Proses pengerukan pasir ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup makhluk laut serta kehidupan masyarakat pesisir.

Oleh: Gunawan Trihantoro

Di tepi laut,
Seorang anak menyaksikan perahu besar menderu,
Kapal-kapal raksasa berlayar membawa pergi pasir-pasir,
Berselimut debu emas yang terselip di antara jemari,
Mengalir bagaikan air mata yang jatuh di telapak tangan.

Ia menangis,
Bukan karena rasa perih di tubuhnya,
Tapi karena bumi tempat berpijak semakin tergerus,
Pasir laut, rumah para ikan, karang, dan ekosistem.
Dihisap oleh mulut-mulut kapal asing tanpa henti,
Diangkut ke negeri jauh,
Negeri yang tak kenal aroma asin laut Nusantara.

Di horizon,
Asap hitam menggumpal di atas kapal-kapal baja,
Mereka melaju tanpa peduli,
Tanpa menoleh pada suara alam yang memohon.
Suara angin berbisik,
Mengadu pada anak-anak yang terdiam di tepi pantai.

Laut berbisik:
“Aku yang dahulu indah, kini mulai rapuh,
Tubuhku tak lagi kokoh menahan ombak,
Pasir-pasir yang menjaga keseimbangan diriku,
Kini hilang, dijarah untuk kepentingan yang tak kukenal.
Rumah ikan-ikan, tempat terumbu karang berteduh,
Direnggut untuk pembangunan kota-kota besar.”

Anak itu menggenggam pasir yang tersisa,
Merasa berat di hati,
Melihat aliran manusia di pantai yang hanya bisa terdiam,
Sama seperti dirinya,
Tak berdaya di hadapan kekuatan modal dan mesin-mesin.

Lalu ia bertanya:
“Siapa yang akan menjaga laut jika kita terus mengambilnya?
Siapa yang akan menyelamatkan ikan jika rumah mereka musnah?
Adakah suara yang sanggup menghentikan kapal-kapal ini,
Kapal yang penuh dengan pasir,
Pasir yang dulunya adalah bagian dari bumi tempat kami tumbuh?”

Namun angin diam,
Hanya gelombang kecil yang mengalun lembut,
Seolah turut merasakan pilu yang mendalam.

Sang laut pun berseru:
“Aku yang terbentang luas ini,
Kugendong semua makhluk dalam tubuhku,
Tapi kini aku mulai lelah,
Manusia tak henti mengeruk isi perutku,
Untuk membangun menara-menara tinggi yang tak akan kupijak,
Untuk memperkaya negeri yang tak pernah kudengar namanya.”

Anak itu,
Bersama ribuan manusia di pesisir,
Hanya bisa menatap kapal yang menghilang,
Membawa serta kekayaan yang tak akan kembali,
Meninggalkan pantai yang mulai kehilangan wujud,
Tanpa janji untuk memulihkannya.

Di ujung senja,
Laut tetap berombak,
Tapi kini ia menangis,
Bukan lagi karena badai,
Tapi karena eksploitasi yang terus-menerus,
Menelan perlahan kehidupan yang bernafas di dalamnya.

Dan anak itu tahu,
Jika pasir terus pergi,
Suatu hari nanti, yang tersisa hanya lautan tangis.

________
Catatan:
Eksploitasi laut, terutama pasir laut, telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi ekosistem laut Indonesia. Proses pengerukan pasir ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup makhluk laut serta kehidupan masyarakat pesisir.

(Cepu di rumah kayu, 17 September 2024.)