Oleh Kuldip Singh

Sekjen Pijar Indonesia 1998

Saya membaca pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, yang dimuat di media online kompas.com pada 31 Januari 2025. Kapolri menyatakan, “Tentunya saya ingin kita semua solid dalam hal ini. Saat ini kita menghadapi situasi yang kita harus hati-hati. Karena kalau kita tidak hati-hati, maka kewenangan Polri, kewenangan institusi ini bisa terganggu. Demikian juga posisi Polri ini oleh beberapa kelompok juga terus ada upaya-upaya untuk melakukan hal-hal yang bersifat reposisi, walaupun mungkin itu sifatnya tidak serius, namun tentunya itu mengganggu kita.”

Pernyataan Kapolri dalam Rapat Pimpinan Polri tersebut mencerminkan kekhawatiran terhadap ‘potensi gangguan’ terhadap kewenangan dan posisi institusi Polri. Setidaknya, ada 3 (tiga) hal yang ditekankan oleh Kapolri, yakni menjaga soliditas internal, reposisi oleh kelompok tertentu, dan desakan masyarakat sipil untuk reformasi Polri.

Pentingnya soliditas internal bisa berarti adanya tantangan internal maupun eksternal yang berpotensi mengganggu stabilitas dan kewibawaan Polri. Reposisi oleh kelompok tertentu bisa diartikan sebagai upaya untuk mengubah struktur, peran, atau bahkan kepemimpinan dalam institusi Polri. Upaya ini bisa datang dari dalam institusi itu sendiri atau dari luar (misalnya tekanan politik, kepentingan ekonomi, atau masyarakat sipil yang menuntut reformasi kepolisian). “Kelompok tertentu” ini juga tidak dijelaskan secara eksplisit  oleh Kapolri. Namun dalam konteks politik dan hukum di Indonesia, “kelompok” tersebut bisa saja merujuk pada:

Kelompok reformis di dalam dan luar Polri yang ingin melakukan perbaikan dan restrukturisasi kepolisian agar Polri lebih profesional dan akuntabel; Kelompok politik atau pemodal tertentu yang ingin mengamankan kepentingan mereka dengan menempatkan figur-figur tertentu dalam institusi Polri; Kelompok masyarakat sipil dan aktivis yang terus mengkritik berbagai kasus penyalahgunaan wewenang Polri.

Apakah pernyataan Kapolri tersebut sejalan dengan pidato Presiden Prabowo?

Sehari sebelumnya di pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri pada Kamis, 29 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa TNI-Polri harus menjadi pemimpin yang baik. “Saya ingatkan bahwa mereka diharapkan oleh rakyat, mereka diberi kepercayaan yang besar oleh rakyat. Rakyat yang membiayai TNI dan Polri, TNI dan Polri harus mengayomi rakyat, harus melindungi rakyat.”
Dalam pidatonya, Presiden jelas menekankan bahwa TNI dan Polri adalah institusi yang lahir dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Oleh sebab itu, dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, TNI-Polri harus mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan atau kelompok tertentu, yang tidak sejalan dengan amanah UUD 1945 dan Pancasila.

Dalam konteks ini, pernyataan Kapolri tampak memiliki perspektif berbeda dari pernyataan Presiden. Prabowo jelas ingin agar TNI-Polri berbenah dan kembali kepada jati diri sebagai penjaga kedaulatan dan hukum yang adil. Sementara Kapolri tampaknya lebih menekankan pada “potensi ancaman” terhadap posisi dan kewenangan Polri, serta “kekhawatiran” terhadap upaya-upaya reposisi. Jika “reposisi” yang dimaksud Kapolri  tampak berbeda dari pernyataan Presiden, apakah ini berarti ada “resistensi” dari dalam tubuh Polri?

Pada hakikatnya, jika Polri ingin menjaga kewibawaan dan kewenangannya, maka institusi ini harus benar-benar melakukan perbaikan yang nyata (Lihat “Daftar 130 Masalah Polri Menurut SETARA Institute: Dari Pembubaran Diskusi hingga Pemerkosaan Tahanan”, tempo.co, 10 Oktober 2024). Masyarakat senantiasa menginginkan agar Polri selalu hadir untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan yang lain.

Jakarta, 2 Februari 2025