Yusuf Achmad
Hari masih petang, ketika zikir subuh baru usai. Jalanan masih berembun, harum semerbak melambai. Beberapa jamaah meninggalkan duka, doa, dan bahagia. Masjid dan langgar itu terdiam membisu setelah harapan terburai.
Gerak langkahku masih ke depan. Memperhatikan ibu-ibu dalam keresahan dan kegelisahan. Di atas tumpukan barang jualan. Seorang bapak paruh baya memegang sapu lidi, menatap jalan. Ia pinggirkan sakit hati pada istri, ke dalam selokan. Ia sisihkan marah atau membela diri, di atas tumpukan sampah berserakan. Pada sapu lidi ia kuatkan hati dan perasaan.
Di sudut pertigaan, kakiku memperhatikan. Perempuan berambut pirang selalu berjalan. Perempuan berbadan kecil dan tak tinggi badan. Mengiringi subuh, memintal resah dan nasib sialan. Sesekali ia berhenti terdiam di antara para penjual perantauan. Tangannya tak searah yang kiri ketinggalan. Mungkin itu tanda hidupnya tak karuan. Tapi ia tetap berjalan, ia injak ketidakadilan. Ia hentak nasibnya di tangan majikan tak berperasaan.
Dalam kepedihan ini, aku bersuara. Kepada embun dan subuh yang membawa cerita. Bait-bait hatiku berderak penuh asa. Tak kan terdiam, kumeronta dalam jiwa.
Di tengah kepedihan, kusisipkan keberanian. Pada ibu-ibu dan bapak paruh baya yang berjuang dalam keheningan. Kepadamu, wahai perempuan yang gigih melawan kebingungan. Aku menyerukan tekad dan harapan tanpa kenal kasihan.
Karena pada setiap langkah yang kau ambil. Ada janji dan harapan yang kita rajut dalam bisikan kecil. Dan pada setiap derap kaki yang kau hentakkan. Ada semangat melawan takdir yang tak berperasaan.
Surabaya, 2-1-2025