Oleh: Swary Utami Dewi
–
Spirituality of Happiness. Itulah judul buku spiritualitas dan kebahagiaan yang baru saja ditulis Denny JA. Saya ingin menghubungkan apa yang ditulis oleh Denny dengan apa yang saya alami sehari-hari. Bagi saya sederhana. Setiap orang punya hak untuk mendefinisikan apa itu bahagia. Dan untuk itu, maka saya juga ingin melihat hubungan buku ini dengan kebahagiaan yang selama ini saya alami dan saya rasakan.
Ternyata, keberlimpahan kebahagiaan kerap menjadi satu rasa joyful tersendiri. Dan rasa membuncah itu seringkali membuat kita masuk dalam labirin kebahagiaan untuk menentukan apa itu bahagia. Sehingga, perlu waktu cukup lama bagiku untuk kemudian menemukan ide kebahagiaan yang kukaitkan dengan buku Spirituality of Happiness ini. Maka, saat saya menemukan momen yang tepat, sehabis saya mengunjungi para petani di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, saya duduk melihat kembali buku Denny ini.
Buku ini dihantar oleh Denny dengan satu kalimat dari Rumi, ” Spirit untuk memenuhi panggilan hidup sudah ditanam di hatimu.” Maka spirit apakah yang ditawarkannya kepada para pembaca buku yang terbit Juli 2020 lalu ini?
Mari mulai dengan melongok sedikit jejak pencarian manusia. Ratusan ribu tahun ragam cerita manusia tercipta dalam menemukan makna hidup. Dalam bukunya, Denny mengatakan manusia (homo sapiens) selama 200 ribu tahun mencari makna hidup. Panjang rentangnya dan bisa dipastikan, menurutku, ini akan terus berlangsung sejalan dengan keberadaan manusia di bumi.
Lebih lanjut, pencarian makna hidup tersebut memunculkan berbagai jenis mitologi, kepercayaan dan agama. Ini semua adalah bungkusan pencarian spiritualitas manusia.
Spiritualitas itu sendiri, menurut Denny, bisa dibagi dalam tiga gelombang. Dan ini sejalan dengan era perkembangan peradaban manusia. Gelombang pertama merupakan narasi mitologi, kedua narasi wahyu dan ketiga sepenuhnya narasi ilmu pengetahuan untuk hidup bahagia dan bermakna.
Di sini saya ingin memulai memberikan pandangan saya. Saat membaca pembagian tiga gelombang tersebut, saya teringat keluarga besar saya di Kalimantan Tengah. Kami dari suku Dayak Ngaju dan Kapuas, dengan berbagai jenis kepercayaan, agama dan bentuk spiritualitas lain yang dimiliki.
Kakek nenekku dari pihak ibu, (keduanya sudah wafat), semasa hidupnya menganut agama lokal Kaharingan. Lalu orangtuaku muslim. Aku juga muslim. Ada pula keluarga pihak ibuku yang memiliki keyakinan berbeda-beda. Meski demikian, semua menggeluti spiritualitasnya masing-masing dalam bingkai saling menghargai.
Jika dikaitkan tiga pengelompokan gelombang spiritualitas ala Denny JA, masuk gelombang manakah saudara-saudaraku yang Kaharingan? Kepercayaan yang dianut kakek nenek dan sebagian keluarga ibuku, pada masanya merupakan agama kepercayaan mayoritas suku-suku Dayak di sebagian besar Kalimantan Tengah dan sebagian kecil suku Dayak di Kalimantan Selatan. Kaharingan penuh dengan mitologi. Misalnya terkait hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan kekuatan luar biasa yang mengatur hidup manusia. Lalu layakkah ia dikategorikan dalam gelombang pertama? Bagi penganut Kaharingan, “wahyunya” adalah dalam bentuk ajaran tentang berbagai keseimbangan dan kearifan.
Kemudian, jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, riset juga membuktikan bahwa banyak kearifan tradisional yang dimiliki banyak suku yang dipandang “tradisional”, nyatanya kini diakui sebagai tepat dan bermakna. Contoh sederhana adalah praktik menanam jenis tanaman campur di ladang suku Dayak, yang merupakan variasi dari tanaman kayu, buah dan palawija, setara dengan apa yang sekarang disebut sebagai agroforestry. Semua ini ada maknanya, ada nilainya, bahkan ada mitologinya. Untuk memilih kawasan yang ditanam misalnya, ada mitologi tersendiri di dalamnya. Misalnya kawasan keramat, tempat roh bermukim dan sebagainya, tidak bisa asal diolah atau ditebang kayunya. Bahkan ada bagian hutan yang terlarang dijamah manusia.
Pengetahuan modern membuktikan kearifan tradisional ini sangat bermanfaat, tidak hanya dalam merawat hutan, tapi juga dalam kemampuan menopang kehidupan masyarakat secara berkelanjutan. Sesuatu yang dijaga dengan perpaduan mitologi, dengan iman dan kepercayaan lokal, berujung pada kearifan tradisional turun temurun — yang dari sudut pandang kehutanan modern sekarang justru patut dan layak diterapkan.
Dari contoh ini aku ingin mengingatkan Denny, bahwa bisa jadi ketiga gelombang spritualitas tadi tidak bisa dipisahkan secara mutlak, tapi ada irisan atau ruang berbaur bagi ketiganya. Bahkan mungkin ada ‘ruang kembali’, saat ilmu pengetahuan membuktikan bahwa banyak kearifan tradisional ternyata mengandung nilai-nilai modernitas, bahkan melampaui.
Hal kedua yang menarik perhatianku dalam buku Denny, sesuai dengan judulnya “Spirituality of Happiness”, adalah hubungan antara spiritualitas dan kebahagiaan. Dan pencarian ini juga yang dilakukan Denny selama kurun waktu 40 tahun, yang lalu dituturkannya dalam buku spiritual ini.
Terkait hal ini, Denny menuliskan, “Tak pula heran, sepanjang hidup Homo Sapiens, selama 200 ribu tahun manusia mencari makna hidup, menciptakan kepercayaan. Tak hanya roti dan daging yang diburu. Dikejar pula makna dan bahagia. Disingkap pula misteri.”
Misteri untuk bahagia dengan cara menggenggam spiritualitas “tertentu” yang ditemukan, disingkap dan lalu dipaparkan Denny dalam bukunya. Gaya penuturannya sederhana dan mudah dipahami. Di sini, untuk bahagia, ia mengajak pembaca untuk menerapkan mindset dan habit 3P+2S.
3P itu sendiri adalah Personal Relationship, Positivity dan Passion. Sementara 2S adalah Small Winning, dan Spiritual Blue Diamonds. Khusus Spiritual Blue Diamonds ini, ada tiga berlian biru yang diyakini Denny menjadi bagian dari formula kebahagiaan, yakni: Berlian Biru Kebajikan (Virtue), Berlian Biru Power of Giving serta Berlian Biru the Oneness (kesatuan manusia dengan manusia lain, lingkungan hidup dan misteri alam semesta). Di sini, Denny menambahkan bahwa spiritualitas baru ini, yang merupakan panduan hidup bahagia dan bermakna, telah diseleksi oleh riset ilmu pengetahuan.
Apakah resep bahagia ala Denny JA ini akan jitu? 3P yang pertama, bisa jadi sangat berpengaruh pada kebahagiaan. Personal Relationship mensyaratkan kita bahagia dengan memiliki pasangan jiwa. Di sini bisa kekasih, sahabat, guru atau siapapun itu.
Kedua: Positivity, berarti melihat sesuatu dari segi positif. Seburuk apapun peristiwa yang terjadi pada diri seorang manusia, jika ia berhasil memaknai dengan cara positif maka kekuatan dan kebahagiaan yang diraihnya. Denny memberikam contoh kisah tragis Victor Frankl di masa Nazi dulu yang berhasil menerapkan sikap positif dalam melihat peristiwa yang dialaminya. Melangkah ke P ke-3, passion. Ini adalah ajakan untuk melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan sepenuh cinta.
Demikian pula halnya dengan 2S. Denny menulis, ini juga resep bahagia. Seperti sudah disebutkan tadi, S pertama adalah Small Winning. Ini adalah ajakan untuk merayakan setiap “kemenangan” dalam hidup kita. Tentu saja dengan cara kita masing-masing. Saya misalnya, “merayakan” setiap “keberhasilan kunjungan lapangan ke petani” dengan tidur selama sehari penuh sesudah pulang ke rumah. Anak saya biasanya membeli minuman kesukaan saat nilai ujiannya mencapai target.
Terakhir formula spiritualitas pembawa kebahagiaan ala Denny adalah Spiritual Blue Diamonds. Berlian pertama adalah kebahagiaan yang muncul karena berbuat baik. Kedua, sebagai hasil dari memberi. Karena memberi, maka kita merasa bahagia. Ketiga adalah the Oneness, yakni kesatuan manusia dengan manusia lain, lingkungan hidup dan misteri alam semesta. Bagi saya inilah yang paling menarik karena mengajak manusia untuk bisa bahagia dengan menyadari dirinya sebagai satu kesatuan dengan sesama, lingkungan dan semesta.
Jitukah resep 3P+2S ini? Bisa iya, bisa tidak. Bagi yang berpikiran terbuka dan ingin mencoba, bisa jadi tawaran 3P+2S merupakan cara praktis untuk bahagia yang patut dicoba, tanpa perlu menempuh journey pencarian kebahagiaan dengan segala dinamikanya. Bagi yang sudah punya resep bahagia tersendiri, bisa jadi ia menyatakan resep bahagia yang berbeda. Dan itu sah-sah saja.
Saya sendiri secara pribadi menemukan cara berbahagia dengan bersyukur, tersenyum dan menerima dengan legowo apa yang sudah terjadi pada diri saya. Dan jika Denny menyatakan bahwa panduan hidup bermakna itu hanya bisa diterima setelah terbukti dan dikonfirmasi oleh riset berkali-kali di banyak tempat, saya mungkin masih bertanya-tanya soal ini. Bagiku, kebahagiaan tidak selalu bisa dilihat dan diukur oleh riset semata. Kebahagiaan itu dirasakan.
Pada akhirnya, buku Denny JA ini bagaimanapun tetap layak dibaca bagi mereka yang menggemari spritualitas dan sedang mencari kebahagiaan. Cobalah resep kebahagiaan ini.
25 Maret 2024