yusuf achmad

Puisiku menanyaku dengan tajam, menggugah jiwaku yang
resah. Di dalam sepi tanpa suara. Di dalam ruang terang tapi
kelam. Puisiku menanyaku tentang rasa cemas dan sendiri.
Dua hal yang berbeda tapi sama. Ia mencemoohku karena aku
seakan hanya cemas pada Tuhan, bukan yang lain.

Puisiku membantahku dengan keras, karena ia tahu. Bukan
Tuhan yang mencemaskanku. Cemasku pada diri sendiri dan
setan-setan. Atau makhluk lain yang mengganggu pikiran.
Ia juga tak percaya pada siapapun yang mengaku tak punya
ketakutan.

Orang yang bersendiri dan asyik bersahabat sunyi. Dalam malam
atau gelap ruang, tanpa orang. Itu juga ketakutan, katanya.
Karena ia juga yakin, cemas pada sunyi dan sendiri adalah
bentuk ketakutan. Ia cemas, marah jika ada yang mengusik
sunyi dan kesendiriannya dengan riuh keramaian.

Itu juga ketakutan serupa saja, katanya diulang-ulang.
Bukankah cemas dan sendiri itu suci murni? Ketika cemas
ditujukan ke Tuhan bukan tuhan-tuhan mainan. Bersenang
senang merasakan ketakutan, kesendirian. Lalu melarikan diri
dari keramaian, seolah tiada Tuhan di sana.