Oleh: Jus Felix Mewengkang
–
Dalam beberapa kesempatan kami berjumpa dengan Uskup Petrus Canisius Mandagi, MSC di meja makan Wisma Keuskupan Merauke. Perjumpaan terjadi oleh karena pekerjaan kami sebagai Konsultan Manajemen Konflik, melakukan asesmen aktor-aktor yang berpengaruh dalam peradaban Propinsi Papua Selatan. Salah satunya adalah Uskup Mandagi. Hidup dan karya Uskup Mandagi sangat “greget” dalam artian punya semangat dalam dirinya, berani mengubah situasi yang tidak beres. Sikap tersebut sejalan dengan fungsi kritis dan profetis selaku Uskup. Sikap berani karena benar beliau tunjukan dalam kejujuran hidupnya. Berani bersikap kritis terhadap siapa saja karena hidupnya memberi keteladanan, apa yang dikatakan sesuai dengan tindakan. Selain itu, hidup dan karyanya menjadi tanda kehadiran profetis, menyuarakan suara kenabian untuk keadilan dan perdamaian berlandaskan kebenaran.
Sikap berani karena benar rupanya telah menjadi gaya hidup sejak beliau menjadi seminaris di Seminari Kakaskasen, kemudian melanjutkan studi filsafat teologi di Seminari Pineleng dan ditahbisankan imam pada 18 Desember 1975 di Manado. Karakter disiplin hidup, semakin diperkuat semasa studi di Leuven 1978 – 1981 Studi Keagamaan dan Lisensiat dalam Teologi Dogmatik. Selanjutnya, menjadi dosen dogmatik di Seminari Tinggi Pineleng hingga 1990. Para mahasiswa mengenalnya sebagai dosen killer karena cara menerangkan mata kuliah secara sistematis menggunakan skema bercabang. Tidak sedikit mahasiswa mendapat nilai merah jika tidak menjawab secara sistematis. Beliau juga sangat menaruh perhatian terhadap Pendidikan dan Pembinaan calon imam khususnya tarekat MSC. Baginya, Pendidikan dan pembinaan merupakan sarana dan proses terbentuknya kedewasaan berpikir, kedewasaan emosi serta terbentuknya spiritualitas pelayanan yang bersumber dari Hati Kudus Yesus dan Pater Pendiri Tarekat MSC. Ada banyak kisah pengalaman ketika beliau menjadi Superior Skolastika MSC, dimana para frater skolastik dilatih disiplin dalam hal belajar, disiplin doa dan karya komunitas. Beliau tegas menegur frater jika berbuat salah, memberikan pujian jika benar. Beliau doyan memberikan julukan kepada frater dengan pelbagai sebutan yang pedas sesuai kelakuan frater. Kata-katanya menusuk ke relung hati namun mengundang gelak tawa karena gayanya yang humoris.
Sejak 1990 hingga 1994, ia menjadi Provinsial Provinsi MSC Indonesia. Para frater skolastik MSC Pineleng merasa kehilangan karena figur pembina yang doyan negur mendapat tugas yang lebih besar yaitu menjadi Pimpinan Tarekat MSC se-Indonesia. Pada 10 Juni 1994, Uskup Mandagi ditunjuk oleh Paus Yohanes Paulus II meneruskan kepemimpinan Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol, MSC di Keuskupan Amboina. Sebagai Uskup Keuskupan Amboina, beliau menunjukan greget-nya kepada para imam. Para imam yang tidak disiplin hidupnya kembali ditata, imam yang tidak setia pada tugas pelayanannya ditegur dengan tegas namun tetap merangkul. Tantangan pastoral keuskupan Amboina adalah umat tersebar di pelosok puluhan pulau yang tentu berimplikasi pada operasional pelayanan yang mahal. Sebagai Uskup tentu putar otak, cari dana. Rupanya kepintaran dan potongan wajah Uskup menjadi modal dapat dana. Diwajahnya nampak sebagai konglomerat namun dibalik pundak Uskup ada banyak umat hidup dalam “konglomelarat”. Beruntunglah Uskup banyak kenalan orang kaya, tapi bukan tipe beliau membuat proposal. Beliau mencari dana dengan bekerja bersama orang-orang yang berkehendak baik mendapatkan dana untuk pelayanan pastoral.
Pelan tapi pasti, selama 27 Tahun sebagai Uskup Amboina telah banyak bukti pembangunan pertama-tama perhatian terhadap pendidikan calon Imam, kemudian penguatan Tim Pastoral di dekanat serta membangun Gereja Katedral dan Wisma Uskup dari hasil kerja bersama umat yang berkehendak baik. Lebih dari itu, Uskup Mandagi tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar grand desain pastoral keuskupan Amboina, beliau justru lebih dikenal secarah nasional sebagai tokoh Pendamaian Konflik Ambon. Beliau dipandang sebagai tokoh berpengaruh karena inisiatifnya menciptakan perdamaian justru pada saat konflik sedang terjadi. Uskup mengajak tokoh agama, aparat pemerintah dan terutama pendekatan terhadap aparat keamanan. Tugas yang melekat dalam diri Uskup menjalankan fungsi kritis dan profetis tampil secara nyata dalam khotbah mengelegar telinga pejabat daerah dan pusat.
Setelah bertugas di Keuskupan Amboina, Uskup Mandagi sudah bersiap pensiun. Secara manusiawi merasa rapuh, kaki mulai kento (pincang) meski kehidupan spiritualnya tetap awet karena disiplin doa, selalu berpikir positif. Uskup sudah berencana membangun rumah jompo di Manado tempat kelahirannya. Tapi…..eit tunggu dulu, beliau ketangkap lagi dengan penugasan baru menjadi Administrator Apostolik sede plena Keuskupan Agung Merauke, Pada 11 November 2020 Paus Fransiskus mengangkat Uskup Mandagi sebagai Uskup Agung Metropolitan Merauke. Papua Selatan…..wilayah yang luas, medan darat yang menantang, namun tidak seperti gambaran Papua yang penuh konflik kekerasan seperti di Papua Pegunungan atau Papua Tengah. Papua Selatan tidak ramai dengan tuntutan ideologi kemerdekaan namun tantangannya adalah bagaimana menjadi manusia merdeka dari pendidikan, kemiskinan masyarakat lokal, eksploitasi hutan untuk investasi, sumber daya manusia yang perlu dipersiapkan dalam pemekaran daerah. Uskup memang tidak boleh berpolitik (praktis), namun uskup memiliki tugas Yesus Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Pesan moral yang selalu uskup sampaikan dalam setiap khotbah dan kata sambutan kepada umat katolik termasuk para pejabat daerah dan aparat keamanan adalah: Hormati Hak Hidup Masyarakat Papua, hormati martabat manusia, jangan buat kekerasan tapi hendaknya yang lemah dilindungi. Aparat TNI dan Polri hendaknya bersikap melindungi dan jangan buat kekerasan. Seruan moral Uskup sangat disegani oleh para pejabat daerah dan pusat. Karenanya, para pejabat pusat maupun pejabat yang mendapat penugasan di Papua Selatan selalu mendatangi Uskup berdialog. Itulah peran Gereja dalam melindungi martabat manusia.
Satu hal yang menarik adalah, meskipun beliau berani mengkritik pejabat pemerintah, beliau juga mendapat bantuan keuangan untuk pembangunan kantor keuskupan dan pembangunan seminari menengah. Uskup Mandagi tidak hanya mengkritik pemerintah, tapi juga mengkritik Para imam sudah memberhalakan hape, lebih membawa hape daripada Kitab Suci. Imam bukan fungsionaris, bukan pejabat, para imam harus berbelas kasih dan tidak menjadi bos dan tidak menjadi PNS yang makin menuntut gaji. Terakhir, satu hal yang dibanggakan Uskup Mandagi adalah mengajak tamu-tamu berkeliling sekitar wisma dan kantor keuskupan dibelakangnya tertata taman yang luas, rapih bersih. Para tamu terheran karena halaman sebelumnya seperti hutan tapi kini menjadi oase bagi para imam diosesan dan tamu keuskupan. Pada Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke 75 tahun ini, Mandagi, mengungkapkan keinginan hatinya untuk terus memperbanyak sahabat dengan pelbagai latar belakang. Dalam guyonan di meja makan, Uskup menyatakan bahwa beliau sudah tua, saatnya mempersembahkan hidup dan karya hanya demi Tuhan. Itulah motto hidup sejak beliau menjadi Uskup dengan semboyan episkopal: “Nil nisi Christum”, tak ada yang lain selain Kristus.