Pada 1 Januari 2024 lalu, Ensiklopedia Britannica memperbarui data mereka tentang King Ivar, penguasa Dublin, Irlandia, yang berkuasa pada 855 – 873 M. Raja berdarah Denmark ini dicatat sejarah sebagai lelaki berwajah ‘’ndeso’’ yang planga-plongo, kerempeng, dan saking kurusnya sampai Brittanica menyebutnya dengan empat julukan: Inguar the Boneless, Inwaer the Boneless, Ivar inn beinlausi, Ivarr the Boneless.
Arti ‘’boneless’’ sebenarnya tidak punya tulang. Sejarawan berbeda pendapat. Ada yang mengatakan julukan itu bermakna sesungguhnya bahwa King Ivar benar-benar tak punya tulang kaki sebab ia lumpuh sejak lahir akibat ayahnya melanggar tabu saat bersetubuh. Ada juga yang berpendapat itu sebuah pejorasi untuk mengatakan King Ivar memang sangat ceking alias kerempeng.
Tapi, sejarah juga mencatat bahwa di balik penampilannya yang kere dan ndeso itu, tersimpan sifat licik, kejam, juga bengis. King Ivar bahkan rela melukai hati dan fisik orang-orang yang telah membela dan berjasa kepadanya sekalipun. King Ivar, misalnya, tak segan-segan memusuhi Lagertha, ibu tirinya sendiri, dan di kemudian hari melawannya dalam sebuah perang saudara.
Brittanica mencatat King Ivar adalah putra kandung Ragnar Lodbrok, raja yang mempersatukan Swedia dan Denmark. Sebelum jadi raja, Ragnar hanya petani miskin di Kattegat. Dari Lagertha, ia memperoleh satu anak yang nanti menjadi legenda bangsa Vikings, Bjorn Ironside. Usai merampok sebuah gereja di daratan Britania Raya, Ragnar berhasil melakukan kudeta atas penguasa Kattegat.
Cerita menjadi tambah menarik setelah Ragnar diceraikan oleh Lagertha gara-gara kepincut oleh kecantikan Aslaug, perempuan yang memberinya empat anak: Ubbe, Hvitserk, Sigurd Si Mata Ular, dan tokoh kita kali ini, Ivar the Boneless.
Naluri dan haus kekuasaan dalam diri Ivar justru lahir dari rasa percaya diri yang hilang akibat wajahnya yang tak ganteng. Suatu hari, saat masih remaja, kedua kakaknya mengajak dia menyetubuhi seorang budak perempuan di kebun kosong. Ivar hanya melongo ketika kedua saudaranya pesta seks. Dia tak berani, minder, khawatir budak itu tak mau meladeninya karena wajahnya yang ‘’ndeso’’ itu.
Tapi, justru sejak saat itu dia jadi sangat marah dan berjanji harus punya istri seorang perempuan tercantik di Kattegat. Benar saja, saat dewasa dan menjadi penguasa Kattegat nanti, Ivar memperistri Queen Freydis, perempuan tercantik di sana meskipun lagi-lagi ia tak berani menyetubuhinya. Freydis menjadi istri pajangan yang, pada gilirannya, tak tahan juga untuk berselingkuh lalu hamil.
Akibat kondisi Ivar yang nyaris lumpuh, Hvitserk, salah satu kakaknya, sangat membela Ivar setiapkali terjadi pertengkaran keluarga. Sikap Hvitserk yang lemah lembut ini disalahgunakan oleh Ivar. Dia meminta kakaknya itu pergi memimpin perang. Tapi, begitu Hvitserk berangkat perang, Ivar mengambil kekuasaan Kattegat.
Untuk menunjukkan bahwa dia sangat berkuasa dan ditakuti rakyatnya, di depan mereka Ivar sengaja membakar hidup-hidup Margrethe, kekasih kesayangan Hvitserk, atas tuduhan yang dibuat-buat. Dia tak peduli tindakannya itu akan sangat menyakiti hati Hvitserk, kakaknya yang salama ini sangat membelanya. Ketika beberapa tentara berani mengoreksi Ivar, mereka justru dijadikan sandera politik oleh Ivar hingga tak berkutik dalam karir.
Hvitserk tentu saja menjerit melengking setelah tahu kekasihnya dibakar hidup-hidup. Tapi dia kini tak bisa berkutik sebab adiknya telah menjadi penguasa baru Kattegat. Tak ada yang berani melawan Ivar, tak ada lagi yang berani membela Hvitserk.
Atas kekejaman Ivar, rakyat Kattegat hidup tercekam. Tak ada yang berani bersuara, tak ada yang berani protes. Polisi dan tentara benar-benar di bawah kendali lelaki yang awalnya tampak planga-plongo, ndeso, dan cacat ini. Ketika kezaliman Ivar dirasa sudah melampaui batas, semua saudaranya termasuk Bjorn Ironside pun menggempur Ivar.
Tapi, taktik Ivar sangat hebat. Para saudaranya baru bisa mengalahkan Ivar setelah Queen Freydis, istrinya sendiri, berkhianat membocorkan benteng pertahanan Ivar di Kattegat.
Ivar lalu melarikan diri. Tapi, nafsu berkuasa yang menyala-nyala dalam dirinya tak mati-mati. Demi nafsu kuasa itu, tak ada lagi nasionalisme dalam dirinya, tak ada kepentingan bangsa dan negara di hatinya. Ivar hanya punya satu kekayaan: nafsu berkuasa.
Untuk itu ia kemudian menggadaikan dirinya dengan merangkul kerajaan-kerajaan musuh di sekitar Kattegat, lalu bersama para raja itu Ivar menggempur negerinya sendiri tempat ia dilahirkan.
Di Swedia, Denmark, bahkan di Inggris Raya balada Ivar tak mati-mati disenandungkan. Elan vital dalam balada itu mengalir sampai negeri seberang.
Helmi Hidayat