Gerakan literasi di zaman Yunani mungkin dimulai di sebuah sudut pasar. Betapa tidak. Di pasar yang disebut “agora” itu, orang tidak datang untuk memperdagangkan komoditasnya. Di agora, orang bertemu, berdiskusi, dan mendapatkan pencerahan.
Dikisahkan Socrates, filosof besar Yunani itu sering datang ke pasar (agora) untuk berdialog dengan orang-orang yang ia jumpai. Di situ pula ia mulai menebarkan benih-benih berpikir filosofis. Orang hidup tidak hanya dari roti saja, tetapi juga dari pikiran yang benar dan hati yang tulus.
Dengan dialog itu, Socrates berharap orang semakin memahami dirinya sendiri. Memahami diri secara memadai mengandaikan refleksi diri terus menerus. Kebahagiaan hidup tidak bercorak soliter, melainkan inklusif dan sosial.
Berlainan dengan agora di Yunani, di mana orang hadir untuk mendapatkan pencerahan diri, pasar di zaman modern orang terbius oleh sesuatu yang mempesona, mengangkat kepuasan dan harga diri, tapi juga bisa sangat menyesatkan.
Pasar adalah wacana masyarakat modern yang paling laris. Seluruh sudut dunia terkonsentrasi pada ideologi pasar, yang secara besar-besaran didorong oleh globalisasi. Pasar modern tak lagi menunjuk pada sebuah tempat (place). Ia adalah praksis dan sekaligus mentalitas dalam kepribadian modern.
Di pasar modern, orang akan terus “ingin membeli” tanpa batas dan rasa puas. Selama penawaran terus digulirkan, selama itu pula tak ada limit bagi nafsunya untuk berhenti.
Karena itu, pasar modern telah berubah menjadi sebuah drama besar untuk zaman kita. Di atas panggung itu pasar modern itu menghadirkan banyak adegan kolosal penuh nikmat, juga tragedi yang menitikkan air mata.
Dalam masyarakat modern, pasar telah menjadi semacam “elan vital, yang dengan begitu kapitalisme dengan cepat telah mengubah wajah dunia sembari menciptakan mitos-mitosnya.
Di pasar modern, nilai guna sebuah barang telah diubah menjadi nilai tukar. Menjatuhkan pilihan untuk membeli sebuah mobil bukan lagi karena nilai manfaatnya, tetapi untuk memperlihatkan betapa berkuasanya seseorang di hadapan orang lain. Nilai diri kita diukur dengan benda yang kita miliki.
Harga jual yang lebih tinggi daripada harga-guna, lahirlah komodifikasi. Manusia maupun barang dibayangkan sebagai sebuah barang dagangan atau komoditas. Manusia tak berbeda dari barang.
Bila barang (komoditas) tak punya nyawa, maka manusia yang telah dikomodifikasi itu pun sesungguhnya hanya sepotong mayat yang sedang berjalan.
Dengan tajam psikoanalisis Erich Fromm (1900-1980) melihat manusia modern telah mati (man is death), berbeda dengan Nietzsche yang memproklamirkan kematian Tuhan (God is death).
Fromm melihat kematian manusia modern karena ia telah meninggalkan potensialitas dirinya dan menukarkannya dengan ilusi, bayangan semu tentang hidupnya. Kekosongan diri itu kemudian melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang berbalik mengerangkeng diri manusia dengan mendeklarasikan modal: siapa yang kuat, dia yang hebat dan berkuasa.
Pada tataran ekonomi dan politik, fenomena ini terlihat jelas pada bagaimana manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).
Lebih lanjut, Fromm melihat orientasi memiliki (having orientation) menguat dan menjadi ciri manusia modern. Kepribadian manusia modern ditandai dengan nafsu memiliki yang amat kuat. Ia ingin melahap semua makanan yang ada di atas meja makan, memiliki pakaian yang dijual di toko modern, dan karena ia tak bisa “menelan” semua itu, maka ia akan menampung dan menimbunnya (hoarding orientation).
Pamer diri dan kekayaan adalah sisi lain dari manusia dengan orientasi hidup “memiliki”. Namun, untuk “memiliki” semua itu, selain “merebut-paksa” dari orang lain, manusia modern memilih jalan “memamerkan diri, menjual diri”. Dia menjual dirinya agar bisa memiliki dirinya lagi yang sudah hilang: martabat.
Bagaimana ia harus menjual dirinya? Buatlah menjadi kemasan yang bagus. Kemasan itu menentukan laku-tidaknya barang (komoditas dan diri) yang kita tawarkan. Setiap kemasan memiliki asumsi dasar: mata manusia lebih peka terhadap sesuatu yang tampak menawan, isinya nomor dua. Apa saja yang mau laku, harus dikemas secara baik dan memikat. Sebuah ritual keagamaan pun dapat “laku terjual” bila dikemas dengan baik.
Asal saja kita tahu, kapitalisme tak serta merta mematikan sebuah batin ritual. Ia ikut proaktif mendorong batin ritual kita, tetapi dalam kemasan baru dan modern. Dan kita tergiur dengan apa yang selalu dikatakannya. Dalam hiruk-pikuk kemasan itu kita mencemplungkan diri. Fenomena alienasi, diri yang terasing, bertebaran di mana-mana.
Clifford Geertz mengatakan sebuah masyarakat transisional cenderung jatuh pada “moral double bookkeeping”. Selalu ada impian menjadi bagian dari globalisasi, walau selalu juga ada kecemasan untuk cemas kehilangan identitas. Di situ kita akan memakai moral ganda untuk mengukur perjalanan kita. Sayangnya, identitas terbaru itu kita rumuskan sebagai jati diri. Mungkin ia lebih sebuah konstruksi sosial dalam menghadapi ancaman kehilangan rasa aman. * (Stef Tokan, JPIC MSC Provinsi Indonesia)