Malam itu 10 Desember 2022, Malam Natal Keluarga Sentani di Timika, setelah sekitar 24 tahun tak pernah bertemu, saya duduk semeja makan dengan pak Barnabas Suebu, mantan gubernur Papua dua periode yang terpisah. Beliau teman lama saya sewaktu di JDF, satu lembaga internasional yang bergerak dibidang pembangunan ekonomi rakyat Irian Jaya dibawah naungan PBB/UNDP. Beliau sebagai Ketua Dewan Komisaris dan saya sebagai staf di sana seputaran1996-98. Kami sedang makan malam.
Kami berdua berkisah kembali tentang tata-cara kerja JDF yang seharusnya itu yang dilakukan pemerintah untuk membangun ekonomi rakyat. ” Ingat kehadiran JDF karena alasan politis”, tegas beliau, ” Seharusnya tetap dipertahankan. Kehadiran JDF bukan untuk mencari keuntungan dari rakyat. Tetapi memperkenalkan pasar kepada rakyat. Mana mungkin JDF disejajarkan dengan badan pemerintah dan diukur dengan Laba/Rugi semata”
Setelah berdiskusi panjang lebar, ” Pak Bas, saya rencana mau menghadap Wakil Presiden bapak Mahruf Amin untuk memberikan masukan kepada beliau sebagai Ketua BP3OKP, bagaimana cara kerja JDF dulu. Saya mohon bantuan pak Bas bersama saya menghadap beliau”
Dengan senyum khasnya, ” Adoh Lex, saya malas bertemu orang- orang itu. Dorang su bikin saya menderita”
Malam itu sebelum makan, pak Bas, memberikan pidato atau paling tepat, berkisah tentang masa ditahanan karena dituduh korupsi. Selama ditahanan itu beliau merendahkan diri sedemikian rupa secara sukarela menjadi tukang cuci piring bekas makan sesama tahanan
Beliau berdoa dengan tekun agar Tuhan memberikan kekuatan menjalani hukuman. Beliau dituduh merugikan negara. Tetapi tidak sekalipun terbukti berapa besar. Bahkan ketika bersalaman dengan jaksa penuntut umum, jaksa itu mencium tangan pak Bas. Apa artinya? Tak ada yang tahu.
“Saya masuk penjara karena persengkongkolan politik”. Beberapa ahli hukum sedang secara bersama menyusun buku tentang kasus hukum saya yang ganjil itu. Saya terus bertanya apa pelanggaran saya. Dan itu menarik untuk dibahas secara hukum diruang kuliah”
Apa yang sesungguhnya terjadi dengan kasus beliau. Tak ada penjelasan hukum yang terbuka dalam kasus beliau. Kalau orang tak disenangi dengan mudah dijerat hukum. Dan tak ada jalan kembali.
” Kalau saya tahu begini, Papua seharusnya tidak masuk Indonesia” (rephrase), Bas ketika proses awal kasus hukumnya didepan media
———-
Hari hari ini kita menyaksikan panggung politik di Indonesia dari Keputusan MK No.90, keputusan DKPP, himbauan perguruan tinggi, analisis ahli hukum dan tata negara, dapat disimpulkan bahwa kita sedang tidak baik baik saja.
Dalam salah satu grup wa yang saya ikuti, seorang kepala lembaga survey menyatakan bahwa tingkat pengenalan dan kesukaan total pemilih menentukan kemenangan Prabowo-Gibran, terlepas dari curang ataupun tidak. Pada kesempatan lain politikus PPP menjelaskan, Bansos dan Rapel gaji PNS tepat waktu telah sangat membantu – pengenalan dan kesukaan – tersebut, mau ataupun tidak.
Namun apapun itu, Pilpres telah kita lalui dengan aman tanpa gejolak. Pemenangnya sudah ketahuan lewat Quick Count, yaitu Prabowo Gibran, maka tidak ada jalan lain kita harus menerima karena kita negara demokrasi.
Namun kita tidak boleh hanyut begitu saja dalam eforia. Kita masing masing harus tetap sadar kalau kita sedang tidak baik baik saja. Agar mampu memberikan keseimbangan pikiran dalam situasi – autocratic legalism –
Semoga kegelisahan I.S. Kijne, pak Bas dan para profesor perguruan tinggi itu kita pakai sebagai suluh memasuki periode baru demokrasi dan hukum. Saya pikir Titik Bola Salju NURANI itu mulai bergulir apapun tantangannya dimusim dingin yang akan panjang ini!
Alex Runggeary