Oleh: Esthi Susanti

Kemarin hari suci menurut Islam versi NU. Versi Muhammadiyah juga saya ikuti. Hanya kemarin gemanya jauh lebih membahana sehingga menciptakan vibrasi dengan resonansi kuat.

Malam sebelymnya di kamar saya dengar takbir dan mercon. Pagi bekas mercon terlihat di jalan. Bahkan di jalan setapak sawah juga ada bekas mercon.

Saya larut pada yang ada sehingga rasa persatuan dan kefitrian terasa. Dalam perjalanan meditasi jalan dan duduk, ucapan idul fitri terucap ketika berpapasan dengan penduduk. Ketulusan dan kegembiraan mereka terpancar dan menular.

Larut dalam suasana fitri hingga malam dengan saya ikuti beberapa webinar dari youtube sambil ucapkan hari idulfitri di facebook. Kerja menulis terhenti karena tidak ada mood.

Hasilnya adalah saya menemukan pola diri dalam relasi dengan sesama dan Tuhan. Pilihan melepaskan apa yang tak mampu saya pikul, kubiarkan menggantung dan kuserahkan padaNya. Jika ide itu tetap hidup maka akan ada dukungan untuk mewujudkanNya.

Pola itu telah menjadi cara hidup saya untuk waktu lama. Berapa banyak ide yang telah menghabiskan waktu dan energi saya menggantung? Ini tidak baik untuk produktifitas kerja. Karya untuk kebaikan sesama adalah layak diujudkan.

Insight ini yang menjadi hadiah spiritual lebaran kemarin. Ide yang bisa saya kelola akan kutuntaskan selesai. Sedangkan ide yang tak bisa saya kelola dan tergantung pihak yang miliki kemampuan finansial dan fasilitas lain dan juga ego orang lain, saya biarkan menggantung dan tergantung Tuhan dan “kretek” hati yang yang terlibat. Ini cara hidup damai dan jujur yang saya pertahankan dari dulu hingga sekarang. Namun sekarang dengan perbaikan.

Dengan ini saya menemukan spiritual trap saya. Terima kasih banyak. Juga saya menemukan cara terlibat gembira merayakan idul fitri sebagai pemeluk agama lain. Ternyata ada cara yang tak bisa disentuh oleh kekuasaan dan politik.