Indonesia tak bisa hidup hanya dari “roti” saja, tetapi juga dari setiap “sabda” pemikiran yang mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Budaya “roti” melahirkan pembangunanisme dan pragmatisme politik yang kontradiktif. Budaya “roh dan sabda” melahirkan pemikiran yang sehat, bertanggung jawab, dan mampu mengantar bangsa ini ke masa depan yang adil.

Kaum intelektual dan cendekiawan Indonesia kehilangan seorang pemikir sosial terkemuka, Dr. Ignas Kleden. Ignas Kleden meninggal pada Senin dini hari (22/1/2024) di RS Suyoto, Jakarta Selatan, dalam usia 76 tahun. Ignas meninggalkan seorang istri Dr Ninuk Probonegoro dan seorang putra.

Ignas Kleden merupakan sosok intelektual terkemuka dan langka di Indonesia saat ini. Pemikirannya sangat mendalam dan menyasar pada beberapa bidang seperti sosiologi, filsafat sosial, dan sastra Indonesia.

Ignas menulis dengan bahasa Indonesia yang teratur, logis, jernih dan dengan kalimat yang sederhana sehingga bisa dibaca dan diikuti jalan pikirannya oleh pembaca umum. Dengan latar belakang filsafat epistemologi yang kuat, tulisan-tulisan Ignas membongkar pendapat, pernyataan, dan argumen yang keliru dalam cara berpikir masyarakat.

Beberapa buku telah ia terbitkan, tapi ada ratusan artikel dan tulisan kolom yang ia tulis dan tersebar di pelbagai media cetak di Indonesia, sejak 1970. Dalam buku dan artikel itu kita menangkap kedalaman berpikir Dr Ignas Kleden. Tulisannya menjangkau banyak tema sosial, politik, sastra, dan teologi, yang dikupas secara jernih dalam logika yang teratur.

Ignas termasuk intelektual yang merawat bahasa Indonesia dengan baik dan seorang pembaca sejarah Indonesia dengan tekun. Tokoh sejarah dan politik Indonesia dia tulis dengan memikat dan memakai sumber-sumber terkemuka.

Walau dia berlatar belakang pendidikan filsafat dan teologi, Ignas Kleden mendalami sosiologi Indonesia secara baik. Pemikiran dan sejarah para sosiolog dunia dia dalami sehingga fasih membicarakannya baik secara verbal maupun dalam tulisan. Tutur kata bahasa Indonesianya teratur.

Setelah menamatkan studinya di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero, Maumere, Flores (1966-1974), Ignas berangkat ke Jakarta dan bekerja di Penerbit Obor sebagai editor dan penerjemah buku-buku ilmu sosial pada Yayasan Obor Internasional, Jakarta. Kemudian ia menjadi staf peneliti pada LP3ES, Jakarta. Pada 1981 dia meraih gelar Master of Art Filsafat pada Hochschule für Philosophie, Munich, Jerman (1979-1982, dan meraih gelar doktor sosiologi pada Universitas Bielefeld, Jerman (1989-1995) dengan disertasi berjudul “The Involution of The Involution Thesis: Clifford Geertz’ Studies of Indonesia Revisited” dengan predikat magna cum laude.

Geertz menjadi terkenal di Indonesia karena penelitiannya di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa penting tentang Indonesia, seperti “The Religion of Java”. Ignas Kleden kemudian mengkritik argumen yang dipakai Geertz, terutama terkait involusi. Disertasi doktoralnya ini menarik, karena hanya beberapa orang saya yang berani mengkaji kembali pemikiran sosial yang sudah lama dianut kaum intelektual di Indonesia. Ignas membongkar logika berpikir seperti itu.

Di Jakarta, Ignas bertemu dan bergaul dengan kaum intelektual terkemuka Indonesia saat itu, seperti Soedjatmoko, Jujun Soemantri, Umar Kayam, dan sejumlah sosok intelektual terkenal tanah air. Di situ dia banyak belajar lewat diskusi dengan cendekiawan ini.

Ignas tertarik dengan masalah sosial di Indonesia, tetapi ia memberi catatan-catatan penting tentang kelemahan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang lebih banyak mengadopsi teori dari Amerika. Catatan Ignas itu penting supaya para pengambil kebijakan di pemerintah tidak keliru dan terperosok pada lubang yang sama.

Dalam kerangka pemahaman teoritis dan penerapannya ke masyarakat, Ignas pernah membuat debat intelektual dengan beberapa pemikir Indonesia, di koran Kompas. Misalnya polemiknya dengan Prof Mubyarto tentang pemikiran ekonomi di Indonesia. Tulisan polemik itu terbit beberapa hari di Kompas dan mendapat tanggapan beberapa intelektual lainya. Di situ Ignas mengoreksi kembali epistemologi pemikiran mereka. Epistemologi adalah filsafat tentang dasar-dasar sebuah kebenaran.

Saat ini, polemik seperti itu sudah sangat jarang muncul sehingga masyarakat tidak disajikan dengan pemikiran dan argumen ilmiah yang menarik. Budaya intelektual lalu terasa mundur, diganti dengan pragmatisme politik dan ekonomi pasar yang lebih menyentuh wilayah kulit atau periferal (pinggiran).

Ignas Kleden memiliki beberapa pengalaman kerja, dimulai sebagai penerjemah Jerman-Indonesia untuk buku-buku teologi di Penerbit Nusa Indah Ende, Flores, penerjemah buku-buku ilmu sosial di Yayasan Obor Indonesia, staf redaksi jurnal ilmu sosial Prisma, Jakarta, penguji luar Fakultas Politik Monash University Australia, dosen Pascasarjana Fakultas Sosiologi dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dosen program pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dan Dewan Pendiri dan Direktur The Go-East Institute.

Ignas Kleden adalah penulis yang produktif. Tulisannya tersebar di pelbagai media nasional, seperti Prisma, Horison, Basis, Tempo, Kompas, The Jakarta Post, dan majalah luar negeri.

Pada 1988 terbit karyanya “Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan”, disusul “Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia” (2001), “Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan” (2004),” Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan” (2004) dan “Fragmen Sejarah Intelektual” (2020). Pada 2003 Ignas memperoleh Penghargaan Achmad Bakrie untuk bidang pemikiran sosial.

Buku-bukunya berisi pemikiran yang mendalam. Ulasan-ulasannya tentang sastra Indonesia mencengangkan para sastrawan dan pelaku sastra itu sendiri. Ignas adalah pembaca sastra Indonesia yang tekun, karena itu dia menulis dengan baik tentang WS Rendra, Subagyo Sastro Wardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Budi Darma, Sutan Takdir Alisjahbana, Sutardji Calzoum Bachri dan lainnya. Tulisan-tulisan itu bermakna kritik sastra yang terbaik saat ini.

Ignas Kleden lahir pada 19 Mei 1948 di Waibalun, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dari sebuah keluarga guru yang sederhana. Kakaknya, Dr Leo Kleden SVD dosen di Ledalero dan adiknya, Hermin Kleden, wartawan senior Majalah Tempo. Ignas aktif sebagai sosiolog, cendekiawan, akademisi, dan kritikus sastra sejak awal tahun 1970-an. Ignas banyak diundang untuk mendiskusikan masalah sosial dan mencoba mencari jalan keluar dari situasi itu, misalnya dia ikut memberi pemikirannya dalam penyelesaian konflik sosial di Ambon (1999).

Sejak masih di Flores, Ignas sudah mengenal majalah Horison dan Basis Yogyakarta dan rutin mengirimkan tulisannya ke majalah itu. Dia juga menulis artikel di majalah Budaya Jaya Jakarta. Dia juga menulis artikel semi polemik untuk majalah Tempo dan di Kompas.

Kepergian Ignas Kleden meninggalkan rasa duka. Sosok intelektual yang ramah itu telah berkontribusi bagi intelektualisme di Indonesia lewat pemikiran-pemikiran cerdas dalam pelbagai tulisan dan buku. Ignas adalah intelektual yang rendah hati dan menghargai pendapat orang lain. Dia menyukai demokrasi dan berharap politik di Indonesia dibangun dengan budaya rasionalitas agar tidak menyesatkan publik.

 

Stef Tokan

Pemerhati Masalah Sosial