Masa kecil saya selalu berpindah kota mengikuti alm. bapak menempati tugas barunya. Tibalah keluarga saya di kota Pahlawan: Surabaya. Mama saya pun mendaftarkan pada sebuah Sekolah Kristen, SDK Pringadi, Jalan Bubutan, Surabaya. Pada sekolah ini hampir semua teman saya adalah Tionghoa, sedang di kelas seingat saya, hanya dua orang saja yang non Tionghoa, termasuk saya…
Adik kakek (ompung) saya menikah dengan perempuan Tionghoa di Medan. Jadi saya pun memiliki ompung boru (nenek) dari Tionghoa. Saya pernah menanyakan ke ompung boru ini, “Kalau ompung boru disebut apa dalam bahasa Tionghoa-nya?” Nenek ini menceritakan panjang sekali, mengisahkan marga-marga, tentulah membuat saya semakin bingung. Meskipun, seingat saya ompung boru ini mengatakan panggil saja Cimpo (Mohon dikoreksi, karena ini ingatan masa kecil).
Dari pernikahan kedua ompung ini memiliki beberapa anak, yaitu sepupu kandung dari alm. bapak saya. Saya sendiri memanggilnya dengan tulang (paman). Merekalah paman-paman saya: Tulang Ahok, Tulang Asiang, Tulang Apeng, Namboru Awi, ada beberapa lainnya. Semuanya bermarga Purba. Keluarga besar kami lebih sering memanggil dengan nama Tionghoa-nya, walau lambat laun ternyata saya baru tau, nama mereka di Akta Lahir ternyata berbeda. Biasanya pada acara adat, tulang dan namboru ini sering datang, namun karena wajah mereka lebih mirip dengan mama-nya yang Tionghoa, jadi banyak saudara saya yang lainnya, tidak menyangka, ternyata hubungan kami sangat dekat. Paman dan keponakan..
Pematang Siantar adalah pusat sejarah dari keluarga besar kami. Setara Institut pernah menyatakan kota ini sebagai salah satu kota toleran di Indonesia, semoga hal ini tetap dapat kita rawat. Di kota ini ada sebuah pecinan (china town), wilayahnya tidak terlalu luas, namun kami menyebutnya dengan: Nangking. Lambat laun saya pun mengira apakah mereka-mereka ini perantauan yang berhasil melarikan diri dari kekejaman Jepang: Tragedi Nangking (Untuk ini pun perlu ditelusuri lebih lanjut). Akhirnya beberapa keluarga menetap di Pematang Siantar dan membangun pusat perniagaan.
Di kota ini pun lahir pemuda Tionghoa yang kerap menjadi teman main Bruce Lee, namanya: Lo Lieh. Setiap kali ke Siantar, kakek saya selalu menunjuk ke arah rumah keluarganya, “Nanti kita lewat rumahnya teman Bruce Lee,” katanya dalam mobil. Jadi kalau banyak aktor/aktris Indonesia yang masih berharap go international ke Hollywood. Kami orang Siantar sudah lebih duluan, Lo Lieh..
Siapa pun yang datang ke kota Pematang Siantar, pasti sempat singgah di “Kedai Kopi Sedap”, minum kopi dan makan roti bakar srikaya. Lokasinya tepat berada di samping toko roti Ganda yang terkenal itu. Kedai kopi ini telah ada sebelum Indonesia merdeka. Tempat ini menjadi tempat nongkrong kakek saya dan rekan sejawatnya. Kalau dinding-dinding di kedai kopi ini bisa bicara, bisa jadi buku dengan beragam tema, dan ribuan halaman.
Ketika ompung berpulang, banyak khalayak ramai yang melayat. Saya pun sempat terharu ketika pemilik Kedai Kopi Sedap ini, sabar lama menunggu antrian untuk menyampaikan turut berdukacita kepada keluarga kami. Kokoh ini ditemani isteri dan anaknya, lirih mengatakan nanti ompung sudah gak datang lagi ke kedai kopi kami…
Setelah ompung berpulang, saya pun pernah mudik ke Siantar untuk sebuah liputan khusus Pemilu di majalah TAPIAN. Baru saja saya melangkah masuk ke dalam kedai kopinya, Kokoh ini bilang, “Wah cucu ompung ya. Kenapa gak kerja di sini aja. Gantiin ompung.” Ternyata beliau ingat, padahal sudah lama sekali, dan wajah saya pun waktu itu jenggotan. Kami pun berfoto bersama….
Selamat menyambut Tahun Baru Imlek 2024. Gong Xi Fa Cai!
NB: Tulisan ini sudah dipublikasi di Fb Museum Pustaka Peranakan Tionghoa (31/01/2022)
Chris Poerba