sudah terbiasa menulis puisi dan cerita pendek.
Pada tahun ketiga setelah lulus SMA, saya berkesempatan kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang. Saya kebetulan mengambil jurusan FKIP bidang Bahasa Indonesia.
Saat melaksanakan kuliah, saya terus mendalami sastra, bahasa dan budaya. Meski demikian, saya juga sangat menyukai musik, bernyanyi, melukis, menari, membaca puisi dan bermain teater di panggung. Alhamdulillah, dalam mendalami ilmu peran di teater, tiga kali (tahun 1983, 1984 dan 1986) saya memperoleh penghargaan sebagai pemain terbaik.
Dari Mas Herawan saya mendapat honor lumayan. Uang itu saya gunakan untuk melanjutkan pendidikan adik-adikku.
Setelah menikah tahun 1989, saya bekerja sebagai wartawan di surat kabar Sumatera Ekspres (grup Jawa Pos). Tiga kali saya ikut pendidikan kewartawanan di Jawa Pos Surabaya. Dua tahun bekerja sebagai wartawan, saya bisa membangun rumah. Ah, ya Allah alangkah besarnya nikmat dan keberkahan yang Kau berikan.
Saya mempunyai tiga anak. Dua laki-laki dan seorang perempuan. Dua anakku sudah sarjana, dan yang terakhir wanita, bulan April 2020 nanti akan diwisuda di Unsri Palembang.
Ketika makan bersama istri, saya teringat makan bersama-sama saudaraku. Saat itu ibuku hanya mampu menyewa sepetak ruang di bawah kolong rumah kayu orang Palembang.
Ketika makan selepas Isya, dari atas menetes air kencing anak si empunya rumah. Kebetulan air kemih tersebut, masuk ke piring saya. Karena tak ada lagi nasi, saya terpaksa harus manahan lapar.
Ah, nasib memang mengajarkan aku untuk menjadi penyabar. Hingga saat ini kegetiran hidup yang kami alami itu menjadi pengajaran yang paling bijak dalam kehidupan kami.
Saya tak pernah lupa untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Meski tidak banyak, namun nilai-nilai kebaikan dan kebajikan itu menjadikan saya harus memberikan pertolongan ke pada orang yang membutuhkannya.
Mendiang ibuku pernah mengatakan, jika kau memiliki uang, hal paling yang biasa dapat memberikan pertolongan ke pada orang miskin. Tapi apakah bisa, ketika kau tak punya sesuatu, kau bisa menolong orang?
Wah, apa yang dikemukakan ibuku sangat hebat. Ia mengajarkan aku untuk selalu berbuat baik. Hal itu pernah ia contohkan, ketika kami sedang dalam keadaan miskin, saat kami makan malam, ada anak tetangga yang juga kelaparan.
Apa yang ibu lakukan? Beliau mengambil nasi di piring kami sedikit-sedikit. Akhirnya nasi itu terkumpul sepiring penuh. Akhirnya anak tetangga yang kelaparan tersebut, ikut makan bersama kami.
Begitu luhurnya jiwa ibuku. Hingga kami dewasa dan berkeluarga, ibuku tidak menikah lagi.
Palembang
26 Maret 2000